AMINA, demikian judul sebuah novel karya Mohammed Umar, seorang berkulit warna yang meraih gelar masternya di Moscow State University (1991), kelahiran Nigeria. Dia mengambil situasi novelnya di negeri kelahirannya sendiri, Nigeria. Dan sebagai tokoh utama dalam novel ini seorang perempuan bernama Amina. Sebagaimana layaknya perempuan Nigeria pada umumnya, Amina dipaksa untuk menikah dengan laki-laki yang bahkan tidak dikenalnya, sebagai istri keempat dari seorang yang sangat kaya dan berkuasa. Saat dinikahi sebetulnya dia masih menempuh kuliah, namun setelah nikah ia hanya hidup di rumah tanpa kegiatan apapun. Karena perempuan dianggap tidak perlu untuk berpendidikan tinggi. Dalam novel ini dikisahkan mayoritas perempuan Nigeria sedikit yang sampai menempuh pendidikan tinggi. Dan praktek poligami sangat subur bagi laki-laki kaya dan berkuasa. Pada awalnya Amina merasa nyaman dengan rutinitas kehidupan sebagai istri laki-laki kaya dan berkuasa, semua fasilitas dan kebutuhan hidup apapun bisa dipenuhi. Namun ia mulai menyadari kalau kehidupannya hanyalah kungkungan kaum perempuan dan hanya menimbulkan pesimisme masa depan perempuan. Itu setelah Fatima, temannya, selalu mendiskusikan dengannya tentang nasib perempuan Nigeria yang terkungkung oleh partiakhisme. Awalnya ia tak tertarik dengan issu yang disandingkan Fatima. Tapi pada akhirnya ia tertarik pula saat melihat kondisi senyatanya perempuan Nigeria dan setelah membaca-baca buku yang selalu sengaja ditinggalkan Fatima di kamarnya. Dikuatkan lagi dengan apa yang telah menimpa dirinya. Dalam kehidupan keluarga seorang suami yang beristri lebih dari satu, Amina mendapat kecemburuan dari istri yang lainnya. Hingga Amina pun dapat tamparan keras bukan hanya mental tapi fisik, setelah ia diisukan oleh istri yang lainnya, selingkuh dengan laki-laki lain. Namun sebagai orang yang tidak bisa marah, ia hanya bisa bersabar dan masih bisa memaafkan tingkah suaminya. Awal pembaharuan pemikiran Amina tentang nasib perempuan Nigeria saat ia kembali dituduh selingkuh, tuduhan yang juga menjadi penyebab kematian anak semata wayangnya. Amina mulai berontak dengan pemahaman suaminya tentang perempuan Nigeria dari berbagai aspeknya, juga tentang negerinya. Perjuangannya mulai mendapat dukungan dari berbagai kalangan perempuan kecuali para istri dari laki-laki kaya dan berkuasa. Bersama teman-temannya ia berhasil mendirikan sebuah yayasan untuk memperjuangakan hak-hak perempuan pada khususnya. Yayasan ini mengawali agendanya dengan program melek huruf bagi perempuan karena mayoritas perempuan Nigeria tidak bisa berkesempatan untuk menikmati pendidikan sampai tinggi. Namun disayangkan perjuangan Amina belum sampai mencapai klimaks karena suasana politik negerinya yang kurang mendukung, waktu itu ada kudeta dari orang-orang militer. Teman-teman seperjuangan Amina mengungsi ke luar negeri, menghilang sementara karena menjadi buruan para pengkudeta dengan berbagai tuduhan. Gerakan Amina dan teman-temannya sementara sunyi. Amina sendiri sibuk dengan anaknya yang baru lahir setelah anak pertamanya meninggal. Dari sekian teman-temannya yang menjadi buronan, Hanya Amina yang tidak diburu karena ternyata nama suaminya masih laku dan sakti terdengar dalam pergulatan politik negeri itu, toh meskipun Amina selalu berselisih paham dengan suaminya tentang berbagai hal. Sebuah kekaguman tersendiri dari sosok Amina, menjadi istri keempat dari seorang suami dan tetap penuh tekad memperjuangkan hak-hak perempuan Nigeria. Namun terlihat ada sisi ironis memang, melihat kenyataan seorang Amina sebagai pejuang hak-hak perempuan, ia juga masih tetap bertahan sebagai istri keempat dari seorang suami yang tidak pro perjuangan hak-hak perempuan dan berpoligami hanya karena ia seorang laki-laki kaya dan berkuasa. Tapi Amina masih setia bertahan menjadi istri keempat sementara dari sudut pandang ia memahami persoalan perempuan terlihat sangat berbeda dengan kacamata suaminya. Ada apa sebenarnya dengan Amina dan perempuan-perempuan lain sesosok dengan tokoh Amina itu? Apakah menjadi istri keempat bisa menjadi titik tolak perjuangannya? Mungkinkah ini menjadi pengecualian dengan kondisi sebagai dalih andalannya? Dalam novel itu dikisahkan sempat juga Fatima mengajak Amina untuk bercerai dari suaminya, ajakan itu apalagi bertepatan pada suatu tanggal ketika terlihat nyata perlakuan suaminya terhadap Amina yang sangat merendahkan, tidak berperikeperempuanan. Tapi Amina tetap kekeh akan setia menjadi istrinya. Apakah ini pertanda bahwa poligami bukanlah sebuah masalah untuk memperjuangkan hak-hak perempuan? Artinya benar bahwa dipoligami bukan masalah bagi seorang perempuan pejuang hak-hak perempuan. Akankah sesosok Amina bisa bertahan dengan kondisi yang ia ciptakan itu? Masih butuh obrolan lebih malam, ngelonjor sambil menyedu kopi, untuk mengurai tanya-tanya tersebut. Bagaimanapun fiksinya novel Amina, adalah patut bila kita curiga Mohammed Umar telah mengentasnya dari senyatanya nyata. Inilah kisah PR bersama dan tidak berhenti terjebak pada sebuah pengecualian.[] must-x
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H