Mohon tunggu...
Asep Setiawan
Asep Setiawan Mohon Tunggu... Akuntan - Membahasakan fantasi. Menulis untuk membentuk revolusi. Dedicated to the rebels.

Nalar, Nurani, Nyali. Curious, Critical, Rebellious. Mindset, Mindmap, Mindful

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Applied Ethic : Menggugat Praktek Moral Kita

27 April 2024   21:13 Diperbarui: 3 Mei 2024   11:48 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Apakah dengan begitu hagemoni AS layak terus dipertahankan atau dibiarkan saja?

Tapi jika sikap AS terhadap Palestina dianggap bermasalah moral oleh terutama RRC dan Rusia. AS paling cuma nyengir aja. RRC mempunyai masalah HAM di Xin Jiang dan Rusia pun bermasalah telah mencaplok Ukraina. Resolusi yang berkaitan dengan Xin Jiang akan diveto oleh RRC, dan resolusi yang berkaitan dengan Ukraina jika ada sangat mungkin akan diveto Rusia.

Lantas kepada siapa seharusnya kita berkiblat tentang HAM, demokrasi, pasar bebas, dan globalisasi? Bagaimana moral yang dibesarkan oleh hagemoni akan mencapai keadilan dan ketinggian martabat manusia? Apakah kita harus terus tunduk kepada hagemoni moral? Hagemoni moral yang berbasis kepentingan masihkah bisa dikatakan bermoral?

Bermoralkah jika sejumlah negara berupaya menumbangkan hagemoni AS? Bermoralkah jika itu merusak tatanan dunia yang ada? Bermoralkan jika jalannya adalah dengan melalui perang nuklir?

Otoritas Moral

Senin 22 April 2024 Mahkamah Konstitusi membuat putusan menolak seluruh permohonan Pemohon 1 dan Pemohon 2 dalam PHPU 2024 dengan 3 Hakim mengambil posisi dissenting opinion yaitu Sadli Isra, Eny Nurbaningsih, dan Arief Hidayat. Seharusnya komposisi hakim yang mengabulkan dan yang menolak adalah 4 banding 4. Tapi di luar dugaan Hakim Suhartoyo ternyata mengambil keputusan untuk menolak. Padahal sebelumnya pada Putusan MK yang membahas aturan umur minimal Capres-cawapres, Hakim Suharyanto berada dalam posisi dissenting opinion. Jika saja Hakim Suhartoyo tetap pada sikapnya yaitu pada posisi dissenting opinion seperti pada keputusan MK no. 90, maka bisa jadi permohonan pada PHPU tersebut bisa dikabulkan.

Hal ini membawa persoalan moral tentang bagaimana seorang hakim bisa berubah sikap untuk dua perkara yang mirip dan berhubungan tersebut. Inkonsistensi seperti ini berlandaskan kepada moral yang mana?

Jika pun inkonsistensi dianggap cacat moral dalam kasus ini, maka inkonsistensi Hakim Eny Nurbaningsih pun bermasalah. Sebelumnya dia menyetujui putusan MK yang meloloskan Gibran.

Tapi bagaimanapun putusan MK bersifat final dan mengikat. Ini menjadi contoh tentang otoritas moral yang bisa memaksakan suatu moral tertentu menjadi berlaku.

Tapi ini membuat kita penasaran bertanya-tanya, jika otoritas moral melukai rasa keadilan kita, bolehkan kita menumbangkan otoritas moral tersebut? Apakah tindakan seperti itu perlu semacam landasan moral juga?

Konsensus Moral

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun