Mohon tunggu...
Ashari Setya
Ashari Setya Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Lelaki, manusia, terbuat dari tanah, bernafas dengan paru-paru, memakan nasi, meminum air.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Mengapa Harus Tunggu Bencana Baru Kita Bersahabat dengan Alam

26 Januari 2014   21:32 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:26 442
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mengapa harus tunggu bencana baru kita percaya kebesaran Tuhan

Mengapa harus tunggu bencana, tentara datang untuk kemanusiaan.

Mengapa gak setiap hari, berbuat seperti ini.

Mengapa harus tunggu bencana, kita rela sisihkan harta untuk sesama

Mengapa harus tunggu bencana baru kita bersahabat dengan alam

Mengapa gak setiap hari berbuat seperti ini

Aku menangis lihat hari ini, tapi tersenyum tatap masa depan.

Aku Menangis lihat hari ini tapi tersenyum tatap masa depan.

Apa harus tunggu bencana baru dunia bisa bersatu

–Solidaritas (SLANK)

Mungkin benar petikan lagu slank di atas, Kenapa pada saat ada bencana baru kita kompak, saling bersoldaritas dan bersatu menolong para korban, padahal sebelumnya kita sanga pelit berbagi, sangat perhitungan dalam menolong sesama. Kenapa Saat bencana baru kita percaya bahwa Tuhan Maha Besar. Kenapa Saat ada bencana baru para tentara datang dan menolong korban, tetapi saat tak ada bencana malah tentara itu ‘mem-backingi’ para pejabat dan petinggi korup negeri ini yang selayaknya tak patut di lindungi. Kenapa baru pada saat bencana kita mulai bersahabat dengan alam, yang sebelumnya malah merusak alam.

Saat bencana telah usai, seakan-akan kita sudah lupa akan apa yang telah terjadi, lupa akan bencana yang telah terjadi sehingga kita tak lagi bersahabat dengan alam, rasa solidaritas pun hilang entah kemana. Ya..ya...kita memang bangsa pelupa. Seperti halnya kita lupa akan kasus-kasus besar yang menimbulkan kontroversial yang tertutup oleh kasus-kasus baru yang mengalihkan kita, seperi kasus pembunuhan munir, kasus century, kasus mahasiswa yang hilang di culik dan tak kembali hingga sekarang, kasus pembunuhan Munarsih....Ah, Sudahlah...Mungkin masyarakat di negeri ini sudah paham, menghayati dan mem-praktekan asas preferensi, Lex Posteriori de rogat legi Prior.

Tetapi, sesuai dengan lirik lagu tersebut,mari kita ambil hikmahnya, dari bencana itu kita sedikit bisa instropeksi dan merenung tentang apa yang telah kita perbuat, meskipun kita tak pernah belajar tentang pengalaman bencana itu. Seperti kata sejarawan JJ.Rizal, “Kita belajar sejarah, tapi tak pernah belajar dari sejarah”.

Bencana atau Sabda Alam

Mengenai alam, Saat bencana datang, kita pun bersemangat memperhatikan alam, berwacana dengan berbagai planning untuk menyelamatkan alam, menyelamatkan bumi. Padahal alam tak perlu di selamatkan, tak perlu dilindungi, justru kita lah yang sedang menyelamatkan diri kita sendiri sebagai manusia dengan ‘menyelamatkan alam’. Apakah kita lebih hebat dan lebih kuat dari alam, sehingga kita menyelamatkan alam dan melindungi alam, bukankah seharusnya yang di selamatkan dan di lindungi adalah yang lebih lemah dari yang melindungi. Bukankah alam dapat mencari keseim angannya sendiri, bukankah alam dapat menyembuhkan dirinya sendiri. Aktifitas alam yang dianggap sebagai ‘bencana’ oleh kita, bukankah itu hanya aktifitas normal alam biasa, aktifitas alam dalam mencari keseimbangan yang baru karena keseimbangan yang lama telah dirubah, oleh kita-kita ini sebagai manusia. Eh, Di ubah cuk!! Di ubah...Bukan Dirubah!!.

Gempa, Tsunami, Gunung meletus, Tanah longsor, banjir, angin ribut, perubahan iklim dan sebagainya. Bukankah itu adalah aktifitas alam yang biasa dan normal-normal saja dalam rangka alam mencari keseimbangannya sendiri. Hal tersebut kita namakan ‘Bencana’ kan, sebetulnya karena kita(manusia) yang terdampak atas aktifitas alam yang mencari keseimbangannya. Padahal yang mengubah keseimbangan alam itu adalah manusia sendiri, sehingga kitalah yang sebetulnya ‘mem-bencana-kan’ diri kita sendiri.

Banjir di Jakarta, Manado, Pati, Jember, Semarang, dan daerah lain, banjir mulai setumit, selutut hingga se atap rumah.. Hahh..Selutut? Aaahh... mungkin ini pertanda alam, ya pertanda, bahwa penganut dan pengguna rok mini masih sah memakai rok mininya di Negeri ini. Hallaaaahhhhhh.....Ah Sudahlah.

Banjir ini kan ‘sah-sah’ saja, banjir kan karena debit air lebih banyak daripada kapasitas sungai yang dapat mengalirinya dan kecepatan air menuju laut yang kurang memadai untuk mengalirkan air. Banjir Ini kan di sebut bencana karena manusia terdampak dari mekanisme alami tersebut dan merugikan manusia.

Selain itu banjir ini toh juga kesalahan kita sendiri yang melakukan pembangunan tanpa memperhatikan dampak-dampak lingkungan, seperti membangun rumah sangat dekat dengan sungai yang mana kita tahu semua bahwa sungai itu sering meluap jika sedang musim penghujan. Pembangungan yang asal bangun, pengawasan yang lemah dari pemerintah terhadap penyalahagunaan tata ruang. Lalu apakah kita masih menganggap ini suatu bencana? Toh kita lah yang membencanakan diri kita sendiri. Mungkin kalau mengutip tweet dalang edan sujiwotejo, menyebutnya sebagai Sabda Alam, bukan bencana.

Saat sedang menulis tulisan ini, kebetulan bersamaan dengan kabar bahwa di selatan jawa, Jogja, Banyumas mengalami gempa 6,1 SR. Kalau kita bijak, gempa ini kan ya toh sah-sah saja, normal-normal saja karena terjadi pergeseran lempeng tektonik atau longsoran tanah di bawah laut.

Aahhh.....bagiku, gempa ini adalah suatu pertanda, ya, pertanda alam bahwa pemuda di negeri ini sudah terlalu banyak, seperti orasi Bung Karno, “ Beri aku seribu orang tua niscaya akan ku cabut semeru dari akarnya, beri aku sepuluh pemuda maka akan ku guncang dunia”. Dari orasi itulah, alam pun mengamini dan seringlah gempa terjadi di bumi Indonesia ini. Ini pertanda, karena pemuda Indonesia belum mampu ‘Mengguncang Dunia’ lewat prestasinya, lewat karyanya, lewat pemikirannya, maka dunia pun mendengar dan mewujudkan perkataan dalam orasi Bung Karno itu yang belum sempat terealisasi. Ya, melalui gempa bumi ini yang MENGGUNCANG DUNIA!!!!!

Eh, tapi, bukankah banyak pemuda Indonesia yang mengguncang dunia lewat prestasinya dan karyanya tapi tak di akui oleh negeri sendiri dan kita terlalu sibuk berkutat dengan problematika negeri ini yang tak kunjung usai. Mungkin juga negeri ini berisi orang-orang yang sirik dan ndak suka di kalahkan dan disisihkan orang lain yang lebih baik cuk? Itu lain cerita Cuk!! Hahaha

Berdamai dengan Bencana

Kita semua sudah sadar dan paham bahwa Indonesia sangat akrab dengan ‘Bencana’, tsunami, gempa, banjir yang mana dapat membawa damapk yang tidak di harapkan oleh manusia. Tetapi, kenapa kita tak kunjung akrab dengan ‘bencana’, padahal ‘bencana’ sudah ‘mengakrabkan diri’ terlebih dahulu kepada penduduk Indonesia. Jadi, ayo kita mencoba akrab dengan apa yang kita namakan bencana, berdamai dengannya

Semua yang saya uraikan di atas mungkin sesuai dengan Undang-Undang Penanggulangan Bencana, yang mana di sebutkan bahwa bencana adalah aktifitas normal manusia dan yang bisa di lakukan hanyalah meminimalisir dampak bencana. Ini sudah bagus padahal, tapi, kenapa kita seakan-akan tak tampak akrab dengan bencana?

Sombong Paling Menderita

Media massa selalu menggembar-gemborkan banjir di jakarta, Letusan Gunung Sinabung pun saya rasa kalah frekuensi pemberitaannya. Padahal, kalau Jakarta banjir, nilai beritanya dimana? Kalau Jakarta tidak lagi banjir itu baru berita. Kalau gunung sinabung beraktifitas mungkin itu berita, karena gunung sinabung jaran beraktifitas seperti saat ini. Konon katanya sebelum tahun 2010, Gunung Sinabung tak pernah meletus selama 400 tahun. Nah,ini baru berita. Seperti halnya kalau MU menang, itu baru berita, kalau MU kalah, di mana nilai beritanya?

Media, sibuk menggembar-gemborkan dampak banjir di jakarta, seakan-akan Jakarta merasa paling sombong karena merasa jakarta lah yang paling menderita. Padahal tidak. Karena menderita dan ‘bencana’ tak ada korelasinya. Ada yang mengalami ‘bencana’ tapi mereka happy-happy saja seperti halnya anak-anak kecil yang gembira berenang dan bermain hujan di tengah lautan banjir. Pendapatan pemilik gerobak juga meningkat karena membantu pemilik sepeda motor menyebrangi banjir. Mereka bisa tetap bisa tersenyum dan gembira di tengah banjir yang kita anggap bencana itu karena mereka sudah terbiasa setiap tahun. Seperti halnya orang yang berpuasa rutin tiap tahun dilakukan di bulan Ramadhan.....Mungkin, nih, mungkin ada korban banjir yang bersajak di aku twitternya, “Bukan banjir ini yang ku sebut bencana, kekasih, bencana adalah saat senyum dan tawamu itu sirna” atau “Tahukah kau hujan yang paling Tuhan, kekasih, yaitu hujan yang membuatku tak sanggup membendung banjir puisi padamu”...Aaaaaahhhhhhhhhh.........

Jadi, gini lho, bisa jadi bahagianya orang yang mendapat uang sepuluh juta sama bahagianya, equivalen bahagianya dengan orang yang mendapat Seratus Ribu. Begitu juga sebaliknya. Ada juga yang sehari tak memegang Blackberry atau Android adalah penderitaan yang paling menderita, tapi ada juga yang sama sekali tak masalah dan malah sangat bahagia karena tak membawa Blackberry ataupun Android karena capek terus-terusan dapat Broadcast Message dan capek karena ngurusin perusahaan ataupun organisasi yang tak kunjung habisnya di bahas di BBM, Line atau What’s Up. Sehingga Blackberry dan Android di anggap ‘bencana’., ya karena dengan di temukan Blackberry dan Android menurunkan ke-gentle-an seseorang untuk face to face dengan orang lain

Ya, meskipun Indonesia sedang di rundung berbagai bencana (Menurut pasal 1 angka 1 UU nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana). Tetapi, sesuai dengan lagu Slank, kita harus tetap optimis dan bangkit lagi “Aku Mengangis lihat hari ini, tapi tersenyum tatap masa depan” dan juga ingat kata Cak Nun “Sela-sela di antara titik-titik hujan lebih luas daripada guyuran hujan, maka jangan risau dengan guyuran problem karena solusi jauh lebih luas” Juga ingat pula kata Bung Karno yang menginginkan bangsanya, “....Di gembleng hampir hancur lebur, bangkit kembali. Di gembleng, hampir hancur lebur bangkit kembali. Di Gembleng, hampir hancur lebur bangkit kembali. Di Gembleng, hampir hancur lebur bangkit kembali.....”

Ya, akhir kata, terima kasih kepada semua orang yang telah rela membuang-buang waktunya membaca tulisan saya yang gak jelas ini, tak tahu apa ini jenis tulisan ini. Semoga dapat memberi pencerahan dan pemahaman tentang ‘bencana’.

Sebagai catatan akhir, jika ingin mengetahui lagu solidaritas dari slank, silahkan akses https://www.youtube.com/watch?v=lLD3AV-poeQ.

Dan jika ingin tahu pidato bung karno yang di kutip di tulisan ini, silahkan akses, https://www.youtube.com/watch?v=bXeYTn2cogo&list=PL0D659C996073830E

Ashari Setya, Tinggal di @asharisetya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun