Mohon tunggu...
Ashari Setya
Ashari Setya Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Lelaki, manusia, terbuat dari tanah, bernafas dengan paru-paru, memakan nasi, meminum air.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Penghapusan Choice of Law dalam Pewarisan dan Implikasinya pada Masyarakat serta Eksistensi Sistem Pewarisan Lain yang Ada di Indonesia

1 Maret 2014   13:10 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:21 307
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Tulisan ini saya angkat karena tugas dari hukum waris, dimana dosen menyuruh mahasiswa untuk menganalisis putusan kasus tentang sengketa waris adat secara berkelompok. Tanpa sengaja menemukan putusan kasasi nomor 1119 K/PDT/2008 dimana terdapat orang Islam yang menyelesaikan sengketa waris. Di tahap PN dan PT, pengadilan menerima gugatan tersebut untuk di selesaikan secara waris adat. Tetapi, dalam putusan kasasi, gugatan tersebut N.O(niet- ontvankelijk verklaard) alias tidak dapat di terima, alasan dari majelis kasasi adalah pasal 49 ayat (1) UU nomor 3 tahun 2006, dimana setiap orang Islam harus menyelesaikan sengketa secara Islam di Pengadilan Agama.Sehingga saya rasa perlu untuk berbagi dengan yang lain melalui dalam tulisan ini, karena bagaimana jika ada orang beragama Islam ingin menyelesaikan sengketa menurut adat?
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Hukum adat merupakan hukum yang masih di pegang teguh oleh masyarakat Indonesia dan hukum tersebut masih eksis hingga saat ini. Begitu pula dengan hukum waris adat, masyarakat masih menganggap jalur penyelesaian secara adat masih relevan dan memberi nilai keadilan bagi masyarakat yang mempergunakan hukum waris adat tersebut.

Di Batak masih terdapat sistem patrilinial, begitu pula di Bali. Di daerah Minangkabau masih di anut sistem matrilinial sedangkan di jawa masih terdapat sistem parental. Dimana ketiga sistem tersebut masing-masing sangat mempengaruhi penyelesaian sengketa waris. Dan setiap daerah memiliki ke-khas-an sendiri, semisal sistem pewarisan antara diBatak dan di Bali yang walapun sama-sama menganut sistem Patrilinial antara Batak dan Bali memiliki perbedaan-perbedaan dan kekhasan daerah masing-masing yang di sesuaikan rasa kepatutan dan keadilan menurut daerah masing-masing.

Begitu juga dengan hukum waris Islam, dengan masuknya Islam di Indonesia juga mmpengaruhi penyelesaian sengketa waris, dimana memberikan salah satu alternatif dalam menyelesaikan sengketa waris bagi masyarakat, terutama bagi yang beragama Islam untuk memberi kesempatan menjalankan syariatnya yaitu menyelesaikan sengketa waris secara Islam.

Begitu juga dengan sistem waris Barat atau waris BW dimana sistem ini juga masih di pakai sebagai penyelesaian sengketa waris untuk orang-orang barat atau orang yang beragama selain Islam. Hal ini tidak lepas dari masih adanya pluralisme hukum yaitu, penggolongan penggunaan sistem hukum untuk penduduk Indonesia seperti yang di atur dalam pasal 131 I.S (Indische Staatsregeling)  yang merupakan produk kolonial. Dan penggolongan tersebut berimplikasi dalam penyelesaian sengketa waris. Sehingga hukum waris BW pun masih berlaku hingga saat ini.

Dengan demikian, sistem pewarisan di negeri ini pun beragam, tetapi secara garis besar terdapat tiga sistem pewarisan, yaitu waris BW, waris Islam dan waris adat. Dan juga seperti kita ketahui penyelesaian sengketa waris ini merupakan wilayah yang sangat rawan dalam mencari solusi mekanisme hukumnya. Seperti kata Prof.Mochtar Kusumaatmaja mengungkapkan dalam bukunya Masayakat dan Pembinaan Hukum Nasional, hal. 14, bahwa, ”…bidang hukum waris dianggap sebagai salah satu bidang hukum yang berada di luar bidang-bidang yang bersifat ‘netral’ seperti hukum perseroan, hukum kontrak dan hukum lalu lintas (darat, air dan udara)”. Dengan demikian, bidang hukum waris ini menurut Mochtar Kusumaatmadja, termasuk bidang hukum yang mengandung terlalu banyak halangan, adanya komplikasi komplikasi cultural, keagamaan dan sosiolagi.

­Choice of Law, Social Justice dan Eksistensi Hukum Adat
Seperti kita ketahui Sebelum adanya Undang-Undang tentang Peradilan Agama (UU nomor 3 tahun 2006)  masih terdapat mekanisme choice of law dalam pewarisan sebagimana di atur dalam UU nomor 7 tahun 1989.

Dalam penjelasan umum Undang-Undang nomor 3 tahun 2006 juga di jelaskan “Dalam kaitannya dengan perubahan Undang-Undang nomor 7 tahun 1989 tentang peradilan agama  yang menyatakan para pihak sebelum berperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang dipergunakan dalam pembagian warisan, dinyatakan dihapus Sehingga dengan demikian choice of law atau pemilihan hukum untuk sengketa waris tidak lagi berlaku.

Selain itu menurut pasal 49 ayat (1) UU nomor 3 tahun 2006 dan di dukung oleh penjelasan umum UU nomor 3 tahun 2006 tersebut di atas, Sehingga mau tidak mau, suka tidak suka orang yang beragama Islam harus menyelesaian sengketa secara Islam di Pengadilan Agama dalam sembilan hal yang menjadi kompetensi absolut Pengadilan Agama tersebut.
“Pasal 49 ayat (1) UU Nomor 3 tahun 2006
Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:
a. perkawinan;
b. waris;
c. wasiat;
d. hibah;
e. wakaf;
f. zakat;
g. infaq;
h. shadaqah; dan
i. ekonomi syari'ah.”

Dalam uraian sebelumnya, kita pahami bahwa penyelesaian waris ini sangat riskan dan perlu nilai-nilai keadilan, dimana kita juga pahami keadilan itu sangatlah relatif bahkan ada adigium menurut Cicero, “Summun Ius Summa Iniuria”. Keadilan Tertiggi adalah ketidak adilan yang tertinggi. Nilai kadilan menurut satu orang dengan orang lain pun berbeda-beda, sehingga tidak ada kepastian dalam keadilan dan untuk mencapai keadilan sangatlah tidak mungkin yang bisa di lakukan sebagai manusia hanyalah mendekati keadilan.

Dengan begitu, kita tidak bisa menilai bahwa suatu sistem penyelesaian waris tertentu lebih bagus dan lebih adil ketimbang sistem penyelesaian waris yang lain. Mungkin, kita bisa memberi penilaian bahwa sistem waris Islam lah yang paling baik dan adil, tetapi belum tentu di nilai adil oleh masyarakat Batak maupun masyarakat Minagkabau yang menganut sistem matrilinial.

Bicara tentang baik dan buruk, maka jika boleh menyimpang sedikit, hal tersebut membuat terbesit suatu pemikiran dalam buku Rahwana Putih karya Sri Teddy Teddy dimana beliau mengungkapkan ,
“ ....Pertentangan dari memandang gelap atau terang dan lain sebagainya yang kemudian mengerucut pada penilaian baik atau buruk, ternyata hanyalah pandangan sepihak dari rasa aku masing-masing orang yang memiliki keinginan untuk menilai. Jika keinginan rasa aku si penilai terpenuhi, apa dan siapa pun yang terkait dengan penilaiannya adalah baik. Ketika keinginan rasa aku si penilai tidak terpenuhi, apa dan siapa pun yang terkait dengan penilaiannya adalah buruk”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun