Mohon tunggu...
Asep Sumpena
Asep Sumpena Mohon Tunggu... Auditor - Suka mengamati

Suka hal-hal sederhana yang bermanfaat.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Budaya Nyirih-Nginang Perekat NKRI

30 November 2013   23:39 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:28 1077
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13858278641406906986

Beberapa bulan yang lalu, orang tua tetangga kami meninggal dunia. Tetangga kami itu pasangan suami-istri berasal dari Tanah Karo. Orang tuanya tinggal di Kabanjahe, Tanah Karo, Sumatera Utara. Beliau di usianya yang lebih dari 90 tahun namun masih sehat, melakukan kunjungan dan berkeliling mengunjungi anak-anaknya di berbagai daerah, di berbagai kota dan pulau di Indonesia. Ketika sampai di Jakarta, setelah menyelesaikan kunjungan keliling ke seluruh anak-anaknya, kondisi kesehatan beliau turun dan kemudian dilarikan ke rumah sakit sampai akhirnya menghembuskan nafas yang terakhir dengan lega, karena semua anak-anaknya sudah hidup mapan dan mandiri. Jenazahnya diberangkatkan dari Jakarta ke Medan dan pasangan suami-istri tetangga kami itu menyusul dari Batam langsung ke Medan dan bertemu di sana, untuk kemudian bersama-sama pergi ke Kabanjahe. Sebagai tetangga yang baik, kami berkunjung ke rumahnya untuk melayat. Ketika memasuki rumahnya, di dalam sudah ramai berkumpul para pelayat. Setelah kami duduk, baru disadari bahwa para pelayat seluruhnya dari Suku Karo (Batak Karo). Para bapak berkumpul di sebelah kiri seluruhnya sedang merokok dan sebelah kanan para ibu dimana sebagian besar sedang nyirih atau nginang. Mereka semua berbicara bahasa Karo. Kami duduk bergabung dengan mereka dan duduk di antaranya. Sejenak kami mati gaya dan hanya bisa bengong memperhatikan mereka sedang berbicara menggunakan bahasa yang kami tidak mengerti. Namun, kemudian ada ide, untuk memecah kebekuan dan memasuki perbincangan mereka, kami atau lebih tepatnya saya harus mengikuti aktivitas mereka, yakni merokok atau nyirih. Setelah berpikir singkat, saya memutuskan untuk ikut nyirih bersama para inang (ibu), karena nyirih lebih sehat dan ingin merasakan sensasi dan resep atau ramuan nyirih ala Tanah Karo. Tentu saja saya tidak akan memilih untuk merokok, karena selain tidak sehat, saya juga bukan perokok dan akan selalu menghindar untuk merokok. Ketika saya meminta sirih dari seorang ibu, saya cukup surprise ternyata bahan-bahan untuk nyirih dari Tanah Karo sama persis dengan apa yang pernah saya lihat dan rasakan dari Tanah Pasundan. Waktu itu saya diberi ramuan standar nyirih, yaitu daun sirih, gambir, kapur dan buah pinang. [caption id="attachment_295558" align="aligncenter" width="450" caption="Bahan-bahan Nyirih / ramuannusantara.com"][/caption] Sambil nyirih saya juga menyampaikan keheranan saya kepada mereka mengenai persamaan ramuan atau bahan-bahan untuk nyirih antara budaya Tanah Karo dan Sunda. Akhirnya kebekuan pun cair dan kami akhirnya berbincang dengan menggunakan bahasa persatuan, Bahasa Indonesia termasuk dengan bapak-bapaknya juga. Tiga keberhasilan telah kami raih, yaitu mencairkan kebekuan, mengarahkan pembicaraan antar suku dengan menggunakan bahasa Indonesia dan tidak merokok walaupun hanya untuk pergaulan semata. Setelah pulang melayat, kami minta satu resep bahan-bahan nyirih untuk saya tunjukkan kepada anak-anak. Supaya mereka tahu salah satu warisan budaya Nusantara ini. Namun saya juga mencari informasi mengenai budaya nyirih atau nginang ini. Yang membuat saya penasaran adalah tidak ada variasi atau deviasi dari ramuan untuk nyirih dari berbagai budaya yang terpisah ribuan kilometer jauhnya. Setelah saya telusuri baik dari media maupun dari mulut ke mulut ramuan untuk nyirih dari Aceh sampai Nusa Tenggara adalah sama, bahkan sampai di Papua pun budaya nyirih atau nginang ini ada dan ramuannya identik. Ada sedikit variasi nginang di Papua, mereka tidak menggunkan daun sirih namun menggunakan bagian bunga tanaman sirih yang berbentuk batang. Sebab makanan soto saja, hampir ada di berbagai daerah di Indonesai, namun mengalami berbagai variasi. Makanya akan berbeda antara soto Medan, soto Bandung dan soto Madura. Namun, budaya dan ramuan nyirih adalah sama atau identik. Budaya nyirih ini tersebar tidak hanya di Indonesia namun juga di wilayah Asia Tenggara dan China Selatan. Konon budaya nyirih berasal dari China. Walahualam. Alangkah baiknya kalau budaya ini dipertahankan dan dikembangkan serta dijadikan suatu seni budaya yang khas Indonesia serta dipadukan dengan unsr seni yang menrik. Lalu dipagelarkan pada acara-acara tertentu. Seperti seni Tarian Persembahan dari Kepulauan Riau yang selalu dipagelarkan untuk membuka suatu acara dengan memberikan daun sirih pada tamu kehormatan. Saya berharap budaya nyirih atau nginang ini tidak hilang dan malah dikembangkan sebagai ciri budaya Nusatara untuk menjadi perekat Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terbentang dari Sabang sampai Merauke ini, semoga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun