Mohon tunggu...
mustain
mustain Mohon Tunggu... Karyawan swasta -

wong cerbon

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Membela dalam Senyap: Balada Tukang Baso dan Gas Melon

9 Desember 2017   05:14 Diperbarui: 9 Desember 2017   06:27 1618
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Asep, pedagang bakso keliling yang biasa jualan di komplek perumahan saya sudah beberapa hari ini tidak keliahatan. Lelaki asal Sukabumi itu, sering sholat di masjid perumahan sambil menunggu pembeli, ibu-ibu yang mengantar anaknya mengaji.  Biasanya, kalau tidak jualan, Asep pulang ke kampong dan selalu pamit kepada jemaah terakhir yang ditemui di masjid. Tapi sudah 2 hari ini enggak ada kabarnya. Ini sudah masuk hari ketiga, tidak melihat laki-laki penjual "bakso malang" itu lewat disekitar perumahan.

"Di mana, Sep?" Kang Teddy bicara kepada Asep lewat telepon. "Koq enggak ngabarin!". Kami pun menunggu Kang Teddy menyelesaikan bicaranya dengan Asep. Dari cerita Kang Teddy, Asep tidak jualan karena tidak mendapatkan gas. Beberapa pengecer di lingkungan tempat dia tinggal sudah beberapa hari kosong. Asep memilih berhenti berjualan karena tidak ada pilihan bahan bakar lain untuk memasak.  Selama ini dia menggunakan gas tabung 3 kg untuk memasak dan memanaskan kuah baksonya.  Maka sejak gas itu menghilang dipasaran dia terpaksa tidak bias lagi jualan.

Gas tabung 3 kg memang lebih murah dan praktis. Tabungnya yang kecil gampang diletakkan  di ruang sempit sekalipun seperti gerobak atau booth. Bahkan pedagang gorengan yang pakai pikulan menggunakan gas tabung 3 kg ini untuk berjualan. Bisa dibayangkan jika jualan dengan pikulan pakai gas tabung 12 kg. Apa enggak remuk tuh badan.  Maka pedagang seperti Asep memilih gas tabung 3 kg ini untuk memasak dan memanasi dagangannya.  Tidak ada pilihan, ya tidak ada pilihan. Memakai tabung yang lebih besar, selain tidak praktis harganya tak terjangkau dan akan menggerus laba. Bahan bakar lain, seperti minyak tanah sudah lama menghilang. Bahkan kompornya sendiri sudah tidak pernah diproduksi lagi.

Orang seperti Asep dan kawan-kawannya penjual gorengan atau bakso pikulan sering luput dari perhatian ditengah hiruk pikuk kelangkaan gas tabung 3 kg. Padahal mereka inilah yang menjadi sasaran dari pengadaan tabung gas 3 kg. Dan merekalah korban yang langsung terkena pukulan jika gas itu mengalami kelangkaan.  Tapi mereka memilih diam dan menerima keadaan. 

Sebuah pilihan paling aman, toh jika bicarapun belum tenta ada yang mendengarkan. Asep dan kawan-kawannya itu adalah orang-orang  yang sudah terlatih dengan kesulitan dan bias hidup di tengah himpitan keadaan. "Yang penting halal dan tidak merugikan orang lain, Pak!" katanya suatu kali saat ditanya tentang pilihan menjadi penjual bakso keliling.

Kegaduhan kelangkaan gas 3 kg ini tidak terlepas dari banyaknya pengguna tabung gas 12 kg yang beralih ketabung 3 kg. Secara kasat mata saja, di tempat saya tinggal, mobil atau sepeda motor pengangkut gas 3 kg lebih banyak hilir mudik dari pada yang membawa gas 12 kg atau 5,5 kg. "Pelanggan saya banyak yang ganti tabung, Pak!" kata Nunu, yang biasa nganter gas ke rumah-rumah. Alasannya sederhana, harganya lebih murah. Karena rumah tangga berpenghasilan tetap kesulitan mengatur anggaran di tengah kenaikan harga kebutuhan yang lebih cepat gerakannya dari kenaikan gaji. Mencari yang lebih murah adalah alas an praktis dan pragmatis di tengah deraan harga yang naik tanpa memberitahu.

Tapi bila sedikit mau memahami dan berbagi dengan sesama, tentu harga bukan satu-satunya pertimbangan. Bayangkan jika orang seperti Asep harus berhenti berjualan hanya karena tabung gas yang biasa dibelinya di warung kita ambil dengan alas an lebih murah. Kitapun menyalahkan Negara mengapa tidak menyediakan gas 3 kg lebih banyak? Seribu alas an bias kita cari sebagai pembenar tindakan yang kita ambil sambil mengabaikan Asep dan teman-temannya penjual gorengan pikulan itu dengan anak-anak mereka yang menunggu bapaknya pulang membawa uang. Tentu tidak berarti uang yang ingin kita hemat dengan mengambil gas tabung 3 kg itu dari gas 12 kg yang biasa kita pakai.

Bagaimana dengan peran negara, koq tidak mau menyediakan gas tabung 3 kg lebih banyak lagi agar tidak terjadi kelangkaan dan semua kebagian.  Yaitu tadi, mudah mencari alas an dan melakukan pembenaran atas sebuah tindakan jika semangat awalnya tidak peduli dan tidak mau tahu.  Sama dengan pembuang sampah di kali yang tidak merasa bersalah atas tindakannya, karena yang penting masalahnya selesai dan tidak ada urusan dengan tindakan itu merugikan orang lain. 

Dilihat lebih dalam ternyata gas tabung 3 kg itu, jalan yang diambil pemerintah untuk meringankan warga tak mampu. Karena jika gas itu dijual dengan harga pasar, menjadi beban buat mereka.  Sebaliknya, jika semuanya dijual dengan harga subsidi, pasti BUMN seperti Pertamina akan rugi. Jika sebuah perusahaan terus-terusan rugi dalam operasi bisnisnya, bangkrut atau mati itu tinggal menghitung waktu.  Jika sudah mati, kerugiannya akan berlipat. Tidak hanya Negara yang semakin terbebani, masyarakat pun tak kalah menderitanya.

Jadi,  jika mencintai Negara ini belum bias kita lakukan seperti para pejuang kita di masa lalu, atau kita ingin membela orang miskin dan bersimpati kepada mereka tetapi kita tidak ingin orang lain melihat dan hanya kita dan Tuhan saja tahu, cukup dengan tidak membeli gas tabung 3 kg. Memang tidak seheroik para pejuang dan seheboh seleberitis mendatangi warga pinggiran saat member bantuan. Tapi di situlah pembelaan yang sebenarnya. Membela dalam kesenyapan yang nilai dan maknanya hanya DIA saja yang tahu dan DIA pula yang akan memberinyabalasan. Wallaahua'lam. (end))

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun