Dongeng Tinggal Kenangan
Di sudut sebuah desa yang mulai terkikis oleh modernitas, seorang nenek duduk di bawah lampu yang redup. Di hadapannya, cucu-cucunya duduk melingkar, matanya berbinar mendengar kisah lama yang dia ceritakan. Dengan suara pelan namun penuh emosi, nenek itu mulai mendongeng, seperti yang sering ia lakukan sejak dulu.
"Dahulu kala, ada seekor kancil yang pintar dan seekor buaya yang licik..." Kisah tentang si Kancil dan Buaya mengalir lancar dari bibirnya. Anak-anak tertawa kecil membayangkan si Kancil yang cerdik menipu kawanan buaya untuk menyeberangi sungai. Tapi di tengah dongeng itu, salah satu cucunya bertanya, "Nek, apa kita masih bisa lihat kancil dan buaya di hutan?"
Nenek itu terdiam, air mata menggantung di sudut matanya. Ia tahu jawabannya, tapi ia tak sanggup mengatakannya. Hutan-hutan di sekitarnya sudah lama gundul. Sungai-sungai tempat buaya biasa mengintai mangsa kini kering atau berubah menjadi jalur tambang. Dan kancil? Bahkan ia tak tahu kapan terakhir kali mendengar tentang hewan itu di dunia nyata.
Dongeng nenek itu mungkin suatu hari akan menjadi satu-satunya jejak keberadaan kancil dan buaya. Seperti dongeng-dongeng lain tentang binatang yang telah hilang, tentang badak bercula satu di Ujung Kulon, harimau Jawa yang dulu menguasai hutan, atau orangutan Kalimantan yang sekarang hanya tersisa beberapa ribu ekor di tengah sisa-sisa hutan yang tercerai-berai.
Indonesia, yang dulu disebut sebagai zamrud khatulistiwa, kini perlahan kehilangan kilaunya. Hutan Kalimantan yang dulu lebat kini berubah menjadi hamparan perkebunan kelapa sawit. Papua, surga terakhir keanekaragaman hayati dunia, dihancurkan demi tambang emas dan pembangunan jalan yang tak pernah berhenti. Kita kehilangan lebih dari sekadar pohon atau tanah; kita kehilangan makhluk hidup yang menjadi bagian dari cerita-cerita leluhur kita.
Bayangkan ini: gajah, lebah, unta, bahkan semut-atau bahkan smua hewan yang disebut dalam Al-Qur'an, hewan yang membawa pesan moral dan hikmah, suatu hari nanti hanya akan ada di kitab suci dan tidak di dunia nyata. Surat Al-Nahl (lebah) akan kehilangan maknanya karena lebah tak lagi berdengung. Surat Al-Fil (gajah) akan menjadi kisah kosong tanpa kehadiran makhluk besar itu di dunia kita. Jika itu terjadi, apakah kita masih akan menganggap ayat-ayat tersebut sebagai kebenaran, ataukah hanya dongeng belaka?
Sama seperti dongeng nenek tentang si Kancil dan Buaya, Al-Qur'an pun berisiko menjadi sekadar cerita lama tanpa pijakan realitas. Ini bukan hanya tentang kehilangan makhluk hidup, tetapi kehilangan makna spiritual yang telah menjadi bagian dari identitas kita sebagai manusia.
Dunia ini sedang berubah. Hutan-hutan yang dulu kita bayangkan sebagai taman surga kini tinggal menjadi dongeng. Taman-taman indah yang disebut sebagai jannat dalam kitab suci, dengan sungai-sungai yang mengalir deras dan pepohonan yang rindang, kini lebih sering kita temukan dalam novel fiksi daripada dalam kenyataan.
Kita hidup di era dimana kehancuran bukan lagi ancaman masa depan, tetapi kenyataan yang sedang berlangsung. Dunia kita sedang menuju kepunahan massal keenam. Hewan-hewan punah setiap hari. Ekosistem hancur setiap jam. Dan di balik itu semua, manusia adalah pelakunya.
Namun, ini bukan akhir dari kisah kita. Seperti halnya nenek itu yang terus bercerita meski tahu dongengnya mungkin suatu hari akan menjadi kenyataan pahit, kita juga masih memiliki pilihan untuk menulis ulang kisah ini.
Pertanyaannya adalah, apakah kita akan terus menjadi generasi yang membiarkan hutan menjadi dongeng, hewan-hewan menjadi legenda, dan taman-taman indah menjadi mitos? Ataukah kita akan bangkit sebagai Homo Nexus, manusia yang menjadi penjaga kehidupan dan penghubung harmoni antara teknologi, moralitas, dan keberlanjutan?
Kisah ini belum selesai. Dan pilihan ada di tangan kita.
Di Persimpangan Zaman: Dunia yang Kian Retak
Bayangkan sebuah dunia di mana manusia berdiri di atas reruntuhan mimpi-mimpi yang pernah mereka bangun. Udara terasa sesak, penuh dengan kabut tebal yang mengaburkan pandangan masa depan. Sungai-sungai yang dulu menjadi urat nadi kehidupan kini berubah menjadi aliran racun yang mematikan. Langit, yang seharusnya biru cerah, kini dipenuhi awan kelabu hasil pembakaran tanpa henti. Dunia ini bukan fiksi ilmiah. Dunia ini adalah masa kini kita---dan ancaman besar di depan mata.
Fenomena ini bisa dijelaskan melalui teori Anthropocene, sebuah konsep yang pertama kali diperkenalkan oleh ilmuwan Paul Crutzen pada tahun 2000, yang menggambarkan era geologis baru di mana aktivitas manusia telah menjadi kekuatan dominan yang mengubah ekosistem bumi. Tidak hanya perubahan iklim yang semakin terasa, tetapi juga hilangnya spesies dengan tingkat yang luar biasa. Laporan PBB 2019 menyebutkan bahwa hampir 1 juta spesies terancam punah akibat aktivitas manusia, terutama karena deforestasi, perubahan iklim, dan kerusakan habitat. Di Kalimantan, lebih dari 24 juta hektar hutan telah hilang sejak 1970, sebagian besar disebabkan oleh konversi hutan untuk perkebunan kelapa sawit.
Di ujung Kalimantan, sisa-sisa hutan tropis berdiri seperti prajurit tua yang kelelahan. Suara burung-burung eksotis yang dulu meramaikan pagi kini digantikan oleh dengungan mesin gergaji. Harimau Sumatera, simbol kegagahan Nusantara, kini lebih sering ditemukan sebagai gambar dalam kampanye konservasi daripada di habitat aslinya. Kita kehilangan lebih dari sekadar hewan. Kita kehilangan roh alam yang menjadi bagian dari identitas kita.
Namun, ancaman ini tidak datang tiba-tiba. Ini adalah hasil dari tangan manusia yang terus meraih tanpa batas, menggali tanpa henti, dan membakar tanpa peduli. Dalam upaya mengejar pertumbuhan ekonomi, kita mengorbankan masa depan. Satu pohon tumbang di Kalimantan, satu spesies punah di Papua. Dan sedikit demi sedikit, kita mendekati jurang kehancuran.
Kehancuran ini bukan hanya ancaman ekologis. Ini adalah ancaman moral. Setiap kali kita memotong pohon tanpa berpikir, setiap kali kita membuang limbah tanpa peduli, kita tidak hanya merusak bumi. Kita merusak kemanusiaan kita sendiri. Seperti kata Martin Luther King Jr., "Tidak ada yang lebih berbahaya dari ketidakpedulian yang disengaja."
Kita hidup di persimpangan zaman. Pilihannya jelas: terus berjalan menuju kehancuran, atau berbalik arah dan menemukan kembali makna menjadi manusia. Pertanyaannya adalah, apakah kita memiliki keberanian untuk memilih yang kedua?
Era Homo Nexus: Saatnya Manusia Menentukan Takdir
Di tengah krisis ini, satu fakta mengejutkan muncul: manusia bukan lagi makhluk yang dibentuk oleh alam. Sebaliknya, kita kini adalah makhluk yang lebih banyak dibentuk oleh teknologi. Algoritma menentukan apa yang kita lihat, pikirkan, bahkan rasakan. Media sosial mengatur bagaimana kita berinteraksi, sementara kecerdasan buatan (AI) semakin memengaruhi keputusan-keputusan besar dalam hidup kita.
Teori Technological Determinism yang dikemukakan oleh Marshall McLuhan menyatakan bahwa teknologi, lebih daripada faktor lainnya, yang memengaruhi perubahan sosial dan budaya manusia. McLuhan berargumen bahwa teknologi bukan hanya sebagai alat, tetapi sebagai kekuatan yang mendominasi kehidupan manusia, membentuk cara kita berpikir, berinteraksi, dan bahkan berbicara. Dalam konteks ini, teknologi tidak lagi hanya berfungsi untuk membantu manusia, tetapi mulai menjadi pembentuk realitas kita seperti memperburuk ketimpangan sosial, mempercepat konsumsi, dan merusak ekosistem global.
Namun, ada sesuatu yang mengganggu dalam perkembangan ini. Jika teknologi terus berkembang tanpa arah yang jelas, maka manusia akan menjadi penumpang pasif di dalam kereta yang melaju menuju kehancuran. Di sinilah kita harus berani bertanya: apakah kita ingin menjadi Homo Nexus yaitu manusia yang memanfaatkan teknologi untuk menciptakan masa depan yang lebih baik? Atau hanya menjadi Homo Sapiens yang menyerah pada kekuatan teknologi tanpa kontrol?
Yuval Noah Harari pernah berkata, "Di masa depan, mereka yang menguasai data akan menguasai dunia." Tetapi pertanyaan sebenarnya adalah, apakah mereka yang menguasai data juga menguasai hati nurani mereka? Teknologi tidak netral. Ia bisa menjadi alat penyelamat, tetapi juga bisa menjadi pedang yang memusnahkan.
Sebagai Homo Nexus, manusia harus mengambil peran aktif. Kita harus menjadi pemimpin, bukan pengikut. Teknologi harus diarahkan untuk menyelamatkan bumi, bukan menghancurkannya. AI harus menjadi alat untuk merehabilitasi hutan, bukan sekadar meningkatkan keuntungan perusahaan. Pilihan ada di tangan kita.
Kepunahan Massal Keenam: Mitos atau Kenyataan?
Ada yang berkata bahwa manusia adalah makhluk paling cerdas di bumi. Tetapi jika benar, mengapa kita menghancurkan satu-satunya rumah yang kita miliki? Sejak Revolusi Industri, manusia telah mengubah bumi dengan kecepatan yang luar biasa. Hutan-hutan ditebang, lautan diracuni, atmosfer dipenuhi gas rumah kaca.
Teori "Great Acceleration" mengungkapkan bahwa sejak pertengahan abad ke-20, aktivitas manusia telah berkembang pesat dalam hal konsumsi energi, industrialisasi, dan polusi, yang mempercepat kerusakan alam. Fenomena ini menjadi salah satu penyebab utama terjadinya Kepunahan Massal Keenam yang sekarang sedang berlangsung. Laporan dari Intergovernmental Science-PolicyÂ
Platform on Biodiversity and Ecosystem Services (IPBES) mengungkapkan bahwa sekitar 25% spesies di dunia saat ini terancam punah. Proses ini jauh lebih cepat dari yang seharusnya terjadi dalam sejarah geologi, yang biasanya memakan waktu ratusan ribu hingga jutaan tahun.
Kepunahan massal keenam bukan lagi mitos. Ini adalah kenyataan yang sedang terjadi. Menurut para ilmuwan, tingkat kehilangan spesies saat ini adalah seribu kali lebih cepat daripada tingkat alami. Setiap hari, sekitar 150 spesies hewan dan tumbuhan menghilang dari muka bumi. Ini bukan hanya tentang kehilangan keanekaragaman hayati. Ini adalah kehilangan bagian penting dari ekosistem yang menjaga keseimbangan hidup kita.
Kepunahan massal ini adalah cermin dari ketidakmampuan manusia untuk hidup selaras dengan alam. Kita telah menjadi predator tertinggi yang tidak hanya memburu mangsa, tetapi juga memburu masa depan kita sendiri.Â
Namun, ini bukan kiamat yang mengakhiri semua kisah tentang manusia. Kita masih punya waktu untuk berbalik arah, tetapi waktunya semakin sedikit.
Evolusi yang Disengaja: Jalan Menuju Masa Depan
Jika sejarah mengajarkan kita satu hal, itu adalah bahwa manusia adalah makhluk yang mampu beradaptasi. Kita telah melalui zaman es, bencana alam, bahkan perang dunia. Tetapi tantangan kali ini berbeda. Kita tidak hanya harus bertahan. Kita harus berkembang dengan cara yang disengaja.
Teori Evolutionary Biology mengajarkan kita bahwa evolusi adalah proses alamiah yang terjadi secara perlahan dan dipengaruhi oleh seleksi alam. Namun, saat ini, manusia telah memasuki fase baru---evolusi yang disengaja. Kita tidak hanya menunggu seleksi alam. Kita menciptakan seleksi tersebut. Dengan teknologi, kita dapat memilih jalur evolusi kita sendiri.
Namun, evolusi ini membutuhkan kebijaksanaan. Jika teknologi kita salah arah, maka kita bukan lagi menjadi Homo Nexus yang memimpin masa depan, tetapi Homo Sapiens yang kehilangan kontrol. Untuk itu, kita membutuhkan kebijakan yang bijak, penggunaan teknologi yang bertanggung jawab, dan, yang paling penting, kesadaran global yang lebih tinggi.
Indonesia, dengan segala kekayaan alam dan budayanya, bisa menjadi pemimpin dalam evolusi ini. Kita bisa menunjukkan kepada dunia bahwa pembangunan tidak harus menghancurkan. Kita bisa menciptakan teknologi yang tidak hanya meningkatkan kehidupan manusia, tetapi juga menyelamatkan planet.
Seperti kata Albert Einstein, "Kita tidak bisa memecahkan masalah dengan cara berpikir yang sama ketika kita menciptakannya." Untuk menyelamatkan dunia, kita harus berpikir dengan cara yang baru. Kita harus menjadi Homo Nexus, manusia yang tidak hanya hidup di dunia ini, tetapi juga menjaga dan merawatnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H