Mohon tunggu...
Asep Setiawan
Asep Setiawan Mohon Tunggu... Akuntan - Membahasakan fantasi. Menulis untuk membentuk revolusi. Dedicated to the rebels.

Nalar, Nurani, Nyali. Curious, Critical, Rebellious. Mindset, Mindmap, Mindful

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Applied Ethic : Menggugat Praktek Moral Kita

27 April 2024   21:13 Diperbarui: 3 Mei 2024   11:48 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Menuju Moral Tunggal dan Kebenaran Tunggal

Pendahuluan

Seorang wanita sedang bingung mendapati dirinya hamil. Apakah dia perlu melakukan aborsi atau tidak. Sebab dia tau anak dalam kandungannya bukan dari suaminya, tapi dari ayah mertuanya. Kalaupun janinnya dipertahankan, tidak terlalu ada masalah karena rahasia perselingkuhan masih tertutup rapat. Tapi jika begitu pun, itu akan memperdalam rasa bersalah dirinya kepada suaminya. Sepanjang masa hidup anaknya, rasa bersalah itu akan terus menghantui. Padahal suaminya adalah suami yang baik dan bertanggung jawab. Dia sadar suaminya tidak layak dikhianati seperti ini. Belum lagi kehadiran anak itu akan membuat dia semakin sulit lepas dari jebakan pesona ayah mertuanya. Jika digugurkan, dia khawatir dengan resiko kesehatannya. Belum lagi perasaan berdosa yang semakin menenggelamkan dirinya akibat melanggar aturan agama dengan berzina dan membunuh janin. Sebagai seorang pecinta anak-anak, melakukan aborsi berarti hilangnya banyak kebahagiaan. Senyum, tawa, dan candaan anak-anak sungguh sangat membahagiakan dirinya. Dia tersenyum membayangkan tawa anaknya ketika dia menggodanya.

Masalah tadi adalah masalah moral yang melibatkan hati nurani, kebutuhan, kondisi well being, dan aturan agama. Manusia hidup dihimpit oleh moral di mana-mana dari segala arah.

Moral adalah kebutuhan, atau lebih tepatnya konsumsi kita sehari-hari, sama seperti makan, minum, dan bernafas. Setiap saat kita mengkonsumsi moral. Setiap hari kita dihadapkan kepada pilihan-pilihan sikap serta tindakan, dan aneka pengambilan keputusan tentang apakah ini benar atau salah, baik atau buruk, layak atau tidak layak. Bagaimana ini berpengaruh terhadap saya sendiri dan orang lain. Karena itu, kita senantiasa membutuhkan panduan moral.

Apa panduan moral yang tersedia yang membantu kita melalui hari-hari dengan baik? Apa ada tersedia panduan moral yang aplikatif.

Hagemoni Moral

AS memveto proposal keanggotaan penuh bagi Palestina di PBB pada tanggal 19 April 2024. Veto ini menimbulkan rasa sakit hati Palestina dan kemarahan sejumlah besar Negara. Pengakuan itu jika disetujui padahal akan sangat penting bagi perjuangan Palestina untuk sederajat dengan Negara-negara lainnya. Juga akan membangkitkan semangat dan martabat rakyat Palestina yang sedang mengalami genosida oleh Israel. Tapi satu veto saja sudah mampu menghapus peluang konsensus seratusan lebih anggota PBB.

Kasus ini membawa kita mempertanyakan moral AS dan moral PBB. Padahal AS dikenal aktif mempromosikan HAM, demokrasi, ekonomi pasar yang berkeadilan, dan globalisasi yang egaliter.

Kasus ini membawa kita jadi mengerti bahwa moral berbasis konsensus harus tunduk kepada moral berbasis hagemoni.

Dengan fakta bahwa US bukan saja anasir hagemoni di bidang teknologi, sains, ekonomi, militer, dan politik, tapi hagemoni dalam bidang moral dengan mempromosikan bahkan memaksakan demokrasi dan HAM seperti telah disebutkan di atas, tapi rupanya khusus untuk kasus Palestina, US rela mengkhianati moralnya sendiri.

Apakah dengan begitu hagemoni AS layak terus dipertahankan atau dibiarkan saja?

Tapi jika sikap AS terhadap Palestina dianggap bermasalah moral oleh terutama RRC dan Rusia. AS paling cuma nyengir aja. RRC mempunyai masalah HAM di Xin Jiang dan Rusia pun bermasalah telah mencaplok Ukraina. Resolusi yang berkaitan dengan Xin Jiang akan diveto oleh RRC, dan resolusi yang berkaitan dengan Ukraina jika ada sangat mungkin akan diveto Rusia.

Lantas kepada siapa seharusnya kita berkiblat tentang HAM, demokrasi, pasar bebas, dan globalisasi? Bagaimana moral yang dibesarkan oleh hagemoni akan mencapai keadilan dan ketinggian martabat manusia? Apakah kita harus terus tunduk kepada hagemoni moral? Hagemoni moral yang berbasis kepentingan masihkah bisa dikatakan bermoral?

Bermoralkah jika sejumlah negara berupaya menumbangkan hagemoni AS? Bermoralkah jika itu merusak tatanan dunia yang ada? Bermoralkan jika jalannya adalah dengan melalui perang nuklir?

Otoritas Moral

Senin 22 April 2024 Mahkamah Konstitusi membuat putusan menolak seluruh permohonan Pemohon 1 dan Pemohon 2 dalam PHPU 2024 dengan 3 Hakim mengambil posisi dissenting opinion yaitu Sadli Isra, Eny Nurbaningsih, dan Arief Hidayat. Seharusnya komposisi hakim yang mengabulkan dan yang menolak adalah 4 banding 4. Tapi di luar dugaan Hakim Suhartoyo ternyata mengambil keputusan untuk menolak. Padahal sebelumnya pada Putusan MK yang membahas aturan umur minimal Capres-cawapres, Hakim Suharyanto berada dalam posisi dissenting opinion. Jika saja Hakim Suhartoyo tetap pada sikapnya yaitu pada posisi dissenting opinion seperti pada keputusan MK no. 90, maka bisa jadi permohonan pada PHPU tersebut bisa dikabulkan.

Hal ini membawa persoalan moral tentang bagaimana seorang hakim bisa berubah sikap untuk dua perkara yang mirip dan berhubungan tersebut. Inkonsistensi seperti ini berlandaskan kepada moral yang mana?

Jika pun inkonsistensi dianggap cacat moral dalam kasus ini, maka inkonsistensi Hakim Eny Nurbaningsih pun bermasalah. Sebelumnya dia menyetujui putusan MK yang meloloskan Gibran.

Tapi bagaimanapun putusan MK bersifat final dan mengikat. Ini menjadi contoh tentang otoritas moral yang bisa memaksakan suatu moral tertentu menjadi berlaku.

Tapi ini membuat kita penasaran bertanya-tanya, jika otoritas moral melukai rasa keadilan kita, bolehkan kita menumbangkan otoritas moral tersebut? Apakah tindakan seperti itu perlu semacam landasan moral juga?

Konsensus Moral

Beberapa orang mendapat manfaat dari merokok. Rokok itu meningkatkan fokus dan konsentrasi, membantu lebih kreatif, menghilangkan stress, membantu menurunkan berat badan, dan meningkatkan rasa kebersamaan. Nongkrong itu asyiknya ya sambil ngopi dan ngerokok.

Tapi bagi sebagian orang, merokok itu seperti memuntahkan semua isi dan kotoran dari mulut. Tidak dalam bentuk cairan dan materi solid memang, melainkan dalam bentuk gas. Tapi sama saja yaitu sama-sama menjijikkan.

Resiko merokok bagi kesehatan seperti penyakit kanker, jantung, stroke, dan pernapasan yang berpotensi meningkatkan resiko kematian sudah tidak terbantahkan.

Sementara sebagian orang lainnya masih memperdebatkan apakah merokok itu mubah, makruh, atau haram.

Menyatukan orang-orang ini dalam satu "ruangan" jelas tidak mungkin, apapun makna dan kapasitas dari "ruangan" itu. Dalam situasi inilah konsensus moral dibutuhkan. Di banyak tempat sudah dicapai konsensus bahwa dilarang merokok di tempat umum, merokok hanya boleh di area yang telah ditentukan, dan tidak merokok di dekat anak-anak dan orang-orang rentan kesehatannya.

Konsensus moral penting untuk mencapai tujuan stabilitas sosial, kohesi sosial, kesatuan hukum, dan pemahaman yang sama.

Tapi seringkali konsensus moral diawali dengan ketegangan, pertikaian, revolusi, dan perang. Ini semua adalah harga yang sangat mahal. Apakah semua harga itu layak buat kita dan kemanusiaan kita? Apakah sebaiknya tidak perlu ada konsensus moral? Bagaimana menemukan keselarasan antara konsensus moral dengan moral pribadi?

Individual Moral

Seorang wanita senyam-senyum sendiri. Hatinya sedang berbunga-bunga oleh panah asrama. Dia jatuh cinta pada suami tetangganya yang sekaligus istri selingkuhannya itu adalah sahabatnya.

Walaupun telah sadar berselingkuh, dia berkomitmen kepada dirinya sendiri untuk utuh dan total menjalankan kewajibannya sebagai istri dan ibu, hak suami dan anak-anaknya akan dipenuhi tanpa lalai, waktunya bersama selingkuhannya adalah waktu di luar waktunya bersama keluarganya, ketika bersama dengan keluarga dia hanya fokus kepada keluarganya, dan dia menutupi hubungan itu dengan sangat rapi dan penuh rahasia karena dia sadar jika dia lalai dan rahasia ini terbongkar akan banyak hati yang tersakiti. Dia hanya ingin membahagiakan hatinya dan sedikit keluar dari semua himpitan kewajiban sebagai ibu rumah tangga. Selingkuhannya pun tampak bertanggung jawab dan terlihat sangat ingin membahagiakan dirinya.

Dengan semua batasan tersebut dan dengan tidak ada satu pihak pun yang dirugikan, aspek moral mana yang dia langgar?

Sejauh mana manusia mampu konsisten dengan moral yang ditetapkannya sendiri?

Berkaitan dengan konsistensi ini, kita tampaknya harus skeptis, waspada, dan curiga dengan diri kita sendiri. Menurut Freud, manusia adalah tempat pertarungan Id, Ego, dan Superego. Sedangkan Jung menarasikan manusia sebagai medan pertarungan antara arketipe Persona, Shadow, Anima, dan Self. Tasawuf memandang ini sebagai tarik menarik antara nafsu, akal, dan basyirah. Psikis manusia senantiasa berosilasi terhuyung-huyung dari satu kutub ke kutub lainnya seperti three body problem dalam fisika. Semua model pertentangan ini mengindikasikan bahwa manusia hampir pasti mengkhianati dirinya sendiri.

Moral Disiplin vs Moral Cerdas

Negara-negara dengan tingkat perekonomian tinggi biasanya penduduknya memiliki disiplin yang tinggi. Mereka mampu mendidik penduduknya untuk disiplin.

Dalam hal traffic light misalnya, mereka tertib berhenti ketika lampu merah. Tidak ada yang menyerobot. Karena itu memang berisiko menimbulkan kecelakaan. Tapi seperti hal banyak tindakan disiplin, itu tidak kreatif dan tidak juga cerdas sih.

Jika kondisi jalanan sepi, sedangkan traffic light tidak diprogram secara cerdas dengan AI, maka adalah cerdas jika menerabas lampu merah. Ini cerdas karena ada situasi, kesempatan, dan kebutuhan untuk itu.

Lebih cerdas lagi, dalam keadaan lalu lintas padat pun, jika ada kesempatan sepersekian detik untuk menerabas lampu merah, ya terabas aja. Ini cerdas karena untuk bisa begitu harus cermat perhitungannya, memilki kemahiran tingkat tinggi, dan tidak mendatangkan dampak negatif dan resiko real pada orang lain.

Di Jepang kursi prioritas dalam kereta tetap dibiarkan kosong sekalipun kereta dalam kondisi sesak padat penumpang. Ini disiplin, tapi tidak cukup cerdas. Jika kondisi kereta sesak padat, sementara penumpang prioritas tidak ada, maka kursi prioritas ya dipakai saja. Nanti jika ada penumpang prioritas, ya penumpang yang mendudukinya harus memberikan kepada yang berhak. Cerdas kan. Cerdas karena ada kebutuhan untuk itu, dan hak orang yang berhak tetap diberikan.

Jika pernikahan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan seks, bukankah lebih cerdas jika kebutuhan itu dipenuhi tanpa ikatan dan tanggung jawab, sebab yang dibutuhkan kan cuma persetujuan dan kesepakatan pihak-pihak?

Jika seks adalah juga kebutuhan primer sama dengan bernapas, makan, dan minum, maka bukankah lebih cerdas jika pemenuhannya bisa dicapai dengan beragam cara sesuai selera?

Jika seks tidak bisa dipuaskan di dalam rumah, bukankah wajar jika bisa leluasa dipenuhi di luar rumah?

Jika berganti menu makanan dan minuman serta cara bernapas adalah hal yang lumrah, bukankah seharusnya berganti pasangan seks dan berganti orientasi seks seharusnya juga semudah itu?

Jika perselingkuhan selalu berujung dengan kemarahan dan pembunuhan, bukankah lebih cerdas jika perselingkuhan dilakukan dengan persetujuan dan komitmen sehingga satu sama lain saling tau, saling terbuka, tidak ada yang ditutupi, dan tidak ada yang merasa dikhianati?

Bukankah lebih cerdas jika perselingkuhan itu dibenarkan selama tidak ada hak para pihak yang terabaikan di mana semua kewajiban dipenuhi secara sempurna?

Bukankah lebih cerdas jika perselingkuhan dibiarkan memjadi rahasia selamanya dengan menyediakan untuk itu semua alat, perangkat, dan fasilitas yang memungkinkan semua itu tetap rahasia dan aman dirahasiakan?

Jika semua solusi cerdas itu dianggap bagian dari moral, apakah akan disandarkan kepada moral pribadi? Kepada konsensus moral? Kepada otoritas moral? Kepada hagemoni moral? Kepada moral agama? Kepada moral spiritual yang tunggal?

Mati Dikeroyok Massa

Seorang pemuda bermotor menyerobot lampu merah. Aman sih, secara tidak celaka dan tidak mencelakakan. Tapi tak urung beberapa orang dibuat kaget dan geram. Seseorang membunyikan klakson mobil, satu orang lainnya berteriak mengumpat. Pemuda bermotor itu menoleh ke belakang, menjulurkan lidah, dan bertingkah provokatif. Beberapa orang yang melihat kejadian itu marah dan mengejar Pemuda tersebut. Salah seorang di antaranya meneriakinya rampok. Massa yang mendengar teriakan itu memaksa memberhentikan motor pemuda itu. Pemuda itu jatuh dari motor, dikeroyok massa, dan mati.

Seseorang mungkin menetapkan standar moral pribadinya sendiri, tapi jika itu tidak diterima oleh moral sosial, habislah dia.

Hadiahnya HIV

10 tahun tertutup rapat, seorang guru berselingkuh dengan orang tua salah satu muridnya. Selama berhubungan itu dia mendapatkan banyak kenikmatan materi, biologis, dan psikis. Sebulan yang lalu selingkuhannya itu mati karena HIV. HIV itu ditularkan juga kepada guru itu. Saat ini guru itu sedang bingung menjelaskan kepada keluarganya perihal asal HIV tersebut.

Kita mungkin saja punya banyak sekali manuver cerdas tentang seks dan pernikahan, tapi PMS terutama AIDS selalu mengintai.

Spektrum Kegelapan Moral

Sudahkah tampak oleh kita sejauh ini bahwa solusi-solusi cerdas seperti disebutkan barusan berpotensi melahirkan konsekuensi moral yang lebih berat? Sehingga akhirnya melahirkan masalah moral yang rumit, ruwet, dan tak berujung. Suatu konsekuensi moral yang melibatkan semua skala kehidupan dari skala pribadi, sampai ke skala sosial, skala institusional, dan bahkan skala peradaban.

Satu pelanggaran moral berpotensi melahirkan banyak konsekuensi dan masalah moral yang baru. Ini menjadi semacam kegelapan di bawah kegelapan, kegelapan yang bertubi-tubi dan berlapis-lapis sehingga membentuk spektrum kegelapan yang gradasinya semakin pekat. Kasus dalam Pendahuluan adalah salah satu contohnya.

Multilayer Ethic Conscious

Sejauh ini kita berhasil mengidentifikasi 4 lapisan kesadaran moral yaitu individual moral, konsensus moral, otoritas moral, dan hagemoni moral. Individual moral terletak di lapisan paling bawah, lalu disusul dengan konsensus moral, otoritas moral, dan hagemoni moral. Urutan ini juga menunjukkan tingkat ketundukan. Lapisan bawah tunduk kepada lapisan di atasnya.

Individual moral berada dalam skala individu, konsensus moral berada pada skala sosial, otoritas moral ada di skala institusi, dan hagemoni moral terletak di skala peradaban.

Lapisan-lapisan ini bukan saja berkorelasi saling menguatkan, tapi juga saling bertentangan dan saling mengkhianati. Belum lagi setiap lapisan pun akan punya kecenderungan untuk mengkhianati dirinya sendiri.

Tidak seperti spektrum cahaya gelombang elektromagnetik yang masing-masing tertib berada dalam frekuensi dan panjang gelombang tertentu, spektrum moral bisa saling berkelidan, berbaur, dan menyatu, serta bahkan terpisah dalam rentang yang jauh.

Tentu kemanusiaan kita akan terkoyak-koyak dengan bangunan moral seperti ini. Kita butuh standar moral yang bukan saja ajeg tapi juga memperkuat human flourising kita.

Jika tidak bisa bersandar kepada salah satu dari keempat layer moral tersebut, kemana kita melemparkan jangkar moral kita?

Kita jelas sekali membutuhkan satu lapisan moral lagi. Saya mengusulkan suatu lapisan moral Tuhan.

Tapi Tuhan yang mana di antara sekian banyak tuhan itu yang layak dipertuhankan? Mana Tuhan yang benar-benar tuhan?

Di antara tuhan-tuhan yang ada itu tampaknya sebagian besar adalah tuhan-tuhan palsu, ataupun sesuatu yang dipertuhan dan dianggap tuhan walaupun dia bukan tuhan serta tidak pernah pula mengklaim dirinya sebagai tuhan.

Maka jalan yang akan kita tempuh selanjutnya adalah menemukan tuhan yang asli. Tuhan yang sebenar-benarnya Tuhan.

Istafti Qolbak

Di dalam diri manusia ada inner voice yang selalu mengatakan bahwa ini benar itu salah, ini baik itu buruk, dan ini layak itu tidak layak. Dia mengatakannya begitu saja seperti celoteh anak kecil. Dia tidak mengatakan alasannya, dan tidak pula menjelaskan konsekuensinya. Dia bukan tempat untuk menimbang-nimbang, ataupun membanding-bandingkan, dan bukan pula untuk mengukur-ukur. Menimbang, membandingkan, dan membuat ukuran adalah fungsi akal.

Dia, inner voice ini, tidak bisa dimanipulasi, diajak membangun alibi, dan berbohong dengan mendirikan ilusi.

Karena itu, istafti qolbak. Mintalah fatwa kepada hatimu.

Moral pribadi yang dibangun dari konsep ini dibenarkan. Bersifat pribadi memang, tapi tidak nisbi dan tidak bisa dipalsukan.

Dalam narasi tasawuf, inner voice seperti ini disebut sebagai basyirah.

Jika inner voice didengar oleh akal, muncullah konsep maqosid syariah dan moral berbasis dampak dan well being.

Maqosid Syariah

Syariah tidak dibangun di atas angan-angan untuk menyelesaikan masalah-masalah imajiner dan penuh ilusi. Dia hadir untuk memenuhi kebutuhan manusia akan panduan moral dan kepastian moral tanpa pengkhianatan sehingga dengan itu manusia bisa mencapai well being yang tertinggi.

Bagaimana Narasi Sains Dibangun

100 titik membentuk struktur kristal 10x10. Jika kita menghubungkan titik-titik yang ada secara arbiter dengan pensil, maka cara kita menghubungkan titik-titik itu atau urutan titik-titik yang berbeda akan menghasilkan gambar akhir yang berbeda. Gambar akhir yang jujur dan valid seharusnya mampu menghubungkan semua 100 titik yang ada. Bukan malah memilah-milah titik-titik itu sesuka hati.

Ini adalah analogi bahwa cara kita merangkai fakta-fakta dan temuan-temuan sains akan menentukan narasi yang dihasilkan. Walaupun fakta-faktanya sama, jika urutan-urutannya berbeda, maka narasi yang dihasilkan juga akan berbeda.

Belum lagi kita pun cenderung memilah fakta sains yang relevan dengan narasi kita, ketimbang menghubungkan semua fakta sains yang ada agar bisa merekonstruksi secara utuh. Seperti sinetron, narasi sains yang berkembang sering lebih bersifat sensasional ketimbang valid. Cuma mengarah serunya aja. Ini tak jarang membuat kita meringis.

Inilah yang dilakukan para populis sains. Cara mereka membawakan narasi sains sungguh luar biasa menarik.

Kita setuju bahwa dalam beberapa hal fakta-fakta sains tidak dapat ditampung oleh silogisme sederhana a maka b dan b maka c, sehingga a maka c, tapi mengabaikan derajat regresi korelasi antara variabel-variabel yang ada sungguh sikap pengabaian yang mencederai sains itu sendiri.

Bagaimana para populis sains seperti Yuval Noah Hariri, Sam Haris, Ricard Dawkins, dan Jim Al Khalili membawakan narasi sains memang sangat luar biasa. Dalam narasi mereka masing-masing rekayasa genom seperti CRISPR, fisika partikel, AI, dan Click Chemistry seperti tongkat Harry Potter, dengan sekali kibas semuanya terhubung dan terjadi.

Padahal dengan fakta-fakta sains yang sama dengan yang mereka uraikan, kita bisa membentuk narasi yang berbeda.

Evolusi Homo Sapiens

100 tahun kemajuan teknologi homo sapiens di abad 20 dan 21 ini dengan semangat narasi megaloman dapat dikatakan lebih maju daripada kemajuan teknologi selama 10 ribu tahun sejarah peradaban homo sapiens sejak peradaban Mesopotamia muncul.

10 ribu tahun umur peradaban homo sapiens itu jauh lebih maju daripada 100 ribu tahun sejak kemunculan homo sapiens di Afrika.

100 ribu tahun kemajuan kehidupan homo sapiens itu jauh lebih berkembang daripada 700 ribu tahun sejak munculnya homo heidelbergensis, spesies hominin yang dianggap sebagai nenek moyang langsung homo sapiens dan homo neanderthal.

