Mohon tunggu...
Udik Fajar
Udik Fajar Mohon Tunggu... Penegak Hukum - Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia

Penulis merupakan pribadi yang gemar membaca dan mulai mengeksplorasi diri dengan menulis. Fokus utama pada bidang pembimbingan kemasyarakatan menjadi bidang yang sangat diminati oleh penulis

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Melindungi Hak Anak, Memandu Generasi Muda

23 Juli 2024   00:49 Diperbarui: 23 Juli 2024   00:51 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sesuai kodratnya, kehidupan di dunia tak ada yang abadi. Begitu pun eksistensi manusia, tumbuh, menua, dan  mati. Akan tetapi eksistensi sebuah negara berbeda, tumbuh dan menua itu pasti, namun mati adalah pilihan. Sebuah negara dapat terus hidup, bertumbuh, dan mengakar kuat apabila tonggak estafet dilanjutkan dengan baik oleh generasi penerusnya. 

Pemegang tonggak kekuasaan hari ini sudah seharusnya memastikan generasi penerusnya terkawal dengan baik. Anak -- anak hari ini adalah aset bagi negara di masa mendatang. Di tangan mereka, negara ini kelak bercorak. Apakah menjelma menjadi negara maju yang syarat akan kebangkitan dan kejayaan? Ataukah terbentuk menjadi negara yang tersandung dan jatuh kedalam jurang kehancuran? 

Menuju Indonesia Emas 2045 (?)

Bulan Juli menjadi momentum paling tepat untuk memperbincangkan generasi muda. Bagaimana tidak, tanggal 23 Juli dinobatkan oleh negara sebagai Hari Anak Nasional. Pengukuhan tersebut telah disemarakkan sejak era kepemimpinan Presiden Soeharto. Genap 40 (empat puluh) tahun yang lalu, berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) No. 44 tahun 1984, ditetapkan secara resmi tanggal 23 Juli sebagai Hari Anak Nasional. Tanggal tersebut dipilih karena bertepatan dengan Pengesahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. Peristiwa tersebut menjadi momentum dimana negara menyadari bahwa generasi muda harus terus dipandu dan dikawal. Hal ini tentu saja demi mengabadikan kemerdekaan Indonesia dan demi kemajuan bangsa dimasa depan. Terang saja, karena "anak-anak hari ini adalah pengemban amanat dimasa depan". Pertanyaannya, sudahkah generasi muda hari ini berada pada gerbong yang tepat?

Tagar "Menuju Indonesia Emas 2045" santer digaungkan dewasa ini. Visi besar tersebut digelorakan oleh Pemerintah Indonesia dalam rangka menjadikan negara ini sebagai bangsa yang berdaulat, maju, adil, dan makmur pada tahun 2045. Pada tahun tersebut bertepatan dengan peringatan 100 tahun kemerdekaan Indonesia. Satu abad lamanya Indonesia merdeka, sudah seharusnya Indonesia di Tahun 2045 menjelma menjadi negara jaya dengan kilauan prestasi dan kemajuannya. Bagaimanapun juga, pada tahun 2045 nanti bukanlah kita nahkoda kapalnya. Anak-anak kita hari ini yang akan memimpin negara besar ini nantinya. Namun, sudahkah generasi muda hari ini berada pada jalur yang tepat, jalur yang akan mengarahkan Indonesia mencapai kemajuan? yang bisa kita lakukan untuk menjawab pertanyaan tersebut adalah dengan memproyeksikannya.

Sungguh ironis, faktanya adalah anak -- anak kita hari ini semakin banyak yang terjebak pada tindakan kriminalitas. Pelaku tindak pidana anak dibawah umur, atau yang berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) disebut sebagai Anak yang Berkonflik dengan hukum, semakin lama semakin meningkat jumlahnya. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia, total anak yang menjadi warga binaan pemasyarakatan per 19 Juli 2024 mencapai 1.624 anak yang tersebar di berbagai unit pelaksana teknis (UPT) pemasyarakatan di seluruh Indonesia. Adapun trend jumlah anak yang menjadi tahanan dan narapidana di UPT Pemasyarakatan juga memiliki kecenderungan meningkat.

Perlindungan Hak Atas Privasi bagi Anak 

Pada saat anak terjerumus pada perbuatan tindak pidana, tidak sepenuhnya hal tersebut merupakan kesalahan anak. Internalisasi nilai dan norma yang belum matang serta pola pikir yang belum sempurna turut mendukung anak melakukan tindak pidana. Rendahnya peran orang dewasa dalam membimbing anak menjadi salah satu faktor penyebabnya. Orang dewasa pun seharusnya juga turut bertanggung jawab. Bukan hanya orang tua kandungnya saja, mengingat anak merupakan aset berharga negara, maka berbagai pihak juga harus terlibat. Terlebih lagi bagi anak yang berkonflik dengan hukum. Mereka adalah kelompok yang rentan akan pelanggaran Hak Asasi Manusia.

Konvensi Hak Anak (Convention The Right of The Child) turut mendukung perlindungan anak yang berkonflik dengan hukum. Sebagai sebuah kesepakatan internasional, konvensi tersebut memberikan pandangan bahwa anak yang berkonflik dengan hukum dapat dikategorikan sebagai anak dalam situasi khusus. Hal tersebut dikarenakan adanya potensi kebutuhan-kebutuhannya yang tidak terakomodir dengan optimal, rentan mengalami tindak kekerasan, serta berada pada lingkup di luar lingkungan keluarganya. Salah satu hak anak yang paling sering dilanggar adalah hak atas privasi. Padahal hak tersebut merupakan salah satu bentuk Hak Asasi Manusia (HAM) dengan dasar peraturan yang berlapis.

Di Indonesia, hak atas privasi diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan. Pada Pasal 28G ayat (1) UUD 1945, disebutkan bahwa setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi. Lebih lanjut, Indonesia juga memiliki Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP). Undang-undang tersebut secara khusus mengatur tentang perlindungan data pribadi dan hak privasi, termasuk melindungi data pribadi anak dari penyalahgunaan.

Adapun secara spesifik, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak juga memberikan perlindungan terhadap Hak Privasi Anak yang berhadapan dengan hukum. Pada Pasal 19 ayat (1) dijelaskan bahwa Identitas Anak, Anak Korban, dan/atau Anak Saksi wajib dirahasiakan dalam pemberitaan di media cetak ataupun elektronik. Lebih lanjut pada Pasal 97 ditekankan bahwa setiap orang yang melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 500.000.000 (lima ratus juta rupiah). Perlindungan berlapis ini tentu saja demi mengedepankan kepentingan terbaik bagi anak.

Mengembalikan Gerbong menuju Jalur yang Tepat

Perlindungan berlapis terhadap hak atas privasi anak yang berhadapan dengan hukum mengisyaratkan bahwa hak tersebut merupakan salah satu hak vital bagi anak. Penyebarluasan identitas anak dapat berpotensi menambah trauma. Anak yang berkonflik dengan hukum sejatinya telah berada pada situasi yang pelik. Anak harus berhadapan dengan penghukuman atas perbuatannya yang dilakukan pada saat tumbuh kembangnya belum sempurna.  

Berdasarkan teori perkembangan moral Kohlberg (1974), perkembangan moral remaja sejatinya berada pada tahap pasca-konvensional. Tahap dimana seseorang sudah mulai memahami prinsip etis universal. Akan tetapi akibat berbagai faktor, perkembangan moral anak yang berkonflik dengan hukum tertinggal pada tahap konvensional. Dirinya belum memahami sepenuhnya norma dan moral yang berlaku di masyarakat. Maka dari itu, jangan sampai momentum penghukuman anak berkonflik dengan hukum justru membentuk anak melenceng lebih jauh, sebagaimana yang di katakan dalam "Teori Tipologi Adaptasi Merton" sebagai Rebellion (Pembangkangan).

Tunas muda harus dikawal untuk kembali ke jalan yang benar, ke dalam gerbong yang membawa negara menuju kejayaan. Salah satu upayanya adalah dengan melindungi hak-haknya, terutama hak atas privasi. Karena anak yang terekspose sebagai anak bermasalah, tak ubahnya sama seperti memarahi anak akan kesalahannya didepan umum, hanya meninggalkan luka dan malu. Maka dari itu, mari kita bersama-sama mengawal pemenuhan hak anak dan mengembalikannya menuju gerbong yang tepat. Kita percaya bahwa tidak ada anak yang nakal, yang ada hanyalah anak yang butuh pertolongan karena salah jalan.     

Referensi

  • Kohlberg, L. (1974). Education, Moral Development and Faith. Journal of Moral Education, 4(1), 5-16
  • Robert K. Merton, Social Theory and Social Structure, 1949, New York, Free Press

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun