Perbedaan pemikiran manusia tentang tuhannya, menjadikan setiap orang berbeda dalam berperilaku—berketuhanan, sehari-hari. Sedangkan perilaku seseorang terhadap yang lain, mau tidak mau pasti saling memengaruhi. Manusia mutlak harus hidup saling bergantung dalam berbagai kepentingannya. Karena disamping mempunyai kemampuan dan kelebihan yang luar biasa; ada pula berbagai kelemahan dan keterbatasan yang mutlak melekat pada diri setiap setiap pribadi manusia.
Ada yang berkata: “Kita adalah sesama umat Tuhan. Maka kita harus bisa hidup berdampingan secara damai dan saling membantu.” Ucapan demikian benar sekali. Tetapi apakah semua orang yang mengaku beragama sudah bisa hidup berketuhanan secara benar?
Setiap orang bisa mengaku bahwa dirinya sudah beragama dengan cara yang benar. Hal ini bisa dilihat, disaksikan diakui dan dinilai orang lain; betapa seseorang secara pribadi sangat rajin datang ke tempat-tempat peribadatan. Serta tersaksikan pula betapa taat mereka memematuhi semua yang disyariatkan agamanya.
Tetapi apakah mereka juga telah mewujudkan cara hidup berketuhanan dengan benar sesuai ajaran agamanya? Jawabnya, belum tentu. Karena Tuhan itu bukan agama. Dan agama bukan Tuhan.
Cara hidup berketuhanan itulah yang sering menimbulkan perselisihan faham. Nama Tuhan seolah-olah hanyalah sebuah nama yang sakral dan sugestif yang harus diterima dari suatu ajaran, sehingga muncul berbagai nama sebutan berbeda. “Perbedaan nama tuhan” bisa membuat perbedaan persepsi tentang yang dituhankan bagi para penganut suatu ajaran.
Pada hal Islam menyampaikan, bahwa setiap orang—pemeluk agama apa saja, termasuk mereka yang tidak mengakui KeberadaanNYA; seratus persen “hidup” dan “kehidupannya” tergantung kepada Tuhan Yang Mahakuasa.
Agama boleh berbeda. Ritual keagamaan boleh berbeda. Simbol-simbol agama boleh beda. Tetapi jika semua umat beragama “berketuhanan” dengan cara yang benar, maka bisa dipastikan, bahwa tidak akan terjadi perselisihan faham yang tidak perlu. Yang ada hanyalah hidup bersama saling pengertian, kerjasama saling membantu, saling menghargai, nasihat-menasihati, saling menghibur dan saling berbuat berbagai kebajikan.
Bila setiap orang mampu hidup berketuhanan dengan cara yang benar. Bukan hanya dalam kehidupan beragama saja yang akan terselenggara dengan benar dan baik. Bisa dipastikan. Bahwa hampir pada setiap aspek kehidupan bersama, pasti akan terselenggara dengan baik, harmonis, indah dan nikmat.
Sebaliknya. Walaupun agamanya sama, tetapi cara berketuhanan tidak benar, atau tidak sama, maka akan sangat mudah terjadi perselisihan faham dan konflik berkepanjangan yang tidak perlu.
Contoh.
Dalam sejarah kerajaan Islam di Indonesia. Pernah terjadi perselisihan antara Wali Songo dan Sultan Demak di satu pihak. Dengan Syeh Siti Jenar, yang juga beragama Islam di pihak yang lain. Antara Syeh Siti Jenar dan para wali pada waktu itu ada perbedaan pemahaman dalam bertuhan dan berketuhanan. Maka tidak bisa dihindari, bahwa perbedaan pemahaman itu kemudian memunculkan sikap permusuhan yang kian meruncing.
Oleh karena itu Wali Songo dan Sultan Demak (Raden Patah) bersepakat meng-habisi Syeh Siti Jenar.
Cara berketuhanan adalah faktor yang sangat menentukan bagaimana sikap dan perilaku seseorang; baik dalam beragama, beribadah, maupun bersikap terhadap sesamanya. Cara berketuhanan memengaruhi setiap orang dalam berbangsa. Bahkan sangat memengaruhi sikap rakyat terhadap penguasa di negerinya; dan sebaliknya.
Sejarah kehidupan manusia, mencatat banyak sekali kisah peristiwa besar yang sangat indah, menarik, sarat dengan pelajaran dan suri teladan; yang bisa memotivasi manusia untuk mau berjuang bersama meraih kehidupan mulia di dunia sampai di akhirat.
Kisah Nabi Musa as dimusuhi Firaun; kisah Nabi Ibrahim as, kisah Nabi Isa as Demikian pula halnya dengan kisah perjuangan Nabi Muhammad saw. Semua kisah menggambarkan keteguhan jiwa orang-orang yang taqwa; yang tabah dengan penderitaan, disertai keikhlasan berkorban harta benda, dan juga pengorbanan kepentingan pribadi yang luar biasa. Kisah-kisah yang sangat indah menggambarkan Kecintaan “Tuhan” kepada umat manusia, dan ketaqwaan manusia kepada tuhan yang disembahnya.
Kisah para nabi menunjukkan terjadinya perbedaan faham dan sikap tentang hidup berketuhanan, yang difahami oleh sebagian besar masyarakat pada zaman setiap nabi. Yang berselisih kokoh dengan pendirian masing-masing. Itu jelas menunjukkan bahwa yang dituhankan mereka tidak sama.
Firaun misalnya. Ia berpedapat bahwa tuhan adalah dirinya sendiri. Maka ia berpendirian bahwa semua orang harus menyembah dan patuh terhadapnya. Dia tidak suka ada orang lain yang mengaku bertuhan kepada Yang Mahaperkasa—yang bukan Firaun.
Banyak orang yang merasa memiliki tuhan. Yaitu tuhan yang diyakini pasti bisa menolongnya mengatasi kebutuhannya. Maka, dengan tak disadari seseorang bisa bertuhan kepada bermacam-macam berhala. Terutama bertuhankan berhala berupa harta, yang disebut duit. Oleh karena itu pula para nabi menyerukan kepada manusia supaya menyembah Tuhan Yang Maha Kuasa. Tuhan Yang Menjadikan wujud manusia dari segupal darah. Tuhan Yang Menghendaki kehidupan alam semesta ini nyata-nyata ada.
Yang bertuhankan duit, menganggap bahwa setiap persoalan hidup pasti bisa diatasi dengan sejumlah rupiah atau dolar. Kehidupan hanya dihargai dengan duit. Nilai ibadah pun seolah-olah hanya bisa diukur dengan sejumlah uang. Hati bisa tenang kalau ada setumpuk duit yang siap dipakai untuk memenuhi kebutuhannya. Seorang kawan pernah berkata, bahwa uang memang bukan segalanya, tetapi segalanya ternyata perlu dengan uang.
Nabi Muhammad saw berseru, sembahlah Allah tuhanmu. Dan aku adalah tuhanmu. Seruan ini bagi saya pribadi mengandung pesan bahwa umat-umatNYA hendaklah selalu ingat dengan yang Difirmankan Sang Nabi. Bukan ingat kepada Allah. Sebab Allah tidak bisa diingat manusia, walau Allah senantiasa Mengingatkan manusia. Allah senantiasa Mengingatkannya pada Firman-firmanNYA yang Difirmankan para Nabi.
Jangankan mengingat Tuhan yang disembah; terhadap dirinya saja manusia sering lupa diri. Manusia hanya bisa mengingat nama-nama dan simbol-simbol yang dituhankannya. Maka menyembah tuhan pun seakan-akan hanya bisa dilakukan secara simbolis dalam ritual-ritual saja.
“Kesetiaan dan bakti manusia” kepada Tuhan hanya bisa ditunjukkan secara nyata dengan sikap hidup dan perilaku yang sesuai dengan yang Difirmankan para Nabi.
Ada pertanyaan: “ Bagaimana jika mengingat Tuhan dengan menyebut NamaNYA. Apakah salah?”
Menyebut nama Tuhan, tidak berarti seseorang ingat KepadaNYA. Tetapi justru untuk mengungkapkan perasaan tidak mengerti tentang KeberadaanNYA. Menyebut Nama Tuhan sama sekali tidak berbuat salah. Tetapi agar menyebutNYA bisa fokus dan tidak asal sebut, maka harus jelas Tuhan yang mana yang disebut. Dalam Alqur’an ada 99 nama tuhan—Asmaul Husna. Dari perbedaan sebutan NamaNYA, jelas menunjukkan perbedaan KeberadaanNYA.
Tuhan senantiasa Mengingatkan manusia. Tetapi manusia sering mengabaikan. Mereka ada yang tetap mengaku tidak ingat, meski diingatkan pula oleh sesamanya yang lain dan ada bukti-bukti yang bisa mengingatkan. Bahkan manusia ada yang dengan sengaja melupakan bahkan memalsukan sejarah hidupnya, meski sesungguhnya mereka tetap tidak mampu melupakannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H