Selama ini kita mengenal angka kemiskinan dengan mengunakan lima versi Indikator Kemiskinan, yaitu :  pertama,  Bank Dunia (kemiskinan diukur secara ekonomi berdasarkan penghasilan yang diperoleh orang miskin maksimal dihitung dalam US$). Kedua,  International Labour Organization/ILO (yaitu orang miskin di pedesaan jika  pendapatan maksimal dihitung dalamUS$).
Ketiga, BKKBNÂ yang mendefinisikan kemiskinan dengan 5 indikator (tidak dapat menjalankan ibadah menurut agamanya, seluruh keluarga tidak mampu makan dua kali sehari, seluruh anggota keluarga tidak mempunyai pakaian berbeda untuk di rumah, bekerja, sekolah dan berpergian, bagian terluas rumahnya terdiri atas tanah dan tidak mampu membawa keluarga jika sakit ke sarana kesehatan).Â
Keempat, Dinas Kesehatan menambahkan kriteria lain (tingkat akses pelayanan kesehatan pemerintah, ada anggota keluarga yang putus sekolah atau tidak, frekuensi makan makanan pokok per hari kurang dari dua kali dan kepala keluarga mengalami pemutusan hubungan kerja atau tidak). Kelima, BPS mendefinisikan miskin berdasarkan tingkat konsumsi makanan kurang dari 2100 kalori/kapita/per hari dan kebutuhan minimal non makanan (sandang, papan, kesehatan dan  pendidikan).Â
Disamping itu secara ekonomi BPS menetapkan penghasilan dalam Rp. per  bulan sebagai batas miskin perkotaan dan dalam Rp.  di pedesaan. Tata cara dan pelaksanaan di lapangan tidak bisa dikatakan mudah. Dari diskusi definisi, parameter hingga kemampuan petugas dilapangan dalam mencari data selalu menjadi bahan perdebatan.
Menurut BPS (Biro Pusat Statistik), salah satu aspek penting untuk mendukung Strategi Penanggulangan Kemiskinan adalah tersedianya data kemiskinan yang akurat dan tepat sasaran. Angka pengukuran kemiskinan yang dapat dipercaya dapat menjadi instrumen tangguh bagi pengambil kebijakan dalam memfokuskan perhatian pada kondisi hidup (sosial) orang miskin.Â
Angka kemiskinan yang baik dapat digunakan untuk mengevaluasi kebijakan pemerintah terhadap (kependudukan) kemiskinan, membandingkan kemiskinan antar waktu dan daerah, serta menentukan target penduduk miskin dengan tujuan untuk memperbaiki kualitas hidup mereka. Angka Kemiskinan menjadi dasar penyelenggaraan Program Pengentasan Kemiskinan.
Rupanya adanya kehebohan baru di masyarakat, SKTM telah menjelma menjadi dasar pelaksanaan Program Pengentasan Kemiskinan. SKTM yang dimaksud adalah Surat Keterangan Tidak Mampu dalam kegiatan sekolah, yaitu saat Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2018. SKTM dapat secara mudah dilaksanakan, cukup menyertakan : 1. Kartu keluarga asli dan fotokopi 2. Kartu Tanda Penduduk Asli dan fotokopi 3.Â
Surat pernyataan tak  mampu dari RT/RW.  Kemudian, persyaratan tersebut dibawa ke kelurahan atau kantor desa hingga akhirnya diterima  SKTM. Sangat simple. Walhasil, Program SKTM ini menghasilkan banyak Keluarga Miskin baru yang secara beramai-ramai secara sukarela masuk dalam katagore keluarga tidak mampu. SKTM, Sebuah Program Pengentasan Kemiskinan yang meng-inspirasi kenaikan Angka Kemiskinan.
Saya berharap tugas menjalankan Program Pengentasan Kemiskinan tidak akan diberikan kepada Kementerian Pendidikan beserta jajaran-nya di seluruh daerah (Kabupaten/Kota/Provensi) di Indonesia. Ini gagal paham, namanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H