Mohon tunggu...
Asep Setiawan
Asep Setiawan Mohon Tunggu... Akuntan - Membahasakan fantasi. Menulis untuk membentuk revolusi. Dedicated to the rebels.

Nalar, Nurani, Nyali. Curious, Critical, Rebellious. Mindset, Mindmap, Mindful

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menantang Filsafat Emergence

10 November 2024   11:12 Diperbarui: 19 November 2024   05:59 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kekeliruan Filsafat Emergence dalam Memahami Bahasa dan Biologi Kehidupan.

Diskusi kita sampai saat ini, lihat artikel sebelumnya, sudah sampai kepada pemahaman tentang peran psikologi koheren, language operating system software, dan pengajaran Tuhan dalam kemampuan manusia berbahasa. Tapi kita masih ingin tahu dari manakah language operating system software itu berasal? Apakah emerge dari struktur organ, struktur otak, dan struktur genetik? Ataukah itu ditanamkan dari luar?

Untuk menjawab itu, mari kita bandingkan langsung antara manusia ketika masih hidup dengan ketika manusia sudah jadi mayat.

Mayat dalam segala sesuatunya, baik struktur organ, struktur otak, dan struktur genetiknya, sama persis dengan ketika dia masih hidup. Tapi seluruh kemampuan berbahasanya hilang sama sekali.  

Walaupun bagian-bagian otak yang menyimpan memori bahasa tetap utuh dalam kondisi mayat, tetapi dia tidak lagi bisa digunakan untuk berbahasa. Kemampuan self organizing, sistem hirarki, dan interkoneksi antar struktur yang memengaruhi kemampuan berbahasa tidak ada lagi. Lenyap. Secara material dan struktural ini sungguh aneh. Mekanisme apa yang menghubungkan semua itu?

Pada mayat tudak ada lagi saluran yang menghubungkan sistem holon seperti dalam perspektif Arthur Koestler dan saluran yang menghubungkan All Quadrants All Lines seperti tergambar dalam perspektif Ken Wilber pada kemampuan berbahasa manusia. Kenapa begitu?

Jika kemampuan berbahasa emerge dari struktur organ, struktur otak, dan struktur genetik, maka pada mayat yang ketiga strukturnya masih utuh seharusnya kemampuan berbahasanya juga tetap utuh. Tapi nyatanya kan tidak.  Kinerja berbahasanya tiba-tiba hilang. Kemana hilangnya?, padahal segala dan setiap sesuatunya masih utuh.

Maka jika mencari kemampuan berbahasa pada hal-hal fisik, dan kemampuan berbahasa itu tidak diukur berdasarkan kinerja, kita tidak akan menemukan jawaban dari sana.

Jadi apa? Jadi kita melihat bahwa kemampuan berbahasa tertanam dari luar tubuh kita, baik itu operating system maupun kesadarannya. Kesadaran berbahasa, operating system bahasa, dan pemaknaan bahasa tidak timbul dan tumbuh dari dalam diri manusia sendiri, melainkan ditanamkan ke dalamnya.

Filsafat emergent yang melingkupi banyak bidang sains dari mulai bahasa, hingga biologi dan kesadaran tampak tidak relevan.

Lebih lanjut kita menantang filsafat emergent dalam biologi terutama pendekatan abiogenesis.

Argumen kita didasarkan kepada dua fakta utama bahwa sampai saat ini kita tidak pernah menemukan secara empiris entitas biologi muncul secara spontan dari unsur kimia, fisika, dan biologi, kemudian teknologi kita pun belum mampu menciptakan satu entitas biologi pun dari bangunan dasarnya tersebut.

Kita melihat bahwa:

1. Kurangnya Bukti Empiris Munculnya Kehidupan Spontan:

Adanya kemajuan signifikan dalam biologi sintetik sekalipun belum mampu menciptakan organisme hidup dari awal hanya dengan menggunakan bahan dasar biologis. Saat ini belum ada teknologi yang berhasil merakit molekul menjadi sistem hidup yang mampu mereplikasi diri dan meniru kompleksitas organisme hidup yang paling sederhana sekalipun, seperti bakteri.

Selain itu, kurangnya keberhasilan empiris selama penelitian selama beberapa dekade menunjukkan bahwa munculnya kehidupan dari komponen molekul sederhana bukanlah proses yang sederhana.

Kompleksitas yang diperlukan untuk menciptakan organisme hidup dari yang paling sederhana pun menunjukkan bahwa kehidupan mungkin memerlukan lebih dari sekedar bahan mentah dan energi---kehidupan mungkin memerlukan faktor atau kondisi eksternal yang spesifik yang saat ini tidak dapat kita tiru.

2. Tidak adanya Kehidupan Spontan di Alam:

Kita tidak melihat adanya kehidupan yang terjadi secara spontan di alam, dimana kehidupan muncul begitu saja dari benda mati.

Meskipun abiogenesis (proses munculnya kehidupan dari benda mati) dianggap sebagai proses sejarah yang mungkin terjadi pada masa awal Bumi dalam kondisi tertentu, namun hal ini bukanlah sesuatu yang terjadi secara spontan di lingkungan modern.

Pemahaman ilmiah modern menunjukkan bahwa abiogenesis terjadi dalam kondisi ekstrem (misalnya, sumber energi tinggi seperti petir, aktivitas gunung berapi, atau ventilasi hidrotermal bawah air), dan berlangsung dalam jangka waktu yang lama. Fakta bahwa kehidupan tidak muncul secara spontan pada masa kini membuktikan bahwa proses tersebut memerlukan kondisi yang sangat spesifik dan terkendali, atau menyiratkan bahwa kehidupan itu sendiri bukanlah sesuatu yang muncul begitu saja ketika kondisi yang tepat terpenuhi.

3. Kompleksitas Sistem Kehidupan:

Bahkan organisme hidup yang paling sederhana (seperti bakteri) sangatlah kompleks, dengan proses biokimia yang rumit dan sistem pengaturan mandiri. Kompleksitas ini menunjukkan bahwa peralihan dari benda mati ke benda hidup tidak bisa dilihat sebagai akibat sederhana dari berkumpulnya molekul-molekul. Sebaliknya, hal ini mungkin memerlukan tingkat pengorganisasian, aliran informasi, dan pengorganisasian mandiri yang lebih dalam yang melampaui reaksi kimia dasar.

Kesulitan dalam menciptakan kembali bentuk kehidupan sederhana dari bahan dasar menggarisbawahi fakta bahwa kehidupan lebih dari sekedar molekul yang tersusun dalam urutan tertentu---kehidupan adalah sistem dinamis dengan proses fungsional seperti metabolisme, penyimpanan informasi, replikasi, dan pengaturan diri, yang mana tidak dapat dengan mudah ditiru dari awal.

Jadi kehidupan bukanlah fenomena materialistis semata yang dapat direduksi menjadi interaksi fisika dan kimia dasar. Sebaliknya, hal ini menunjukkan kemungkinan bahwa kehidupan memerlukan masukan eksternal---mungkin dari prinsip panduan atau kekuatan non-material---yang melampaui interaksi molekul. Hal ini menunjukkan pentingnya peran faktor eksternal (misalnya campur tangan ilahi, informasi tingkat tinggi) dalam perkembangan kehidupan.

Kita melihat bahwa kehidupan bukan sekedar hasil dari proses material, namun melibatkan dimensi tambahan, seperti kesadaran, kecerdasan, atau informasi yang belum sepenuhnya dipahami atau diukur. Dalam konteks ini, kehidupan tidak "muncul" secara langsung dari benda mati, dan penciptaan kehidupan memerlukan sesuatu yang lebih dari sekedar akumulasi molekul, RNA, atau unsur-unsur biologis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun