Mohon tunggu...
ashari mardjoeki
ashari mardjoeki Mohon Tunggu... -

Mengamati dan menuliskannya tentang hidup bertuhan yang nyata

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Terminologi Kata “Tuhan” dalam Bahasa Indonesia

2 Maret 2011   02:00 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:09 335
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bisa dipastikan, bahwa kata “tuhan” dalam bahasa Indonesia, berasal dari bahasa Jawa,  atau mungkin bahasa Melayu, yaitu dari kata “utuh” lalu menjadi “utuh-an,” yang memunyai makna “yang lengkap, yang sempurna, yang tidak kurang dan tidak ada lebih.”
Selanjutnya kata utuhan berubah meringkas menjadi kata “tuhan” yang dipakai dalam percakapan sehari-hari dalam Bahasa Indonesia. Kata “tuhan” digunakan untuk menyebut “keberadaan paling yang sempurna,” yang disembah; yang dipatuhi; sesuatu yang senantiasa dituju, yaitu “kesempurnaan.” Tempat manusia memohon kebaikan bagi dirinya.

Manusia juga merasakan ada sesuatu yang “belum utuh dan harus diutuhkan” yang juba pasti berarti “belum sempurna dan harus disempurnakan.”  Suatu perasaan “belum utuh dan harus diutuhkan,” adalah perasaan  “berkehendak mengutuhkan—menyempurnakan.”
Dalam Bahasa Indonesia, perasaan “berkehendak mengutuhkan—menyempurnakan,” dinyatakan menjadi satu kata “butuh,” yang digunakan untuk menyatakan keadaan perasaan yang ingin terpenuhi—terutuhkan yang dibutuhkan. Selanjutnya perasaan yang menghendaki menjadi suatu ke-utuh-an tersebut diungkapkan menjadi kata: “ke-bu-tuh-an,”—”kebutuhan.”  Yaitu perasaan sangat menghendaki untuk jadi utuhan (sempurna; lengkap).
Jadi perasaan butuh, hakekatnya adalah “harus menyempurnakan yang harus sempurna agar menjadi kesempurnaan yang sempurna.


Bertolak dari tereminologi kata “tuhan” tersebut, maka “hakekat ketuhanan” barangkali bisa dimaknai sebagai menjalani (melaksanakan; mewujudkan) kesempurnaan yang menyempurnakan setiap yang sempurna menjadi wujud yang sempurna.” Atau “menjalani kehidupan yang sempurna.” Yaitu hidup berjuang menyempurnakan (mengatasi, memenuhi) tuntutan kebutuhan dengan segala keterbatasan dan dalam aturan “Tuhan” yang pasti dan mutlak. Sesuai dengan peran masing-masing pribadi dalam menjalani kehidupan.
Dengan aturan yang pasti dan mutlak, kehidupan ini akan kekal terus menuju “kesempurnaan yang sempurna.” KesempurnaanNYA yang sempurna mutlak Menyempurnakan KesempurnaanNYA dengan pasti Sempurna.
Kesempurnaan Mutlak yang Menyempurnakan inilah yang menjadikan kehidupan  di alam semesta senantiasa dalam kesempurnaan dan keharmonisan.

Hidup yang sempurna dengan tatanan yang harmonis inilah yang menjadikan manusia bisa merasakan hidup ini indah dan menyenangkan. Menjadikan manusia senantiasa merasa bersyukur dan ridho bersikap ikhlas dalam KemuliaanNYA.
Dengan demikian, maka “hidup berketuhanan” bisa dimaknai  “menjalani kehidupan yang sempurna—di jalan yang senantiasa menyempurnakan yang sempurna dan yang dirasakan belum sempurna; dengan  bersyukur serts berikhlas, tanpa rasa takut dan was-was. Senantiasa merasa tenteram, senang, bahagia dengan amalnya yang ibadah.” Karena senantiasa dalam kesempurnaan hidup.
Yang menjalani hidup berketuhanan, adalah mereka yang selalu berusaha menempatkan diri dengan “hidup sempurna”—hidup  dengan kesempurnaan dirinya yang senantiasa menyempurnakan pikiran dan perbuatannya dengan hasil yang sempurna.  Mengadihkan kebahagiaan bagi orang=orang lain.
Hasil pikiran dan perbuatan yang sempurna pasti menghadirkan rahmat bagi kehidupan alam semesta. Jiwa mereka tenang, tenteram, damai, bahagia, tanpa keluhan dan tanpa ketakutan, walaupun pahit getir kehidupan pun selalu menyertai perjalanan hidup itu sendiri.


Memang ada pendapat berbeda. Bahwa kata “tuhan” dinyatakan dari akar kata “tuan.” Menurut hemat penulis. Kata “tuan” berakar dari kata “tua” yang menunjukkan tingkat usia. Kata “tua” selanjutnya berubah menjadi “tua-an (tuaan),” yang berarti lebih tua—harus dihormati oleh yang muda. Dari kata “tuaan” ini kemudian berubah menjadi kata “tuan,” yang lazim dipakai untuk memanggil (menyebut) dengan perasaan hormat pada nama seseorang .
Terus terang, pemikiran tentang makna kata “tuhan” tidak ada referensi yang mendukung, selain mencoba mengungkap makna apa yang terkandung dalam kata "tuhan" tersebut. Dasarnya.? Ada kebutuhan pribadi untuk tahu makna berketuhanan yang sebenarnya, dalam menerima kehidupan yang nyata ini.  Mudah-mudahan tulisan ini ada gunanya bagi orang lain.
Di kamus-kamus bahasa Indonesia hanya dituliskan, “Tuhan” adalah untuk sebutan sesuatu yang disembah dan dipuja manusia sebagai sesuatu  Yang Mahakuasa, Mahasempurna, Mahasuci.”


Bagaimana menurut Anda?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun