Jika hidup dihadapkan kepada banyak sekali tujuan, target, tugas, dan kebutuhan, kita bisa melakukan dua hal. Pertama, dengan sama sekali mengabaikan moral. Kedua, mengadopsi moral yang bisa dijadikan panduan aplikatif tanpa perlu banyak pikir dan pertimbangan, dan bisa diprogram di dalam pikiran sebagai hal yang otonom.
Jalan Menuju Moral Tunggal
Manusia tidak bisa menghindari moral dan konsekuensi moral. Tapi dalam perjalanannya membentuk moral dari individual moral pada skala individu, konsensus moral dalam skala sosial, otoritas moral dalam skala institusi, dan hagemoni moral dalam skala peradaban dipenuhi dengan pengkhianatan demi pengkhianatan. Padahal manusia butuh panduan moral yang sinkron satu sama lain, yang ajeg, yang aplikatif, dan egaliter. Tanpa itu, tujuan moral untuk mencapai well being tertinggi  yang berkeadilan dan egaliter di mana keselamatan jiwa, keturunan, harta, akal, dan agamanya terjamin akan menjadi utopia belaka.
Manusia tidak bisa menyerahkan konsepsi tentang moral kepada manusia lainnya untuk kemudian bertindak atas nama mereka dan berkuasa atas mereka. Konsepsi moral harus diarahkan kepada Tuhan.
Hanya saja saja dari sekian banyak tuhan dan agama harus ditemukan dan ditentukan satu tuhan dan satu agama saja yang menjadi landasan semua konsepsi dan aplikasi moral manusia.
Jika suatu Tuhan Tunggal dan agama tunggal telah ditemukan dan ditetapkan, maka satu kesatuan moral tunggal bisa dicapai.
Bukan hanya moral, tapi segala sesuatu dan segala konsepsi kita tentang kebenaran tampaknya juga mengarah kepada satu kebenaran tunggal.
Tesis versus antitesis juga akhirnya mengarah kepada sintesis. Sintesis-sintesis yang ada akan dirumuskan menjadi satu kesatuan padu sintesis tunggal, entah melalui konsensus, otoritas, maupun hagemoni.
Kesatuan moral tunggal juga menemukan momentumnya bercermin pada fakta dan pengalaman bahwa applied ethic dalam skala pribadi akan banyak tergantung kepada kapasitas pribadi terutama akses dia kepada informasi, pengetahuan, kemampuan bersikap kritis, dan kepekaan nurani. Â Singkatnya, kapasitas pribadi ini akan menghadirkan perspektif moral pribadi. Karena kapasitas setiap orang berbeda-beda, maka persepektif moral setiap orang juga akan berbeda. Perspektif moral pribadi yang berbeda-beda itu tidak bisa menghindari konflik moral.
Konflik moral ini akhirnya membutuhkan standar moral bersama. Moral bersama yang dimaksud bisa didasarkan konsensus, hagemoni, ataupun otoritas. Tiga hal inilah yang akhirnya menyatukan semua konsepsi dan perspektif moral yang ada.
Ujung akhir dari semua itu, manusia akhirnya harus bukan saja membentuk kesatuan moral tunggal, tapi satu kesatuan kebenaran tunggal.
Moral akhirnya tidak bisa diserahkan kepada pribadi-pribadi, moral justru bertemu dan menemukan dampak well being yang luas ketika tunduk pada konsensus, otoritas, dan hagemoni.