Mohon tunggu...
Asep Setiawan
Asep Setiawan Mohon Tunggu... Akuntan - Membahasakan fantasi. Menulis untuk membentuk revolusi. Dedicated to the rebels.

Nalar, Nurani, Nyali. Curious, Critical, Rebellious. Mindset, Mindmap, Mindful

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menulis Masa Depan Manusia, Jalan Baru Membentuk Homo Nexus

29 November 2024   22:25 Diperbarui: 29 November 2024   22:41 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dongeng Tinggal Kenangan

Di sudut sebuah desa yang mulai terkikis oleh modernitas, seorang nenek duduk di bawah lampu yang redup. Di hadapannya, cucu-cucunya duduk melingkar, matanya berbinar mendengar kisah lama yang dia ceritakan. Dengan suara pelan namun penuh emosi, nenek itu mulai mendongeng, seperti yang sering ia lakukan sejak dulu.

"Dahulu kala, ada seekor kancil yang pintar dan seekor buaya yang licik..." Kisah tentang si Kancil dan Buaya mengalir lancar dari bibirnya. Anak-anak tertawa kecil membayangkan si Kancil yang cerdik menipu kawanan buaya untuk menyeberangi sungai. Tapi di tengah dongeng itu, salah satu cucunya bertanya, "Nek, apa kita masih bisa lihat kancil dan buaya di hutan?"

Nenek itu terdiam, air mata menggantung di sudut matanya. Ia tahu jawabannya, tapi ia tak sanggup mengatakannya. Hutan-hutan di sekitarnya sudah lama gundul. Sungai-sungai tempat buaya biasa mengintai mangsa kini kering atau berubah menjadi jalur tambang. Dan kancil? Bahkan ia tak tahu kapan terakhir kali mendengar tentang hewan itu di dunia nyata.

Dongeng nenek itu mungkin suatu hari akan menjadi satu-satunya jejak keberadaan kancil dan buaya. Seperti dongeng-dongeng lain tentang binatang yang telah hilang, tentang badak bercula satu di Ujung Kulon, harimau Jawa yang dulu menguasai hutan, atau orangutan Kalimantan yang sekarang hanya tersisa beberapa ribu ekor di tengah sisa-sisa hutan yang tercerai-berai.

Indonesia, yang dulu disebut sebagai zamrud khatulistiwa, kini perlahan kehilangan kilaunya. Hutan Kalimantan yang dulu lebat kini berubah menjadi hamparan perkebunan kelapa sawit. Papua, surga terakhir keanekaragaman hayati dunia, dihancurkan demi tambang emas dan pembangunan jalan yang tak pernah berhenti. Kita kehilangan lebih dari sekadar pohon atau tanah; kita kehilangan makhluk hidup yang menjadi bagian dari cerita-cerita leluhur kita.

Bayangkan ini: gajah, lebah, unta, bahkan semut-atau bahkan smua hewan yang disebut dalam Al-Qur'an, hewan yang membawa pesan moral dan hikmah, suatu hari nanti hanya akan ada di kitab suci dan tidak di dunia nyata. Surat Al-Nahl (lebah) akan kehilangan maknanya karena lebah tak lagi berdengung. Surat Al-Fil (gajah) akan menjadi kisah kosong tanpa kehadiran makhluk besar itu di dunia kita. Jika itu terjadi, apakah kita masih akan menganggap ayat-ayat tersebut sebagai kebenaran, ataukah hanya dongeng belaka?

Sama seperti dongeng nenek tentang si Kancil dan Buaya, Al-Qur'an pun berisiko menjadi sekadar cerita lama tanpa pijakan realitas. Ini bukan hanya tentang kehilangan makhluk hidup, tetapi kehilangan makna spiritual yang telah menjadi bagian dari identitas kita sebagai manusia.

Dunia ini sedang berubah. Hutan-hutan yang dulu kita bayangkan sebagai taman surga kini tinggal menjadi dongeng. Taman-taman indah yang disebut sebagai jannat dalam kitab suci, dengan sungai-sungai yang mengalir deras dan pepohonan yang rindang, kini lebih sering kita temukan dalam novel fiksi daripada dalam kenyataan.

Kita hidup di era dimana kehancuran bukan lagi ancaman masa depan, tetapi kenyataan yang sedang berlangsung. Dunia kita sedang menuju kepunahan massal keenam. Hewan-hewan punah setiap hari. Ekosistem hancur setiap jam. Dan di balik itu semua, manusia adalah pelakunya.

Namun, ini bukan akhir dari kisah kita. Seperti halnya nenek itu yang terus bercerita meski tahu dongengnya mungkin suatu hari akan menjadi kenyataan pahit, kita juga masih memiliki pilihan untuk menulis ulang kisah ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun