Sejauh mana manusia mampu konsisten dengan moral yang ditetapkannya sendiri?
Berkaitan dengan konsistensi ini, kita tampaknya harus skeptis, waspada, dan curiga dengan diri kita sendiri. Menurut Freud, manusia adalah tempat pertarungan Id, Ego, dan Superego. Sedangkan Jung menarasikan manusia sebagai medan pertarungan antara arketipe Persona, Shadow, Anima, dan Self. Tasawuf memandang ini sebagai tarik menarik antara nafsu, akal, dan basyirah. Psikis manusia senantiasa berosilasi terhuyung-huyung dari satu kutub ke kutub lainnya seperti three body problem dalam fisika. Semua model pertentangan ini mengindikasikan bahwa manusia hampir pasti mengkhianati dirinya sendiri.
Moral Disiplin vs Moral Cerdas
Negara-negara dengan tingkat perekonomian tinggi biasanya penduduknya memiliki disiplin yang tinggi. Mereka mampu mendidik penduduknya untuk disiplin.
Dalam hal traffic light misalnya, mereka tertib berhenti ketika lampu merah. Tidak ada yang menyerobot. Karena itu memang berisiko menimbulkan kecelakaan. Tapi seperti hal banyak tindakan disiplin, itu tidak kreatif dan tidak juga cerdas sih.
Jika kondisi jalanan sepi, sedangkan traffic light tidak diprogram secara cerdas dengan AI, maka adalah cerdas jika menerabas lampu merah. Ini cerdas karena ada situasi, kesempatan, dan kebutuhan untuk itu.
Lebih cerdas lagi, dalam keadaan lalu lintas padat pun, jika ada kesempatan sepersekian detik untuk menerabas lampu merah, ya terabas aja. Ini cerdas karena untuk bisa begitu harus cermat perhitungannya, memilki kemahiran tingkat tinggi, dan tidak mendatangkan dampak negatif dan resiko real pada orang lain.
Di Jepang kursi prioritas dalam kereta tetap dibiarkan kosong sekalipun kereta dalam kondisi sesak padat penumpang. Ini disiplin, tapi tidak cukup cerdas. Jika kondisi kereta sesak padat, sementara penumpang prioritas tidak ada, maka kursi prioritas ya dipakai saja. Nanti jika ada penumpang prioritas, ya penumpang yang mendudukinya harus memberikan kepada yang berhak. Cerdas kan. Cerdas karena ada kebutuhan untuk itu, dan hak orang yang berhak tetap diberikan.
Jika pernikahan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan seks, bukankah lebih cerdas jika kebutuhan itu dipenuhi tanpa ikatan dan tanggung jawab, sebab yang dibutuhkan kan cuma persetujuan dan kesepakatan pihak-pihak?
Jika seks adalah juga kebutuhan primer sama dengan bernapas, makan, dan minum, maka bukankah lebih cerdas jika pemenuhannya bisa dicapai dengan beragam cara sesuai selera?
Jika seks tidak bisa dipuaskan di dalam rumah, bukankah wajar jika bisa leluasa dipenuhi di luar rumah?