Walaupun waktu eksistensi homo sapiens dan homo neanderthal serta homo denisovan bersinggungan sehingga memungkinkan persilangan genom, saat ini dipastikan tidak ada satu pun individu pure blood neanderthal dan denisovan. Kemunculan homo sapiens telah memunahkan semua spesies homo.

Perkembangan morfologi dan anatomi homo sapiens bisa dengan mudah di-tracking ke 7 juta tahun lalu sejak munculnya homo erectus yang bipedal.

Tapi perkembangan fungsional organ terutama organ gerak kaki dan tangan, intelegensi, dan kesadaran tidak mudah dijelaskan oleh pemahaman evolusi. Untuk ketiga aspek ini yaitu fungsionalitas organ, intelegensi, dan kesadaran terbentuk secara revolusi dengan kecepatan perkembangan yang eksponensial.

Fungsionalitas tangan dan kaki homo sapiens telah mampu bukan saja memegang dan menggenggam, tapi juga mencakar, menjambak, memukul, meninju, melempar, membanting, menendang, berlari, berenang, memanjat, bergelantungan, flagging, merangkak, ngesot, nongkrong, memiting, mendorong, menarik, menahan, menangkap, memeluk, meremas, menangkis, menampar, loncat, lompat, jingjit, mengaduk, memotong, menggunting, mengelus, dan membuat alat yang semua itu terhubung dengan paru-paru, jantung, pencernaan, sekresi, dan otak yang memengaruhi well being fisik dan well being psikis.

Semua ini membuat manusia tampak seperti evolusi konvergen dari hampir semua binatang yang ada. Luar biasanya ini berlangsung bukan melalui proses evolusi, tapi proses revolusi.

Revolusi fungsionalitas organ ini tidak bisa secara langsung dihubungkan kepada spesies manapun. Walaupun secara genetik genom homo sapiens bukan saja mirip dengan simpanse atau bonobo, tapi juga dengan tikus, babi, dan anjing.

Hasil dari fungsionalitas organ ini kita lihat sampai detik ini tidak ada satupun species yang mampu bermain sepakbola secantik homo sapiens dan semampu manusia dalam membangun infrastruktur peradaban yang memungkinkan sepakbola menjadi permainan yang mendunia.

Revolusi intelektualitas dan kesadaran homo sapiens yang tampak secara material pada produk peradaban seperti filsafat, sains, dan teknologi tidak bisa dihubungkan kepada spesies manapun termasuk kepada sepupu terdekatnya yaitu homo neanderthal dan homo denisovan.

Dengan begitu, menjadi rasional jika kita membangun narasi bahwa homo sapiens muncul secara tiba-tiba di dalam kosmos.

Jika sains tidak dapat menyebutkan individu homo sapiens pertama di Bumi, maka Al Qur'an menyebutkan nama Adam dan Hawa.

Jika fungsionalitas organ, intelektualitas, dan kesadaran berkembang secara revolusioner eksponensial, maka moral pun berkembang dengan cara yang sama. Sehingga moral homo sapiens tidak bisa dihubungkan dengan moral spesies manapun. Terlebih kita harus mampu menjawab sejak kapan individual moral muncul dan siapa individu pertama yang menyadari dan merumuskan individual moral tersebut.

Dari sini kita akan membangun narasi moral kita.

Pengajaran Tuhan

Allah tau betul bahwa untuk menghasilkan output tinggi berupa fungsionalitas organ, intelegensi, dan kesadaran yang menjadi fokus penting adalah ekspresi gen pada level genom, struktur neuron pada level neuroscience, dan fleksibilitas otot serta tulang. Sehingga kita dapati dari sisi genom dan lokus otak yang berperan, kita hampir mirip dengan neanderthal, simpanse, bonobo, tikus, babi, dan anjing. Ukuran otak manusia pun tidak perlu sebesar sepupu evolusinya yaitu homo neanderthal. Dari level morfologi dan anatomi, manusia lebih mirip dengan gorilla dan orang utan. Perbedaan-perbedaan kecil ini yang justru menghasilkan output fungsionalitas organ dan produk-produk peradaban yang tinggi, menjadi bukti eksistensi manusia bukan dihasilkan dari proses evolusi. Belum lagi prosesnya yang sangat singkat yang merupakan lompatan waktu yang sangat singkat dan cepat jika dibandingkan dengan waktu evolusi. Walaupun begitu, Allah tetap merasa perlu memperhalus banyak detail fisik tubuh manusia sehingga terlihat jauh lebih indah dari pada saudara homo dan saudara primatanya. Allah proklamirkan ini dalam *QS. 95:4* yaitu Kami ciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.

Setelah semua perangkat genetik, neuroscience, dan organ matang dan siap, barulah Allah memulai pengajaran kepada manusia.

Bentuk pengajaran Allah seperti dalam QS. 2:31 kepada Adam, untuk pandai bicara QS. 55:4, dan untuk pandai membaca QS. Al 96:4-5, meninggalkan jejak berupa kemiripan yang universal di antara bahasa-bahasa di dunia dalam struktur dan konsep  sintaksis, semantik, fonologi, morfologi, pragmatik, sosio-linguistik, leksikal, wacana, antropologi linguistik, dan psiko linguistik. Evolusi bahasa memungkinkan kita menemukan jejak semua ini.

Semua kemampuan berbahasa lisan dan tulisan ini untuk apa Allah ajarkan kepada manusia? Rupanya Allah ingin mengajarkan konsepsi moral kepada manusia.

Bentuk konsepsi moral seperti misalnya dalam *QS. 21:90* berbekas dan tercetak dalam konsep keadilan, konsep sosial, konsep budaya, konsep kosmologi, dan konsep spritual yang semua ini bisa dengan mudah dijelaskan dengan konsep Arketipe Jung dan konsep AQAL Ken Wilber.

Potensi manusia untuk mengkhianati moral, bahkan sejak Adam, baik dalam level individual moral maupun level konsensus moral, otoritas moral dan hagemoni moral jelas menuntut ditegakkannya suatu konsekuensi moral. Berkaitan dengan itu Al Qur'an menjelaskannya dalam QS. 95:5-6 dan QS. 99:7-8

Manusia tidak bisa terlalu diandalkan untuk menegakkan konsekuensi moral secara adil dan beradab, sehingga hanya Allah saja yang berhak untuk itu. QS. 95:8 menegaskan hal ini.

Lelah

Sejumlah orang sudah lelah dengan banyak sekali sumber moral yang bukan saja saling bertentangan, tapi juga saling bersaing memperebutkan pengaruh dan jumlah pengikut.

Mereka butuh panduan moral yang instan, ajeg, dan aplikatif, yang bisa dipakai untuk bersikap, berbuat dan mengambil keputusan sehari-hari.

Jika hidup dihadapkan kepada banyak sekali tujuan, target, tugas, dan kebutuhan, kita bisa melakukan dua hal. Pertama, dengan sama sekali mengabaikan moral. Kedua, mengadopsi moral yang bisa dijadikan panduan aplikatif tanpa perlu banyak pikir dan pertimbangan, dan bisa diprogram di dalam pikiran sebagai hal yang otonom.

Jalan Menuju Moral Tunggal

Manusia tidak bisa menghindari moral dan konsekuensi moral. Tapi dalam perjalanannya membentuk moral dari individual moral pada skala individu, konsensus moral dalam skala sosial, otoritas moral dalam skala institusi, dan hagemoni moral dalam skala peradaban dipenuhi dengan pengkhianatan demi pengkhianatan. Padahal manusia butuh panduan moral yang sinkron satu sama lain, yang ajeg, yang aplikatif, dan egaliter. Tanpa itu, tujuan moral untuk mencapai well being tertinggi  yang berkeadilan dan egaliter di mana keselamatan jiwa, keturunan, harta, akal, dan agamanya terjamin akan menjadi utopia belaka.

Manusia tidak bisa menyerahkan konsepsi tentang moral kepada manusia lainnya untuk kemudian bertindak atas nama mereka dan berkuasa atas mereka. Konsepsi moral harus diarahkan kepada Tuhan.

Hanya saja saja dari sekian banyak tuhan dan agama harus ditemukan dan ditentukan satu tuhan dan satu agama saja yang menjadi landasan semua konsepsi dan aplikasi moral manusia.

Jika suatu Tuhan Tunggal dan agama tunggal telah ditemukan dan ditetapkan, maka satu kesatuan moral tunggal bisa dicapai.

Bukan hanya moral, tapi segala sesuatu dan segala konsepsi kita tentang kebenaran tampaknya juga mengarah kepada satu kebenaran tunggal.

Tesis versus antitesis juga akhirnya mengarah kepada sintesis. Sintesis-sintesis yang ada akan dirumuskan menjadi satu kesatuan padu sintesis tunggal, entah melalui konsensus, otoritas, maupun hagemoni.

Kesatuan moral tunggal juga menemukan momentumnya bercermin pada fakta dan pengalaman bahwa applied ethic dalam skala pribadi akan banyak tergantung kepada kapasitas pribadi terutama akses dia kepada informasi, pengetahuan, kemampuan bersikap kritis, dan kepekaan nurani.  Singkatnya, kapasitas pribadi ini akan menghadirkan perspektif moral pribadi. Karena kapasitas setiap orang berbeda-beda, maka persepektif moral setiap orang juga akan berbeda. Perspektif moral pribadi yang berbeda-beda itu tidak bisa menghindari konflik moral.

Konflik moral ini akhirnya membutuhkan standar moral bersama. Moral bersama yang dimaksud bisa didasarkan konsensus, hagemoni, ataupun otoritas. Tiga hal inilah yang akhirnya menyatukan semua konsepsi dan perspektif moral yang ada.

Ujung akhir dari semua itu, manusia akhirnya harus bukan saja membentuk kesatuan moral tunggal, tapi satu kesatuan kebenaran tunggal.

Moral akhirnya tidak bisa diserahkan kepada pribadi-pribadi, moral justru bertemu dan menemukan dampak well being yang luas ketika tunduk pada konsensus, otoritas, dan hagemoni.

Persinggungan

Pendekatan konsepsi moral berbasis sains terutama neuroscience bertujuan mencapai tingkat well being tertinggi. Ada persinggungan di sini dengan konsep maqasid syariah.

Kita lihat konsep well being yang bersinggungan dengan konsep maqasid syariah itu dari parameternya masing-masing.

Konsep maqasid syariah dalam fiqh Islam mencakup lima parameter yaitu keselamatan jiwa, keturunan, akal, harta, dan agama. Sementara parameter well being adalah kesehatan fisik, kesehatan mental, emosi positif, hubungan sosial, stabilitas ekonomi, kenikmatan hidup, pertumbuhan pribadi, kemandirian, kontrol lingkungan, dan resilience. Kita melihat keduanya memiliki semangat dan maksud yang sama hanya berbeda dalam istilah saja.

Walaupun begitu, syariah mengenal skala otoritas moral dan skala hagemoni moral. Moral perihal ketetapan halal dan haram adalah otoritas Allah, dan sepenuhnya hagemoni Allah. Dalam skala ini moral sifatnya ajeg. Semua yang halal pasti memperkuat well being dan segala yang haram pasti melemahkan well being. Inilah aksioma dalam skala halal dan haram.

Lalu ada moral dalam skala fiqh. Moral dalam skala fiqh boleh berubah tergantung pertimbangan kebutuhan dan manfaatnya kepada jiwa, keturunan, akal, harta, dan agama. Dalam perspektif skala fiqh ini moral juga bisa berbeda-beda.

Jadi terlihatlah bahwa konsep well being adalah penjabaran detail dari konsep maqasid syariah. Maka dengan begitu, sumber moral satu-satunya ya agama.

Kesimpulannya, jika moral berbasis sains bertujuan mencapai tingkat well being tertinggi, sedangkan parameter well being setara dengan parameter maqasid syariah, maka sains justru telah membantu kita memahami dan memperkuat kedudukan moral berbasis agama.

Syariah dan Neuroscience

Sains khususnya neuroscience telah membantu kita dalam memahami hikmah dan pelajaran dari moral yang ditetapkan Allah dalam maqam halal haram, dan memberi kita  pengetahuan tentang needs, purpose, dan utility di balik moral dari setiap putusan perkara moral yang melibatkan maqasid syariah.

Contoh aplikatif dari penggunaan neuroscience dalam memahami syariah dam maqasid syariah ada pada ceramah-ceramah Aisyah Dahlan dan Kurikulum Pendidikan pada Sekolah Al Falah Jakarta.

Ethics dan Free Will 

Ethics yang basisnya free will berasumsi manusia memiliki individual moral yang luas. Dalam pemahaman yang ekstrim berarti individual moral yang tidak harus tunduk kepada konsensus moral, otoritas moral, maupun hegemoni moral sepanjang tidak mengganggu well being siapapun.

Free will yang sebenarnya free will tidak ada. Seorang individu secara internal individual terikat dengan masa lalunya, kemampuan mentalnya, dan dorongan psikologisnya. Sedangkan secara eksternal individual terikat oleh tubuhnya dan kebutuhan jasmaninya. Pada sisi internal kolektif terikat pada budaya, sedangkan secara eksternal kolektif terikat pada struktur sosial, organisasi, dan negara.

Individual moral yang didasarkan kepada free will akhirnya menjadi utopia. Di samping karena free will itu tidak ada, juga karena individual moral tunduk kepada lapisan moral di atasnya.

Konsep kebutuhan dalam applied ethics oleh orang-orang ini sering ditafsirkan sebagai kepentingan, terutama kepentingan dalam skala pribadi. Begitu juga konsep well being ditafsirkan sebagai well being pribadi dia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun