Mohon tunggu...
Asep Sumpena
Asep Sumpena Mohon Tunggu... Auditor - Suka mengamati

Suka hal-hal sederhana yang bermanfaat.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Preman di Sekolah

6 Agustus 2012   03:05 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:12 720
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_198425" align="aligncenter" width="600" caption="Ilustrasi Sekolah"][/caption]

Hari Senin, tanggal 9 Juli 2012 yang lalu cuaca cukup cerah di kotaku. Angin semilir yang membawa uap air hasil pemanasan matahari terhadap laut perbatasan tiga negara berhembus menerpa daun-daun belimbing wuluh di depan rumahku. Pepohonan menari bersukacita, seperti umumnya warga sebangsa yang cukup bersyukur walau perekonomian negara kita masih kurang baik dibanding dua negara tetangga dalam kawasan laut yang sama.

Aku bersiap untuk mengantar anak sulungku pergi ke sekolah barunya setelah lulus ujian akhir dari sekolah dasar yang sudah diikutinya. Kami berniat mau mangambil seragam dan buku pelajaran yang akan dibagikan pada hari itu di sekolah sesuai dengan jadwal pembagian yang sudah ditetapkan untuk mengatur supaya pembagiannya tertib.

Kami tiba di sekolah lima belas menit sebelum jam yang tertulis di undangan. Aku memasuki suatu sekolah yang seperti sekolah yang ada dalam bayangan diriku, bangunan-bangunan berdiri kokoh berjejer dengan lorong-lorong yang dipenuhi gerombolan murid-murid sekolah, taman dan pepohonan yang tidak terlalu terawat, lapangan olah raga, guru-guru berjalan…

Pada saat memasuki sekolah, pikiran dan perasaanku seperti kembali ke masa puluhan tahun yang lalu saat aku memasuki sekolah menengah pertamaku di suatu kota kecamatan di kaki gunung Guntur yang sejuk. Jarak dari rumahku sekitar 5 kilometer yang biasa ditempuh dengan angkutan pedesaan, delman bahkan jalan kaki.

Saat itu ada aku merasakan rasa keterasingan ketika memasuki suatu lingkungan sekolah yang baru setelah selama enam tahun bersama-sama satu sekolah di kampung dengan teman-teman sekampung pula. Saya memasuki suatu lingkungan yang baru di sekolah di kota (kecamatan) dan bergabung dengan lulusan-lulusan SD top di kecamatan tersebut, karena SMP ini adalah SMP favorit di kecamatanku, ya karena satu-satunya yang negeri dengan guru-guru yang berpengalaman dan SPP termurah sedunia, kata kepala sekolahnya suatu waktu.

Parahnya, saat itu saya ditempatkan sendirian di kelas 1G, sementara beberapa teman sekampung yang berhasil lulus ke SMP ini semuanya bergabung di kelas 1D. Bergabung dengan beberapa juara di SD-nya masing-masing membuat saya yang berasal dari SD kampung yang tidak ada dalam peta (saat itu), membuat saya minder juga. Selama beberapa hari saya merasa tidak betah, maunya cepat pulang ke rumah dan ingin pergi ke sawah, membakar jerami sisa panen, menengok petani yang menyemai benih, bermain layang-layang, mencari belalang…

Awal yang mengkhawatirkan untuk berhasil belajar di SMP tersebut sepertinya, tapi atas karunia Allah saya berhasil lulus dengan NEM tertinggi se-kecamatan tersebut.

Lamunan saya berakhir, saya masih berada di SMP di sebuah kota ribuan kilometer dari SMP saya dulu serta terhalang beberapa selat dan laut. Sekolah ini adalah sebuah komplek sekolah swasta yang terdiri dari TK, SD, SMP, SMA dan Perguruan Tinggi dalam satu area. Kami memasuki area SMP dan menuju ruangan pembagian seragam dan buku pelajaran. Beberapa orang tua murid sudah berkumpul di sana menemani anaknya masing-masing.

Saya melihat mereka memegang kartu antri, lalu saya mencari-cari loket, meja atau petugas yang membagikan kartu antri tersebut. Saya melihat satu meja yang diduduki seorang anak perempuan kecil usia SD, ketika saya mendekatinya akhirnya saya sadar bahwa dia adalah ‘petugas’ yang membagikan kartu antri tersebut. Rupanya dia dikaryakan untuk membantu ibunya yang adalah petugas pembagian seragam dan buku. Saya berpikir apakah ini tidak melanggar aturan. Tapi pikiran itu saya buang jauh-jauh, karena saya melihat anak itu bekerja dengan senang dan ramah. Pekerjaannya juga sangat mudah dan menyenangkan.

Tepat jam delapan, pembagian seragam dan buku dimulai, dimulai dari nomor antrian satu tentu saja, nomor antri saya 14. Dengan lancar dan ramah petugas melayani pasangan orang tua dan murid, dua pasang sekali pemanggilan, kembali anak kecil tadi bertugas memanggil nomor antrian dengan lantangnya. Pada saat itu ada seorang ibu dengan anaknya memasuki area ruang tunggu dan mengambil nomor antri yang ditaksir nomor antriannya di atas nomor 30-an yang menarik ibu tersebut diantar oleh seoarang pria tinggi tegap dan diperkirakan bukan suami atau saudaranya. Tampangnya mirip preman di sinetron-sinetron.

Saat antrian memasuki nomor 10, tiba-tiba pria tinggi tegap tadi memasuki jalur antrian dan memanggil si ibu dan anak yang diantarnya tadi untuk memasuki jalur antrian dan menyalip nomor antrian lain dan memaksa untuk dilayani lebih dulu dengan melanggar aturan antri. Beberapa orang tua bereaksi dan mau protes, tapi ditenangkan oleh yang lainnya sehingga tidak jadi. Saya berjalan ke depan mau memberi tahu petugas bahwa ada yang mengantri tidak sesuai nomor, tapi berhubung mereka yang menyerobot sudah masuk ke dalam saya menghentikan langkah dan tertarik kepada anak kecil tadi yang tidak berdaya dan tampak sedih ketika ada yang melanggar aturan tadi.

Antrian kemudian berjalan tertib kembali dan pelayanan yang diberikan pihak sekolah cukup baik, jelas dan ramah. Ada beberapa kejadian yang patut dijadikan contoh selama proses mengantri, yakni ada beberap orang tua yang dengan melihat seragam dan atribut yang dipakainya adalah aparat pemerintah dan bahkan guru sekolah yang bersangkutan dan mereka mengantri sesuai dengan nomor urut dan tidak merasa istimewa untuk minta didahulukan.

Sungguh disayangkan ketika pihak sekolah berusaha membuat aturan yang baik dari mulai pembagian hari kedatangan, pembuatan nomor antrian dan proses pembagian buku dan seragam yang teratur, tapi masih dikotori oleh tindakan tidak terpuji dari sebagain warga masyarakat kita yang belum beradab dan mengabaikan kepentingan orang lain. Semoga segala daya upaya kita untuk membuat masyarakat Indonesia yang tertib dan disiplin tidak akan berhenti sampai di sini walau masih banyak tantangan yang harus kita hadapi.

Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun