Mohon tunggu...
Asep Wijoyo
Asep Wijoyo Mohon Tunggu... -

Yakinlah Hari Esok Lebih Baik Buat Kamu.

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Pilihan

Akibat Ulah Calo Kampung Rambutan Aku Terlantar di Jalan

20 Februari 2015   18:48 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:49 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1424430553977692637

[caption id="attachment_398269" align="aligncenter" width="620" caption="Ilustrasi - Terminal Kampung Rambutan. (Fabian Januarius Kuwado)"][/caption]

Ini kedua kalinya saya dipermainkan calo. Sebelumnya saya pernah kena calo di Terminal Pulo Gadung. Saat itu saya ada perlu di Jakarta dan memilih untuk pulang ke Jepara naik bis. Setiba turun dari angkot di Terminal Pulo Gadung, langsung ada seseorang bertampang sangar menyapa saya. “Mau ke mana Mas?!” Karena saya memang cari amannya dan saat itu juga saya belum pernah menginjakkan kaki di Terminal Pulo Gadung, saya sudah siap untuk kena calo. “Mau ke Jepara,” jawab saya. Langsung saja saya diajak menyusuri lorong-lorong di antara bis-bis yang parkir. Sambil berbincang, tampaknya orang ini mengenal daerah Jepara, membuat saya merasa nyaman dengannya, dan sampailah di tempat penjualan tiket. Saya langsung diajak masuk ke dalamdan akhirnya diuruskan untuk tiketnya. “Dua ratus dua puluh lima ribu.” Walaupun lebih mahal 75.000,- dibanding tiket saat berangkat namun tak apalah buat saya, asalkan saya selamat sampai tujuan dan tidak diganggu preman. Langsung saja saya keluarkan uangnya.

Saya menunggu sekitar satu jam, dan akhirnya datanglah bis yang akan saya naiki, langsung saja saya masuk, di dalam bus baru ada dua orang. Terbukalah obrolan saya dengan dua orang tersebut. Mereka menanyakan berapa harga tiket saya, setelah saya sebutkan, mereka bilang bahwa harga tiket saya kemahalan 75.000,- mereka menyarankan nanti suatu saat agar tidak kena calo, kalau masuk Pulo Gadung jangan masuk depan namun masuk lewat samping biar gak kena calo.

Saat saya berbincang dengan mereka, masuklah satu orang ke dalam bis, setelah ia ikut nimbrung dengan kami dan akhirnya ia ngedumel, “Kampret, saya kena 75.000,- kalau saja tadi saya gak sendirian sudah saya lawan.” Ternyata orang ini buruh bangunan dan wajar saja ia merasa sangat berat dengan kehilangan uang Rp 75.000,-.

Pengalaman saya kena calo di Pulo Gadung di atas, tidaklah apa buat saya, toh hanya Rp 75.000,-. Sejak saya dari rumah memang sudah siap dengan ulah calo, asalkan saya gak diganggu dan gak ditipu, gak jadi masalah.

Namun yang membuat saya merasa gak nyaman adalah dengan ulah calo di Terminal Kampung Rambutan yang baru saja saya alami hari Rabu Kemarin. Saat itu jam setengah satu siang saya sampai di Kampung Rambutan. Seandainya saya tadi bisa lebih awal satu jam, mungkin masih bisa ikut bis shift pagi, namun karena dah jam setengah satu, saya harus bersabar sampai jam 3 untuk menunggu bis berangkat.

Baru pertama kali ini saya menginjakkan kaki di Terminal Kampung Rambutan. Jadinya saya banyak bertanya di sana. Setelah makan siang, saya bertanya pada mbak yang melayani saya, “Di mana ya Mbak saya bisa beli tiket Jurusan Semarang.” “Langsung saja masuk ke situ, Mas.” Saya melihat ke arah yang ia tunjukkan, tampak dari kejauhan beberapa orang memakai baju seragam lalu lalang menghampiri tiap orang yang mendekat pintu masuk.

Saya merasa aman setelah dihampiri orang yang berseragam, soalnya saya ingat pesan kondektur bis di Pulo Gadung dulu, kalau mau beli karcis cari orang yang pakai seragam seperti saya ini biar gak kena calo. Sambil menyusuri jalan masuk, ia bertanya soal tujuan saya. Setelah saya bilang Jepara, tampaknya ia kenal dengan daerah Jepara. Masuk lebih ke dalam, sampailah saya pada tempat penjualan tiket. Ada beberapa orang yang mengerumuni penjual tiketnya, “Mas kamu sama orang itu Mas, yang merokok itu. Ternyata ia hanya mengantarkan saya dan selanjutnya yang ngurusi saya adalah orang merokok ini. Setelah sedikit berbincang akhirnya ia minta uang 295.000,- untuk tiket ke Jepara. Kuberikan uangnya, dalam batin saya. Tidak apalah kalau ini kemahalan, asalkan saya tidak diganggu preman di sini.

Menunggu sampai jam setengah empat sore, akhirnya saya masuk ke dalam bis Teguh Jaya yang sudah saya tunggu sejak jam setengah satu. Saat itu ada 7 orang yang masuk ke bus, di dalam hanya ada beberapa orang. “Ini saya duduk di mana ini, koq gak ada tulisan nomor bangkunya di karcis saya,” seru saya. Terdengar petugas bis menyeru, “Duduk di mana saja mas.” Saya pilih duduk di bagian tegah dekat jendela. Tak lama bis berangkat dan mampir di beberapa tempat untuk menaikkan penumpang.

Mulai saat inilah saya merasa tidak nyaman, tempat duduk saya serta 6 orang lainnya yang naik dari Terminal Kampung Rambutan selalu dipindah-pindahkan tempat duduknya, dengan alasan kursinya sudah di-booking rombongan. Sampai 4 kali kami dipindahkan dan akhirnya dapat duduk di bagian paling belakang.

Keadaan tidak nyaman lagi saya alami ketika jam 9 malam, bis berhenti untuk makan. Semua penumpang dapat service makan gratis, kecuali beberapa orang yang memegang tiket khusus. Ternyata ada 3 orang termasuk saya yang gak bisa dapat service makan gratis. Saya mencoba untuk mendapat klarifikasi dari penjaga rumah makan. “Tadi naik bisa apa Mas, koq dapatnya tiket seperti ini.” Ternyata tiket saya berbeda dengan yang lain. Saat ini saya baru sadar ternyata harga tiket yang yang lebih mahal 135.000,- dari harga tiket saat saya pergi, tidak menjadikan saya mendapat pelayanan layak. Saya ternyata hanya penumpang  "nunut" (tidak resmi).

Selesai makan akhirnya kami saling ngobrol, ini mungkin nanti kita juga dapat perlakuan aneh lagi, karena kita tempat turunnya beda-beda jalur dan tak mungkin Bis ini akan menurunkan kita sesuai tempat yang dijanjikan. Betul juga, sekitar jam 4 pagi, ada panggilan, ” Yang turun Jepara siapa?” Sambil terhuyung-huyung saya maju ke depan karena mau diturunkan. Saya melihat keluar dan ternyata masih di Semarang, di mana jarak tujuan saya masih lebih dari 50 km. “Nanti saya dilangsir pakai bis mana Pak?” Sambil membisikkan ke saya, ia menyisipkan uang 20.000,- ke tangan saya sambil berpesan. “Ini buat naik angkutan ya, jangan naik taxi nanti mahal. “Oke,” Jawab saya. Saya merasa sungguh sungguh kecewa dengan perlakuan ini, namun gak mau berbicara banyak karena pasti akan sia-sia, gak perlu buat saya untuk melawannya.

Turunlah saya, ada beberapa orang yang menghampiri saya. Saya diam saja dengan pertanyaan mereka. Setelah saya duduk sebentar akhirnya saya memutuskan untuk naik taksi karena saya gak mau terlantar di jalan. Saya harus mengeluarkan lagi uang Rp 270.000,- untuk bisa sampai rumah. Seharusnya saja saya hanya perlu mengeluarkan uang Rp 160.000,- saja sudah bisa sampai rumah, namun ternyata harus membengkak Rp 575.000,- akibat ulah calo. Waktu itu masih jam 4 pagi gak mungkin saya melanjutkan perjalanan pakai angkutan, karena kalau mau naik angkutan harus menunggu sampai jam 6 pagi baru ada.

Saya memohon pada aparat yang mengurusi menertiban naik Terminal Pulo Gadung, Kampung Rambutan, atau tempat lainnya di Jakarta lainnya bertindak tegas untuk membersihkan semua calo. Saya yakin sebenarnya petugas yang bertanggung jawab tentang hal ini sudah cukup personelnya untuk membersihkan calo-calo, namun tampaknya mereka memang sengaja memeliharanya. Saya yakin tiap harinya ribuan orang mendapat perlakuan calo seperti saya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun