Belum sempat merasakan nikmatnya tinggal di hunian permanen dengan segala kenyamanan, kesejukkan dan ketenangan berada di dalamnya sebagaimana kita rasakan selama ini. Dua orang warga Lombok bernama Didik (21) dan Maturidi (25) malah berangkat meninggalkan Huntara untuk merasakan getirnya hidup di bawah tenda pengungsian di Palu.
Hunian sementara (Huntara) merupakan hunian semi permanen yang terbuat dari seng dan tripleks di Desa Sembalun, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Hunian ini dibangun seadanya pasca gempa gempa magnitudo 7.0 mengguncang Lombok beberapa waktu lalu.
Sebelum adanya Huntara, warga Lombok dan sekitarnya hidup di bawah tenda darurat beratap terpal dan beralas tikar atau terpal juga. Akan tetapi tenda ini cukup untuk menahan guyuran hujan dan teriknya panas. Terutama untuk daerah pengunungan jika hujan turun. Bahkan embun pun cukup menembus tebalnya terpal apalagi jika tipis. Sehingga menambah dingin para penghuninya apabila malam telah datang dan bak terpanggang  di atas api jika panas menyapa di siang bolong.
Belumlah puas menikmati sedikit kenyamanan ditawarkan Huntara, setelah hidup di bawah tenda. Tiba-tiba kabar menyayat hati kembali datang dari Kota Palu, yang guncang gempa magnitudo 7,7, tanah longsor, Tsunami dan tanah bergeser alias Likuefaksi.
Peristiwa di atas membuat dua pria asal Lombok ini tergerak hatinya untuk berangkat ke Palu. Meskipun keduanya juga merupakan korban gempa yang meluluh lantakkan rumah mereka.
Didik dan Maturidi warga desa Sembalun, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Ia bergabung tim relawan Komunitas Muslim Family Land dan Mufland Humanity Care, setelah mereka bahu membahu membangun Huntara di Lombok.
"Kami kan sempat merasakan gempa. Tapi sekarang. Alhamdulillah, sudah mulai normal gitu. Di Palu mereka merasakan lebih. Ada lumpur, tsunami dan longsor. Kami mau membantu sedikit-sedikit warga Kota Palu." kata Maturidi, ditemui di Makassar, Minggu 14 Oktober 2018 siang.
Ia mengatakan pasca gempa Lombok, pihaknya bertemu dengan tim relawan Komunitas Muslim Family Land. Dari pertemuaannya itulah pihaknya banyak belajar dari para relawan bagaimana membangun hunian sementara bagi para korban gempa. Berkaca dari pengalaman itu, ia bersama tim relawan bergerak ke Palu berencana melakukan hal yang sama.
Pria yang biasa disapa Edo ini, mengatakan dari Lombok, pihaknya bersama 5 orang relawan. Dua orang asli Lombok yang lainnya merupakan relawan senior. Ia menempuh perjalanan darat, laut dan udara. Lombok ke Surabaya jalan darat, Surabaya ke Makassar naik kapal dan Makassar ke Palu akan mengunakan pesawat.