Pensil patah yang biasa kupakai untuk menuliskanmu, pagi ini kutemukan terbaring di antara huruf-huruf yang tak sempat kurangkai. Lalu kuambil dia, dan mulai kulengkapi mereka menjadi kalimat-kalimat pengingat.
Saat-saat kuajak kamu mengejar riuh ombak, saat-saat mendengar musik biasa yang kamu putar berulang, saat-saat kita tidak tahu hendak berkendara ke mana. Lalu hari menjadi gelap.
Entah mimpi atau halusinasi, aku melihat pensil patah yang biasa kupakai untuk menuliskanmu, berubah menjadi kamu. lengkap dengan aromamu yang masih sama; sama seperti aroma yang masih tertinggal di corong megaphone yang kita pakai waktu itu, saat dimana lantang gemanya sama dengan lantang perasaan rinduku.
Saat matahari semakin memaksa pergi dari pandangan, membuat hati kacau, nalar kian takberarah. imajinasiku terhenti taksanggup melanjutkan kalimat-kalimat rindu. kusimpan pensil patah ini dengan harapan besok matahari akan terbit kembali, menunggu saat senja bersamamu, dan melanjutkan kalimat-kalimat pengingat ini. hingga lupa enggan merasuk sukma, menanti rajut kasih yang kian memberontak.
ini sajak rindu, rindu yang dientahkan, hingga aurora menjelma menjadi nyata, hingga kita bersepakat naik tahta.
Gorontalo, 14 Februari 2018Â
Asghar Prajak
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H