Mohon tunggu...
Asep Saifuddin
Asep Saifuddin Mohon Tunggu... -

Lahir di Samarinda pada 3 Juli 1989. Mengenyam pendidikan SD di SDN Kedung Doro 3/308 Surabaya lulus 2002,SMP di SMPN 2 Pandaan lulus 2005 dan SMAN 1 Pandaan Kab. Pasuruan lulus 2008. Melanjutkan studi Sarjana Pendidikan di Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Semarang (Unnes) lulus 2012. Pernah bekerja di perusahaan toko buku on-line, sebagai asisten laboratorium Ekonomi Pembangunan di Unnes,sebagai asisten penelitian dosen, dan mulai Juli 2013 sebagai staf pengajar di Akademi Siswa Bangsa Internasional di Bogor sampai saat ini.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pematangan Karakter Guru dalam Mendidik

16 Mei 2014   16:09 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:28 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Tumbuh kembang peserta didik tidak lepas dari peran lingkungan keluarga, masyarakat, juga sekolah. Dalam lingkungan keluarga, orang tua adalah sumber belajar dan sekaligus sebagai panutan bagi anak, masyarakat lingkungan sekitar merupakan guru bagi mereka untuk berperilaku dalam lingkungan sosial, juga sekolah tempat bagi anak untuk belajar dan mengetahui tentang apapun yang tidak dia ketahui dan dapatkan di lingkungan keluarga maupun masyarakat sosial. Sehingga dengan kata lain tiga lingkungan yang terdiri dari keluarga, masyarakat, juga sekolah seperti kepingan puzel yang harus disusun agar menjadi utuh yaitu menjadi manusia yang berkualitas.Apa jadinya bila salah satu lingkungan tidak dapat melengkapi apa yang dibutuhkan oleh anak dalam hal ini adalah lingkungan sekolah yang kurang baik.

Cukup luas dan naïf memang apabila penulis mengatakan bahwa lingkungan sekolah kurang baik ini desebabkan oleh kualitas sumber daya manusia yang masih rendah, lebih spesifik lagi maksud penulis adalah guru berintelektual tinggi namun belum mampu atau tidak siap berbagi informasi pengetahuan kepada anak (baca: siswa) sebagai pendidik.  Menurut penulis untuk menjadi seorang guru itu tidak mudah, butuh proses yang cukup lama menjadi guru seutuhnya. Guru seutuhnya itu mampu menjadikan anak pintar secara intelektual juga mampu merubah karakter anak menjadi cerdas secara emosional. Bagaimana bila terjadi sebaliknya, guru yang cerdas secara intelektual namun belum matang secara emosional?

Satu hal yang mungkin tidak sempat terpikirkan dalam dunia pendidikan adalah bagaimana membina pendidik itu mejadi siap mendidik, guru yang sebenar-benarnya guru yang mampu “digugu lan ditiru.” Banyak pelatihan-pelatihan tentang pengembangan ilmu pengetahuan guru berdasarkan disiplin ilmu namun jarang dilakukan pelatihan atau pendidikan bagi guru tentang kecerdasan emosional. Sebagai contoh guru berkarakter dan berkualitas keceradasan emosi yang rendah adalah ketika guru yang baru keluar ruangan kelas dan berkata dengan nada kesal “Aku menyerah dengan kelas ini dan aku tidak mau kembali kekelas itu lagi untuk mengajar”. Miris telinga dan hati jika seorang guru yang memiliki tugas mulia untuk mendidik sekaligus sebagai komponen pelengkap dari puzel manusia berkualitas mengeluarkan kalimat tersebut. Bahkan menggeluh dengan tendensi menyalahkan siswa, seperti yang pernah dialami penulis ketika mendengar ada guru yang mengeluh “Aduh! Kenapa sih dengan x diajarin susahnya minta ampun, nilai tugas-tugasnya jelek mungkin pada dasarnya mereka bodoh .

Sadar atau tidak ketika kita memilih profesi sebagai seorang guru atau pendidik, maka disaat itu juga dia akan menjadi seorang trend center dilingkungan dia mengajar. Semua tingkah laku, tutur kata akan didengar oleh siswa dan menjadi panutan, tidak hanya dilingkungan dia mengajar namun dimana guru itu menetap akan menjadi panutan masyarakat atau tolok ukur cermin pendidikan.  Selayaknya seorang guru sudah menjadi kewajiban untuk berbagai pengetahuan dengan mendampingi perkembangan pengetahuan anak didiknya, mengajarkan ilmu dengan kesabaran yang ekstra bukan dengan emosi atau kata-kata kasar. Jika ada masalah dalam belajar yang dihadapi siswa hendaknya guru mengevaluasi dirinya sendiri terlebih dahulu sebelum mengeluh dan menyalahkan siswa.

Memiliki kedewasaan dalam menghadapi permasalahan itu memang bukan perkara yang mudah, perlu adanya pematangan karakter pribadi yang dibentuk sejak dini melalui lingkungan pendidikan pula. Lingkungan keluarga, sosial masyarakat, juga sekolah tempat menjadi peserta didik sebelum menjadi pendidik. Hal ini sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Damyanti dan Mudjiono (2002) bahwa belajar merupakan hal yang kompleks. Sungguh riskan apabila seseorang yang tidak memiliki karakter positif menjadi pendidik, dikhawatirkan akan melakukan tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan norma di lingkungan pendidikan misalnya pemukulan terhadap siswa, pencurian barang-barang sekolah hingga melakukan perbuatan yang asusila. Jika hal demikian ini terjadi, makan akan semakin menambah deretan oknum pelaku tindak kejahatan dengan profesi sebagai guru dan akan mencoreng dunia pendidikan pula.

Sehingga dengan demikian pematangan karakter guru dalam mendidik itu perlu agar bisa menjadi pendidik yang menghasilkan manusia berkualitas, ada dua cara yang dapat dilakukan untuk membentuk karakter guru yang matang supaya menjadi guru yang seutuhnya. Pertama hal preventif yang dilakukan adalah ketika melakukan seleksi calon tenaga guru hendaknya diketahui latar belakang keluarga dan pendidikannya, melakukan berbagai macam tes dan salah satunya adalah psikologi tes untuk meihat karakter dari calon guru tersebut. Biasanya sekolah yang kecolongan adalah sekolahan berstatus swasta, hal ini dibuktikan dengan berita di berbagai media tentang adanya tindakan yang kurang terpuji dilakukan oleh oleh guru. Kedua hendaknya pemerintah bersinergi dengan pihak yang terkait untuk memberikan pelatihan kepada tenaga kependidikan guna meningkatkan kecerdasan yang tidak terbatas hanya untuk intelektual, melainkan kecerdasan emosional guru juga. Sebaiknya jangan membatasi fasilitas pelatihan ini hanya untuk guru yang sudah berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS) namun menyeluruh bagi tenaga pendidik yaitu guru dan staf.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun