Mohon tunggu...
Asep Setiawan
Asep Setiawan Mohon Tunggu... Akuntan - Membahasakan fantasi. Menulis untuk membentuk revolusi. Dedicated to the rebels.

Nalar, Nurani, Nyali. Curious, Critical, Rebellious. Mindset, Mindmap, Mindful

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menulis Masa Depan Manusia, Jalan Baru Membentuk Homo Nexus

29 November 2024   22:25 Diperbarui: 29 November 2024   22:41 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pertanyaannya adalah, apakah kita akan terus menjadi generasi yang membiarkan hutan menjadi dongeng, hewan-hewan menjadi legenda, dan taman-taman indah menjadi mitos? Ataukah kita akan bangkit sebagai Homo Nexus, manusia yang menjadi penjaga kehidupan dan penghubung harmoni antara teknologi, moralitas, dan keberlanjutan?

Kisah ini belum selesai. Dan pilihan ada di tangan kita.

Di Persimpangan Zaman: Dunia yang Kian Retak

Bayangkan sebuah dunia di mana manusia berdiri di atas reruntuhan mimpi-mimpi yang pernah mereka bangun. Udara terasa sesak, penuh dengan kabut tebal yang mengaburkan pandangan masa depan. Sungai-sungai yang dulu menjadi urat nadi kehidupan kini berubah menjadi aliran racun yang mematikan. Langit, yang seharusnya biru cerah, kini dipenuhi awan kelabu hasil pembakaran tanpa henti. Dunia ini bukan fiksi ilmiah. Dunia ini adalah masa kini kita---dan ancaman besar di depan mata.

Fenomena ini bisa dijelaskan melalui teori Anthropocene, sebuah konsep yang pertama kali diperkenalkan oleh ilmuwan Paul Crutzen pada tahun 2000, yang menggambarkan era geologis baru di mana aktivitas manusia telah menjadi kekuatan dominan yang mengubah ekosistem bumi. Tidak hanya perubahan iklim yang semakin terasa, tetapi juga hilangnya spesies dengan tingkat yang luar biasa. Laporan PBB 2019 menyebutkan bahwa hampir 1 juta spesies terancam punah akibat aktivitas manusia, terutama karena deforestasi, perubahan iklim, dan kerusakan habitat. Di Kalimantan, lebih dari 24 juta hektar hutan telah hilang sejak 1970, sebagian besar disebabkan oleh konversi hutan untuk perkebunan kelapa sawit.

Di ujung Kalimantan, sisa-sisa hutan tropis berdiri seperti prajurit tua yang kelelahan. Suara burung-burung eksotis yang dulu meramaikan pagi kini digantikan oleh dengungan mesin gergaji. Harimau Sumatera, simbol kegagahan Nusantara, kini lebih sering ditemukan sebagai gambar dalam kampanye konservasi daripada di habitat aslinya. Kita kehilangan lebih dari sekadar hewan. Kita kehilangan roh alam yang menjadi bagian dari identitas kita.

Namun, ancaman ini tidak datang tiba-tiba. Ini adalah hasil dari tangan manusia yang terus meraih tanpa batas, menggali tanpa henti, dan membakar tanpa peduli. Dalam upaya mengejar pertumbuhan ekonomi, kita mengorbankan masa depan. Satu pohon tumbang di Kalimantan, satu spesies punah di Papua. Dan sedikit demi sedikit, kita mendekati jurang kehancuran.

Kehancuran ini bukan hanya ancaman ekologis. Ini adalah ancaman moral. Setiap kali kita memotong pohon tanpa berpikir, setiap kali kita membuang limbah tanpa peduli, kita tidak hanya merusak bumi. Kita merusak kemanusiaan kita sendiri. Seperti kata Martin Luther King Jr., "Tidak ada yang lebih berbahaya dari ketidakpedulian yang disengaja."

Kita hidup di persimpangan zaman. Pilihannya jelas: terus berjalan menuju kehancuran, atau berbalik arah dan menemukan kembali makna menjadi manusia. Pertanyaannya adalah, apakah kita memiliki keberanian untuk memilih yang kedua?

Era Homo Nexus: Saatnya Manusia Menentukan Takdir

Di tengah krisis ini, satu fakta mengejutkan muncul: manusia bukan lagi makhluk yang dibentuk oleh alam. Sebaliknya, kita kini adalah makhluk yang lebih banyak dibentuk oleh teknologi. Algoritma menentukan apa yang kita lihat, pikirkan, bahkan rasakan. Media sosial mengatur bagaimana kita berinteraksi, sementara kecerdasan buatan (AI) semakin memengaruhi keputusan-keputusan besar dalam hidup kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun