[caption id="attachment_187219" align="aligncenter" width="450" caption="Ilustrasi / Shutterstock.com"][/caption]
Akhir musim semi tahun 1999, kami berada di pusaran manusia dari berbagai bangsa di Fukuoka Airport, Jepang. Kami tiga orang kenshusei AOTS dari Indonesia yang baru saja tiba dari tanah air, lewat Changi Airport, Singapura. Setelah terpana dengan royal-nya ucapan terima kasih yang disampaikan oleh petugas bandara kepada seluruh penumpang maka akhirnya kami melangkah ke imigrasi.
Kami didatangi oleh salah satu petugas yang kurang lebih bertanya dalam bahasa jepang apakah anda datang berombongan dan berapa orang jumlah rombongannya, maka dengan 'kotoba' (kosa kata) yang terbatas saya jawab: “Hai, three-nin”. Maksudnya sih mau mengatakan “Ya, tiga orang” dalam bahasa jepang (“Hai, san-nin”) tapi jadi bercampur dengan bahasa inggris, karena tiba-tiba saya lupa bahasa jepang-nya angka tiga ('san'). Untung dengan reflek saya berujar sambil mengacungkan tiga jari, akhirnya petugas imigrasi mengerti dan mengantar ke konter imigrasi.
Ternyata di imigrasi kami dipermasalahkan karena tidak membawa surat dari AOTS padahal kami sudah jelas-jelas mendapat visa jepang karena jaminan dan rekomendasi dari AOTS. Akhirnya dengan terbata-bata saya jelaskan bahwa ada yang menjemput kami staf dari head office, lalu mereka menghubunginya setelah diberitahu namanya oleh kami.
Dengan sopan kami diminta untuk masuk ke sebuah ruangan dan dipersilakan duduk, ruangan masih kosong saat itu. Oh alangkah malangnya nasib 'Indoneshia no kenshusei' ini, baru masuk ke negeri asing sudah mendapat masalah. Kemudian ada serombongan laki-laki dan perempuan memasuki ruangan dan duduk di sekitar kami. Kami berinisiatif bertanya kepada mereka apa masalah mereka, ternyata mereka adalah rombongan dari Thailand dan bermaksud mencari kerja di Jepang tapi visa-nya mungkin bermasalah. Rupanya ruangan ini adalah tempat karantina orang-orang bermasalah. Sambil tersenyum kecut kami duduk di sana sambil ‘menikmati’ rasanya menjadi ‘pendatang haram’ di negeri orang untuk beberapa puluh menit ke muka.
Entah apa yang terjadi antara petugas imigrasi dengan penjemput kami dari head office tadi. Akhirnya kami dipanggil petugas dan paspor kami distempel imigrasi. Kami melangkah ke luar dan menemui penjemput kami yang sudah tidak sabar mendekati kami dengan melangkah dengan langkah-langkah seorang atlet jalan cepat. Seorang wanita jepang berumur sekitar pertengahan tiga puluhan, berambut pendek dan berbadan tegap tipe pekerja keras. Tanpa dikomando kami mengucapkan salam ala jepang dengan menganggukan kepala dan bahu sambil berujar “Ohayou gozaimasu”.
Setelah menjawab salam kami, dia langsung ‘nyerocos’ menggunakan bahasa jepang dicampur dengan sedikit bahasa inggris, yang dijawab oleh kami dengan menggunakan bahasa inggris dicampur dengan sangat sedikit bahasa jepang. Ajaibnya komunikasi berjalan cukup baik, karena kami saling mengerti. Sambil memegang selembar kertas yang ‘kliwir-kliwir’ di tangannya, dia menyerahkannya kepada kami. Kertas itu adalah sebuah salinan dari denah dimana lokasi tempat pelatihan kami nanti terletak. Sambil menyerahkan kembali kertas tadi, saya dapat menyimpulkan apa telah terjadi tadi.
Rupanya selama kami ‘leyeh-leyeh’ di ruang karantina tadi, beliau ini adu argumen dengan petugas imigrasi bahwa tidak ada alasan bagi kami untuk di-karantina, karena surat dari AOTS itu tidak diperlukan lagi sebab kami sudah mendapat visa lewat jaminan dan rekomendasi dari AOTS juga. Dengan gagahnya beliau mempertahankan logikanya bahwa kami sudah dapat jaminan dari AOTS dan beliau juga sudah jelas mau mengantar ke AOTS dengan bukti selembar kertas berisi denah lokasi tempat pelatihan AOTS di Yokohama. Dengan logika dan bukti yang kurang kuat tersebut, mengherankan petugas imigrasi tidak berkutik juga dan akhirnya kami diperbolehkan memasuki negeri sakura.
Karena sudah banyak waktu terbuang, kami bergegas untuk melanjutkan penerbangan selanjutnya menuju Tokyo. Setengah berlari kami menuju ke tempat boarding, sepanjang perjalanan menuju tempat boarding kami dibuat takjub dengan beraneka warnya jenis-jenis packaging makanan, minuman dan barang-barang yang dijual. Rasanya ingin berlama-lama melihat segala macam yang menarik tadi, tapi berhubung waktu terbatas kami hanya melintasinya dengan kecepatan tinggi. Kami berangkat menuju Haneda Airport, Tokyo dengan menggunkan pesawat JAS (Japan Air System).
Tiba di Haneda, dari sana langsung naik Airport Limousine menuju ke Yokohama City Air Terminal (YCAT). Kemudian dari stasiun bus di YCAT berjalan kaki ke Stasiun JR Yokohama. Lalu naik kereta JR Negishi Line di Yokohama Station dan menuju ke Shin-Sugita Station. Di sana transfer ke kereta Kanazawa Seaside Line dan menuju ke Sangyo-Shinko-Center Station. Lalu nantinya turun dari stasiun kereta dan berjalan kaki ke Yokohama Kenshu Centre (YKC). Selama perjalanan di atas rasanya terbang ke sana-sini dan pada saat itu tidak terlalu ingat ada apa disekitar kami, karena dijalankan dengan tempo cepat.
[caption id="attachment_187234" align="aligncenter" width="400" caption="Sea Side Line Train / mic-ro.com"]
Dengan berpakaian jas lengkap yang sudah dipakai sejak kemarin sore, berjalan cepat-cepat seperti orang dikejar penagih utang dan sambil membawa tas serta koper, sungguh pemandangan yang menggelikan. Saya sendiri membawa satu travel bag dan satu buah koper besar, teman saya membawa dua buah koper berukuran sedang dan teman yang satunya lagi membawa dua travel bag dan satu buah koper yang lebih besar dari pada yang saya bawa. Walaupun di sekitar kami saat itu, baik di bandara, stasiun maupun selama di dalam kendaraan untuk urusan pakaian tidak terlalu mencolok, karena banyak warga jepang saat itu berpakain mirip apa yang kami pakai. Tapi kalau dilihat lebih teliti penampilan dan bawaan kami, yaitu bawaan khas ala orang indonesia kalau bepergian, kami tidak seperti pekerja atau businessman jepang, malah lebih mirip orang yang mencari suaka ke negeri jepang dari suatu negeri antah berantah yang sedang dilanda kemelut politik. Haha.
“Sangyo-Shinko-Center, Sangyo-Shinko-Center de gozaimasu…”, suara rekaman wanita dari pengeras suara dengan sopan mengingatkan kita bahwa stasiun tujuan sudah dekat dan sekaligus membuyarkan lamunan saya, kami bertiga melirik ke pengantar dan beliau mengangguk dan menunjukkan bangunan di sebelah kiri bawah kami, “Yokohama Kenshu Centre desu!”. Sebuah bangunan cukup megah dengan dua bidang bangunan memanjang ke depan, dimana bagian belakangnya ada suatu bangunan yang menghubungkan ke dua bidang tadi. Dengan segala keunikan arsitekturnya si YKC ini seolah menyapa kami, “YKC de Irasshai Indoneshia no kenshusei”.
[caption id="attachment_187221" align="aligncenter" width="200" caption="Yokohama Kenshu Centre / aots.or.jp"]
Sebagai orang indonesia yang lama tinggal dan hidup dengan tradisi negeri sendiri, maka ketika bertemu dengan budaya lain, ada sedikit mengalami gegar budaya. Tapi saya merasakannya bukan sebagai sebuah batu sandungan tapi malah menjadi sebuah harmoni budaya, yakni tanpa menanggalkan identitas budaya sendiri, kita bergaul sebagai warga internasional.
Salam.
Silakan baca kisah sebelumnya di sini
Silakan baca kelanjutan kisah ini di sini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H