Dedaunan luruh mengalun teduh. Ringkih senandung yang terbasuh tanpa keluh. Berkobar rasa yang teramat bergemuruh. Aku tak akan jenuh untuk bersimpuh. Pada akar yang kukuh namun nyatanya rapuh. Walau harus terbunuh hanya sekedar memberi teduh.
Dalam melodi hati yang mulai menjauh.
Dalam jiwa yang mulai rubuh.
Jatuh
Luruh
Raga menjadi tempat ternyaman untuk berlabuh.
Senja yang hanya menyapa membuatku semakin lupa. Kalau realita yang ada hanya sebatas fatamorgana. Di bawah pohon cemara, kupresentasikan sajak warna yang terungkap pada lembaran atma. Lembaran atma di balik senja.
Ya, itu dia. Segenggam bunga pun tak dapat mewakili rasa yang teramat bermakna. Karena puspa tak sanggup menerka. Antara gila dan cinta. Yang membutakan bagi pengabdinya.
Walau pahit dalam palung sakit yang tak sedikit. Terhimpit dalam sempit. Terjebak dalam kebohongan implisit yang membukit. Aku menjerit. Tak ada lagi yang perlu diungkit. Meski pada akhirnya mentari tak lagi terbit. Aku tak munafik perihal seseorang yang telah enggan merakit. Aku hanya perlu bangkit. Meski sulit.
Sepoi menjadi saksi atas juang yang aku beri. Menanti. Sepi. Kau tetap tak kunjung kembali. Meski telah kutanamkan ribuan benci. Itu tak berarti. Karena atensi merasai dalam pori-pori hati. Aliran afeksi dalam detak nadi. Merasai. Bukan segala titah menapak apriori. Mempercayai meski berkali-kali terkhianati. Atas dasar janji yang diingkari. Atas dasar kenangan yang tak pantas diulas kembali. Tak tau diri. Lagi.
Blitar, 19 April 2020