Mohon tunggu...
Ashari Setya
Ashari Setya Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Lelaki, manusia, terbuat dari tanah, bernafas dengan paru-paru, memakan nasi, meminum air.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Mempertanyakan Demokrasi

20 Maret 2014   06:07 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:43 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Sebenarnya tulisan ini tidak ada hubungannya dengan hukum mungkin lebih tepatnya filosofis, tapi filosofis ya nggak filosofis, atau sederhananya otak-atik gathuk. Tulisan ini juga terinspirasi setelah secara iseng datang di forum bulanan bangbang wetan yang di prakarsai Emha Ainun Nadjib. Tulisan ini mempertanyakan ulang tentang demokrasi yang kita anut dan kita terapkan di berbagai sektor. Apakah ini adalah sistem yang terbaik, apakah ini cocok di terapkan di manapun?

Demokrasi, berasal dari bahasa yunani yaitu kata demos (rakyat) dan kratos (kekuasaan) sehingga, kalau di sederhanakan, rakyatlah yang berkuasa. Kata-kata yang akhir-akhir ini bahkan sejak awal reformasi di dengung-dengungkan dan di puja-puja seakan demokrasi di nilai sebagai sistem yang terbaik dan cocok di terapkan di belahan bumi manapun.

Sekarang coba saya simulasikan dan bertanya kepada siapa saja yang membaca tulisan ini. Kira-kira adakah yang ragu akan demokrasi? Ada? Tidak ada?. Baiklah, jika tidak ada yang meragukan demokrasi, berarti demokrasi sudah menjadi agama yang tidak perlu lagi kita pertanyakan lagi.

Dan saya juga masih ingin bertanya, apakah demokrasi harus dengan demokrasi secara langsung, apakah demokrasi harus one man one vote.  Jika tidak dengan demokrasi secara langsung, demokrasi macam apa yang harus di implementasikan, demorasi tidak langsung-kah, demokrasi terpimpin-kah? Atau demokrasi acak-adut dan demokrasi lain-lain atau sistem lain, atau mungkin dengan sistem yang baru yang belum kita kenal saat ini, entah apa namanya yang mungkin kita bisa temukan namanya nantinya.

Saat ini mungkin banyak doktrin tentang demokrasi yang menyatakan demokrasi itu adalah sistem terbaik sistem yang dapat membahagiakan dan menyenangkan seluruh masyarakat, semua berhak berpendapat, berhak bersuara, berhak menentukan nasibnya sendiri. berhak menentukan kebenarannya sendiri.

Kita tentu masih ingat bagaimana Amerika begitu ngotot untuk menerapkan demokrasi di daerah timur tengah. Di Mesir, di Irak. Dengan dalih memperjuangakan hak asasi manusia dan dengan dalih menegakkan demokrasi. Banyak pertumpahan darah dan nyawa hilang sia-sia karena peperangan. Jika mengutip dari buku Slilit Sang Kiai,  "Bahkan jika Tuhan iseng secara langsung hadir secara biologis melindungi timur tengah, mungkin Tuhan juga akan di rudal, di bom dan di tembaki. Karena di anggap Tuhan tidak demokratis, Tuhan terlalu berkuasa, seenaknya sendiri menjalankan keinginan-Nya atas nasib manusia. Tuhan sangat diskriminatif, karena dengan menciptakan manusia bermacam ras, dan warna kulit, putih, cokelat, hitam, kuning. Tuhan tidak pernah berunding dalam mengambil keputusan."

Pemilu
Pemilu, Pemilihan umum, pesta demokrasi, atau apapun namanya, menjadi sarana penentuan nasib rakyat, nasib bangsa. Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam bersuara. Tidak pandang bulu, setiap orang tidak hanya sama di hadapan hukum, tetapi setiap orang juga sama di hadapan kertas suara. Profesor, Doktor, Dokter, Sarjana, Master, Dosen, Guru dianggap mempunyai suara yang sama dengan Profesor kunci, tukang becak, tukang sayur, tukang rombeng, tukang sampah. Dari professor tata negara hingga profesor kunci dianggap dan di dudukan sama, hanya mempunyai satu suara, kualitanya-pun di anggap sama.

Sekarang saya juga mau bertanya dan mengajak pembaca bersimulasi. Pertama, Dengan sistem pemilu dan demokrasi  saat ini, dari mana saudara sekalian mengetahui dan mengenal ‘calonnya’? Dari TV-kah, dari Radio-kah? Dari koran-kah? Dari Majalah-kah? Dari omongan dan gosip orang-orang-kah?

Kita tentu tahu berbagai media tersebut juga sudah menjadi milik dari para politisi. Lalu bagaimana bisa kita mempercayai informasi yang di berikan kepada masyarakat. Tentu kita mempertanyakan nilai ke-objektifitasan-nya toh.

Mungkin bagi yang sudah di tahapan intelektualitas tinggi dan punya waktu yang luang bisa mencari tahu dan melakukan research ‘calonnya’. Dari diskusi, dan meneliti dengan mendalam tentang bibit,bebet dan bobot calon tersebut. Tetapi, apakah setiap manusia Indonesia mampu dan punya waktu cukup melakukan itu, kira-kira berapa persen dari manusia indonesia yang sempat melakukan research terhadap calonnya, yang mana mereka sendiri sibuk menafkahi keluarga dan tidak sempat melakukan diskusi seperti saudara-saudara kita yang tingkat intelektualitasnya sudah tinggi itu. Apalagi saat ini calon anggota legislatif dari tingkat DPRD Kabupaten/Kota hingga tingkat DPR RI sangat banyak dan berjumlah ribuan, lalu bagaimana bisa kita meneliti sosok ‘calon’ ini?

Kedua, kira-kira berapa persen anda mendapatkan informasi yang jujur dan kompehensif tentang calon saudara? 5% ? 10% ?. Mengingat media sekarang juga sudah dikuasai oleh orang-orang politik juga yang tentu punya maksud terselubung. Media bisa menyembunyikan apa-apa yang buruk dan bisa juga menyembunyikan apa-apa yang baik. Media merupakan alat paling efektif untuk membentuk opini publik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun