Akhirnya dua jago pedang itu berpapasan di tepi hutan.
“Tuan yang berjuluk Pedang Kilat?”
“Kau si Pedang Menari?”
Keduanya berdiri tegak, berhadapan dalam jarak tiga tombak.
“Silakan.”
“Silakan.”
Tapi keduanya tak membuka satu gerakan pun. Tidak juga sekadar mengayunkan tangan untuk meraih gagang pedang yang tergantung di pinggang.
“Saya dengar anda tidak pernah memulai serangan,” ucap Pedang Menari.
“Kudengar kau juga demikian,” sahut Pedang Kilat.
“Tapi untuk pendekar sehebat Tuan, saya tidak keberatan memulai duluan.”
“Bagus. Aku tak suka buang-buang waktu.”
“Tapi masalahnya, kalau saya mendahului menyerang Tuan, tentu pedang Tuan akan menyabet leher saya dengan sekali tebas. Begitulah yang saya dengar terjadi pada orang-orang.”
“Lalu?”
“Saya tidak mau itu terjadi pada saya.”
“Omong kosong!” Pedang Kilat mendengus. “Aku tahu kau sedang memancingku untuk menyerang duluan.”
“Hehehe, bukankah Tuan tidak suka buang-buang waktu?”
“Hmmh, mungkin kali ini aku harus membuat kekecualian.”
“Jadi anda akan menyerang lebih dulu?”
“Sedang kupertimbangkan. Tapi jika itu kulakukan, kau akan mempelajari jurusku, mempermainkanku, lalu membunuhku perlahan-lahan, sebagaimana biasa terjadi pada orang-orang.”
Pedang Menari tersenyum. “Tapi tentu Tuan tidak sama dengan orang-orang itu.”
“Ya, aku memang tidak ingin sejenis dengan mereka.”
Keduanya tertawa.
Kedua pedang masih tersoren di pinggang. Kedua tangan masing-masing menggantung dengan santai di engselnya. Kedua kaki pun tak bergerak sama sekali, lurus menyangga tubuh, sama sekali tidak mirip kuda-kuda dari jurus apa pun. Atau barangkali begitulah sikap siaga seorang pendekar level tinggi.
Satu jam berlalu. Posisi kedua jago pedang masih tetap seperti itu.
“Rupanya benar kabar yang saya dengar, anda tidak pernah membuka gerakan,” ucap Pedang Menari.
“Baru satu jam,” sahut Pedang Kilat.
“Ya, ya, bahkan lima hari lima malam pun anda sanggup menunggu. Dan salah satu dari kita pasti akan kehilangan kesabaran.”
“Untuk orang sepertimu, lebih lama lagi pun tak masalah.”
Pedang Menari terkekeh. “Ternyata Tuan pandai pula menyanjung.”
Pedang Kilat tidak menanggapi. Dan kembali keduanya diam. Menunggu.
Waktu terus bergulir. Belum ada tanda-tanda salah satu dari dua jago pedang itu akan memulai pertarungan. Posisi berdiri mereka masih terlihat santai seperti sebelumnya.
“Ngomong-ngomong,” kata Pedang Menari, “kalau kita seperti ini terus, apa mungkin kita bertarung?”
“Hmmm…, apa kau mulai tak sabar?”
“Tapi tak terelakkan lagi, kita memang harus bertarung. Tuan dianggap sebagai pendekar pedang terbaik di wilayah barat, sedangkan saya di wilayah timur. Dunia persilatan mengharapkan kita berdua bertemu, lalu bertarung untuk menentukan siapa yang terbaik di seantero kawasan.”
“Jadi kau bertarung untuk memenuhi harapan orang-orang?”
“Ah, Tuan benar. Seharusnya memang tidak seperti itu. Kita toh bukan boneka yang mesti patuh pada kehendak sesuatu di luar kita. Tapi sejak tadi saya bertanya-tanya, jika dua pendekar berjumpa, mestikah keduanya saling mengadu jiwa?”
“Hmmm….”
“Tampaknya orang seperti kita tidak punya pilihan. Walau kita menolak menjadi wayang di tangan dalang, jalan pedang yang kita tempuh telah membawa kita pada titik di mana kita tak bisa berbelok lagi. Apalagi jika mengingat tujuan kita mempelajari ilmu pedang.”
“Memang apa tujuanmu belajar pedang?”
“Haha…, mungkin Tuan berbeda. Tapi saya ingin menjadi yang terbaik, jika mungkin sampai tak seorang pun yang melebihi pencapaian saya.”
“Dan sekarang, apakah kau sudah mencapai tingkatan itu?”
“Sayangnya, di depan saya masih ada si Pedang Kilat.”
“Kalau begitu lekas singkirkan aku.”
“Saya tahu Tuan pun punya keinginan yang sama. Itulah sebabnya, meski sejak tadi kita diam saja, kita pun tak rela beranjak dari sini.”
“Hahaha…, benar kata orang, kau ternyata sangat gemar bicara.”
“Ah, jadi malu saya. Padahal apa yang saya katakan itu sebetulnya telah sama-sama kita paham.”
“Untung ucapanmu ada bobotnya. Memang harus diakui, di hati kecil kita, pasti kita pun ingin tahu siapakah di antara kita yang lebih unggul.”
“Hehehe, masalahnya, kita sama-sama tak pernah mau menyerang lebih dulu.”
Hari mulai beranjak senja. Langit pun meredup. Sekeliling sunyi. Terlalu sunyi malah, sehingga Pedang Menari tak bisa menahan diri untuk berkomentar.
“Posisi kita di sini semestinya tak mengganggu burung-burung untuk berkicau dan serangga-serangga hutan untuk bercerocet. Apalagi menjelang malam begini, biasanya mereka jadi lebih cerewet. Aneh. Kita yang hendak bertarung, kok malah mereka yang tegang.”
“Hmm, memang aneh,” Pedang Kilat menyahut pendek.
“Tentu orang-orang itu telah menguntit Tuan sejak dari barat. Yah, maklumlah, hidup orang seperti Tuan ini memang sudah mirip selebritas. Apa pun yang dilakukan pasti jadi sorotan. Apalagi ketika mereka melihat Tuan pergi ke arah timur, tentulah itu satu berita besar.”
“Kau bicara tentang dirimu juga.”
Keduanya tertawa.
“Menyenangkan rasanya bisa berbincang dengan orang dari level setara,” kata Pedang Menari.
Rupanya tempat itu tidak sesunyi kelihatannya. Puluhan orang, atau mungkin ratusan, bersembunyi di berbagai sudut gelap, ingin menyaksikan duel paling ditunggu sedunia. Telah berjam-jam mereka berdiam, menahan hembusan nafas, mata nyaris tak pernah berkedip, khawatir kehilangan momen yang pasti sulit diulang.
“Aku punya ide,” kata Pedang Kilat. “Bagaimana kalau kita berlomba-lomba membunuh orang-orang itu. Siapa yang korbannya lebih banyak, dialah yang menang.”
“Wah, itu terlalu kejam, Tuan.”
“Kejam? Orang sepertimu masih kenal kata kejam?”
“Hehehe, alasan saya terdengar moralis ya? Mungkin lebih tepatnya, saya tidak biasa membunuh orang cepat-cepat.”
“Hmmh, kalau begitu apa kau punya ide lain untuk pertarungan kita?”
Pedang Menari memasang wajah berkerut. “Ide Tuan tadi itu bagus. Tinggal dilaksanakan saja.”
“Lalu idemu sendiri apa?”
“Nanti akan diketahui setelah Tuan melaksanakan ide tersebut.”
Pedang Kilat berpikir sejenak. “Baik,” ucapnya. Berbareng dengan itu, tiba-tiba tubuhnya melenting ke sebuah pohon agak jauh di sebelah kanan. Dedaunan pohon luruh dari rantingnya ketika Pedang Kilat mencabut pedangnya di udara. Terdengar jerit panik dari seseorang yang bersembunyi di dahan pohon. Ingin ia melompat, namun geraknya telah terkunci dari jauh oleh pedang si Pedang Kilat yang mengincar lehernya.
Pada waktu yang hampir bersamaan, Pedang Menari pun telah melejit ke arah yang sama. Dalam hatinya, Pedang Kilat bertanya-tanya ide apa yang akan dilakukan Pedang Menari. Ia sudah bersiap-siap jika diserang dari belakang. Malah itulah yang dikehendakinya, sebab dengan itu berarti pertarungan dimulai.
Namun apa yang dilakukan Pedang Menari ternyata lebih mengejutkan. Beberapa jengkal lagi pedang si Pedang Kilat hampir menusuk leher orang malang di pohon itu, mendadak pedang si Pedang Menari memukul pedangnya dari samping dengan kekuatan yang seimbang.
Kejut di wajah Pedang Kilat bukan alang kepalang. Namun perubahan itu hanya sekejap, sebab begitu kakinya menjejak tanah, kembali ia melesat dengan pedang menyabet ke balik semak-semak tak jauh dari situ. Orang yang bersembunyi di balik semak hanya sempat berdiri, namun tubuhnya mendadak kaku saat hendak melompat. Itulah keistimewaan jurus si Pedang Kilat. Angin serangannya saja cukup membuat musuh lumpuh tak bisa bergerak.
Serangan kedua ini membuyarkan keheningan yang sebelumnya masih coba dipertahankan para penonton di kawasan tepi hutan itu. Mereka paham apa yang dikehendaki Pedang Kilat, dan segeralah mereka berhamburan menjauh, takut kalau-kalau Pedang Kilat menyasar ke arah mereka.
Kembali Pedang Kilat mesti menahan kejutnya, sebab Pedang Menari tahu-tahu telah tiba di hadapannya dan menahan pedang yang sedianya akan memotong tubuh orang di balik semak.
Pedang Kilat mendengus. Ekor matanya menangkap sebuah bayangan melayang turun dari pohon di samping kirinya. Secepat kilat ia meluncurkan pedangnya ke sana. Namun sekali lagi pedang si Pedang Menari berhasil memapak serangannya.
Pedang Kilat terjajar ke belakang. “Idemu sungguh bagus sekali!”
Pedang Menari tersenyum. “Pedang Tuan sangat cepat.”
“Tapi pedangmu jauh lebih cepat dan kuat.”
Pedang Menari masih tersenyum. Pandangan matanya seakan bertanya, apa lagi selanjutnya.
Pedang Kilat paham. Lalu katanya, “Kau tentu tahu, cara termudah untuk menyelamatkan orang-orang itu adalah dengan menyerangku dari belakang. Dengan begitu tak mungkin aku meneruskan seranganku pada mereka atau tubuhku akan jadi daging cincang. Tapi kau tak memilih cara itu. Kau malah mendahului gerakanku dan menangkis pedangku. Baru kali ini aku merasa gentar. Aku benar-benar tak menyangka ada orang yang bisa melakukan ini terhadapku.”
Pedang Menari terdiam.
“Oleh karena itu aku mengaku kalah,” ucap Pedang Kilat lalu ‘pletak’, pedangnya ia patahkan dengan dua jari.
Pedang Menari tersentak. Bukan karena begitu mudahnya jari-jari Pedang Kilat mematahkan pedang, tapi karena Pedang Kilat mematahkan pedangnya sendiri.
“Selama ini aku tak pernah kenal apa itu kekalahan,” kata Pedang Kilat lagi. “Mulanya kusangka rasanya pasti sangat menyakitkan. Tapi setelah bertanding denganmu, ternyata rasanya cukup melegakan.”
“Tuan…?”
“Hahaha… Mulai saat ini, kaulah Dewa Pedang yang sesungguhnya.”
“Mengapa Tuan melakukan ini?”
“Sudah kubilang, aku tak mau sejenis dengan orang-orang yang pernah bertarung denganmu. Mereka mati secara perlahan-lahan dalam kehinaan sebab sampai detik terakhir tak juga menyadari ketololannya. Biarlah aku mati dengan caraku sendiri.”
Pedang Kilat duduk bersila lalu memejamkan kedua matanya. Pedang Menari memperhatikan dengan tertegun. Kewaspadaan yang telah tertanam dalam darahnya membuat dia tak begitu saja beranjak mendekati lawan. Terlalu banyak intrik dan taktik licik di dunia persilatan. Tingkah Pedang Kilat mungkin salah satunya.
Pedang Menari menyarungkan pedangnya. Tapi ia masih menunggu. Ia tetap berdiri di situ hingga malam turun. Ketika bulan sabit muncul di langit barat, barulah ia bergerak. Dengan hati-hati disentuhnya tubuh si Pedang Kilat. Tubuh itu terguling ke belakang dengan pose masih duduk bersila.
Pedang Menari menghela nafas panjang. “Aku keliru mengenalnya.”
Setelah menguburkan mayat bekas musuhnya sebagai penghormatan terakhir, Pedang Menari berlalu dari situ dengan membawa sebuntal rasa galau yang tak pernah ia kenal. []
Ciater, 2011
Catatan: Pernah dimuat di Jurnas, 5 Juni 2011. Baca juga cerpen-cerpen lainnya dari penulis ini di http://bermenschool.wordpress.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H