Dalam pasar tenaga kerja, harga tenaga kerja manusia akan diukur sebagai opportunity cost terhadap biaya adopsi sistem AI. Pilihan ekonomi dan bisnis tentu diarahkan kepada entitas yang mampu memberikan manfaat yang lebih besar atau harga cost yang lebih murah.Â
Jika ROI dari adopsi sistem AI lebih tinggi daripada mempekerjakan manusia, maka AI akan dipilih untuk menggantikan tenaga kerja manusia. Ini artinya secara kasar, manusia dituntut, jika ingin tetap dipakai sebagai faktor produksi, untuk selalu mau menerima upah rendah atau lebih rendah dari cost yang dikeluarkan untuk adopsi AI.
Dalam konteks situasi ini, gerakan buruh dalam bentuk organiknya adalah serikat buruh dituntut lebih garang dalam membela hak-hak buruh. Tapi sikap garang ini segera melempem ketika berhadapan dengan strategi pengembangan AI dari mulai multimodel, multiagen, sampai kepada AGI dan ASpI yang mampu bertindak otonom dan menghasilkan ROI yang tinggi. ROI tinggi yang dicapai oleh AGI dan ASpI membuat kebutuhan akan tenaga kerja manusia semakin menurun, sehingga pasar tenaga kerja melemah, yang semua itu menyebabkan daya tawar buruh sangat rendah. Dalam situasi daya tawar buruh yang rendah, gerakan buruh kehilangan daya paksanya. Jika pun mogok kerja dilakukan atas desakan serikat buruh, ini malah memicu penggunaan agen AI lebih banyak, lebih luas, dan lebih dalam.Â
Pada titik ini daya tawar tenaga kerja manusia harus beralih dari sebagai faktor produksi menjadi pasar. Sebab semurah apapun suatu produk jika tidak ada yang membeli, apa gunanya. ROI tinggi tidak akan dicapai dalam pasar yang sempit.Â
Ketika manusia menempatkan dirinya sebagai pasar, suatu peran yang tidak bisa digantikan oleh AI, maka grand design dan strategi pengembangan AI akan digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi manusia.Â
Masalah pasar adalah masalah utama dalam setiap tahap revolusi industri dari revolusi industri 1.0 sampai revolusi industri 4.0 saat ini, bahkan pasti adalah masalah utama dalam revolusi industri 5.0.Â
Peran Gerakan Buruh
Adopsi AI dalam industri manufaktur melalui otomasi lini kerja tidak dapat dihindari, terutama untuk menjaga daya saing global dan domestik dari produk buatan Indonesia oleh perusahaan yang berorientasi pasar internasional dan memiliki pangsa pasar yang besar di dalam negeri. Tapi ROI yang tinggi tidak akan dicapai dalam pasar yang sempit dengan margin yang tipis. Untuk itu perusahan bisnis secara tidak langsung berkepentingan untuk menjaga daya beli masyarakat tetap tinggi. Daya beli masyarakat yang baik hanya bisa dicapai jika masyarakat memiliki pekerjaan dan penghidupan yang layak.Â
Tenaga kerja, konsumen, pemilik modal, teknologi, dan lingkungan adalah 5 agen utama yang menggerakan perekonomian suatu negara. Setiap agen tidak akan mampu mencapai tingkat utilitas maksimal ataupun pertambahan utilitas tanpa memperhatikan pengaruhnya pada utilitas agen yang lain. Untuk itu perlu adanya kolaborasi antar kelima aktor penggerak kelima agen ini.
Gerakan buruh bisa memulai inisiatif melakukan komunikasi dan kolaborasi dengan pihak pengusaha dan pemerintah untuk membentuk dan merumuskan peta jalan adopsi AI yang ramah pekerja, ramah konsumen, dan ramah lingkungan guna menjamin tersedia pasar yang kondusif bagi perkembangan bisnis, ekonomi, serta penerimaan pajak pemerintah.
Peta jalan  itu harus mencakup sektor industri mana saja yang boleh mengadopsi AI, besaran keluasan dan kedalaman adopsinya mencakup lini kerja yang bisa mengadopsi AI dan besaran penggunaan AI pada lini kerja tersebut, kapan relevan diadopsi, alasan yang membuat perusahaan dibenarkan mengadopsi AI, program upskilling tenaga kerja, jaring pengaman sosial bagi pekerja yang digantikan perannya oleh AI, dan opsi insentif pajak bagi adopsi AI. Pada setiap tahapnya gerakan buruh bisa mengambil peran aktif.