Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP) telah disahkan dan menjadi UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) pada Sidang Paripurna hari Kamis (7/10/2021). Komisi XI yang membidangi Keuangan dan Perbankan telah memasukkan RUU Harmonisasi Peraturan Perpajakan dalam agenda Sidang Paripurna tahun 2021 setelah melewati pembahasan yang panjang pada Sidang Komisi.
Menjadi penting dan utama UU HPP disahkan dalam Sidang Paripurna bagi para pemangku kepentingan agar terdapat kepastian perpajakan setelah menghadapi pandemi yang berlangsung kurang lebih dalam dua tahun ini. Efek berkelanjutan akan terasa setelah pemerintah dalam tahun fiskal 2020 mengalami defisit APBN sebesar 6,14% atau sebesar Rp. 947,6 Triliun dan merupakan tingkat defisit yang terbesar sejak 20 tahun terakhir akibat pandemi.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memberikan keterangan bahwa. “RUU tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) merupakan bagian dari reformasi struktural di bidang perpajakan dan ini bertujuan untuk mendukung cita-cita Indonesia maju,” ujar Sri Mulyani dalam Rapat Kerja Komisi XI DPR RI dan pemerintah, Rabu (29/9).
Diharapan dengan UU HPP akan ada redistribusi ekonomi efektif dari kelas atas ke kelas ekonomi menengah kebawah. Tuntutan keberpihakan dalam UU HPP ini kemasyarakat ekonomi bawah menjadi isu penting bagi pemerintah agar tercapai kestabilitasan fiskal dan ekonomi secara makro. Pemerintah meyakinkan bahwa UU HPP diciptakan guna adanya keharmonisan dan kepastian hukum dalam bidang fiskal.
Secara garis besar UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) ini berisi tentang pengaturan kembali Pajak Pertambahan Nilai (PPN), kebijakan aturan tarif Pajak Penghasilan (PPh), penerapan implementasi pajak karbon, aturan mekanisme penambahan atau pengurangan jenis barang kena cukai (BKC), tentang aturan program pengungkapan sukarela wajib pajak (tax amnesty), dan ketentuan penghapusan terkait sanksi pidana perpajakan, integrasi Nomor Induk Kependudukan (NIK) sekaligus Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) untuk wajib pajak orang pribadi .
Dalam UU HPP yang penulis garis bawahi terkait perubahan-perubahan tersebut seharusnya sejalan juga dengan prinsip keadilan dalam pengawasan publik atas pemungutan pajak dan penggunaan pajak sehingga dalam keterpaksaan masyarakat pembayar pajak akan menerima kepuasaan atas apa yang sudah disetorkan ke kas negara dalam bentuk pajak.
Dalam hal ini pemanfaatan teknologi digital sangat diperlukan untuk kepentingan pengawasan penggunaan pajak seperti pemerintah dalam setiap kegiatan belanja negara membuat satu akses digital dalam penggunaan dana belanja negara tesebut, survei kepuasan masyarakat dalam infrastruktur, dunia kesehatan atau kegiatan pendidikan, saran kritik dari para pembayar pajak juga perlu dipertimbangkan karena agar ada rasa kepuasan para pembayar pajak.
Adapun jenis teknologi digital saat ini berkembang sangat cepat dan bisa dijadikan aspek survei perkembangan teknologi inovatif dalam penerapan administrasi pajak secara digital.
Pertama blockchain, adalah satu sistem penyimpanan data digital yang diperuntukkan catatan transaksi atau data yang tersebar dijaringan internet dengan menggunakan banyak server (multi). Kedua, Robotic Process Automation (RPA), teknologi ini dalam pengumpulan analisis data, pengelolaan resiko dan dapat meningkatkan efisiensi kerja.
Ketiga. Kecerdasan Buatan (Artificial Intelligence), penerapan teknologi kecerdasan buatan dapat memeriksa data dalam jumlah besar atau big data, dalam menciptakan basis data yang memungkinkan regulator melakukan pengawasan dalam mengindentifikasikan transaksi yang mencurigakan dengan lebih praktis dan cepat.
Semangat pemerintah dalam pelaksanaan UU HPP kita patut apresiasi tetapi sejalan itu diharapkan juga semangatnya untuk azas keadilan dan tranparasi dalam pemungutan dan pengelolaan dana pajak berjalan bersama.