Mohon tunggu...
Asep Setiawan
Asep Setiawan Mohon Tunggu... Akuntan - Membahasakan fantasi. Menulis untuk membentuk revolusi. Dedicated to the rebels.

Nalar, Nurani, Nyali. Curious, Critical, Rebellious. Mindset, Mindmap, Mindful

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Amien Rais Syndrome, Jokowi Paradigm, dan Prabowo Ways dalam Masyarakat Baperan

4 November 2023   06:12 Diperbarui: 15 Februari 2024   04:31 551
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sindrom Amien Rais, Paradigma Jokowi, dan
Prabowo Ways dalam Masyarakat Baperan

Paradigma Jokowi

Ketika benak rakyat berjejal sesak dipenuhi oleh persepsi tentang pejabat yang menjaga jarak dengan rakyat dan menuntut untuk dilayani serta diperlakukan istimewa oleh rakyat, muncullah sosok dengan wajah ndeso, penampilan low profile, dan sikapnya yang merakyat serta melayani. Dia gemar blusukan ke pasar-pasar becek, bahkan rela masuk gorong-gorong. Rakyat menyambut kemunculan tokoh ini dengan gempita. Dengan paradigma ini yaitu ndeso, sederhana, low profile, dan merakyat inilah tokoh ini memenangkan Pilpres 2014 dan Pilpres 2019. Rakyat mengenal dia sebagai Jokowi.

Sementara lawannya di Pilpres yang sama dikenal sebagai sosok yang bertabur bintang dan berasal dari kalangan orang berada. Rakyat mengenal Prabowo adalah "orang besar" dan "bukan dari kalangan kita". Dengan latar belakang itu Prabowo malah menambah sesak persepsi rakyat. Rakyat butuh menyegarkan persepsi mereka. Alhasil pada kedua Pilpres itu Prabowo kalah dari Jokowi.

Sindrom Amien Rais

Dalam pergaulan kita sering mendengar istilah "pacaran sama siapa, kawinnya sama siapa" untuk fenomena pacaran yang gagal dibawa sampai jenjang pernikahan. Ini mirip-mirip dengan istilah "Amien Rais Sindrom".

Istilah sindrom Amien Rais dilatarbelakangi oleh kasus popularitas Amien Rais sebagai tokoh politik dan salah satu penggerak reformasi 1998 yang gagal memanfaaatkan ketokohannya untuk mendongkrak perolehan suara di Pilpres.

Perolehan suara Amien Rais di Pilpres 2004 yang cuma berada di urutan 4 dan kekalahan Prabowo pada Pilpres 2019 sungguh di luar dugaan. Pasalnya baik Amien Rais maupun Prabowo merupakan tokoh yang mampu menciptakan kerumunan orang yang sangat besar. Tapi apa daya kerumunan besar itu tidak bisa dikonversi ke perolehan suara. Euforia di panggung dan lapangan tidak bisa dibawa ke bilik suara. Inilah yang kemudian melahirkan istilah Amien Rais Sindrom dalam narasi Eep Saefullah Fattah.

Amien Rais memang dikenal elitis. Sementara orang banyak masih bertanya-tanya kenapa kerusuhan 1998 harus terjadi dan apa urgensi dari reformasi 1998, Amien Rais "memperkenalkan dirinya" sebagai motor kedua kejadian itu. Belum lagi lingkaran sepak terjangnya yang banyak berkutat dengan kalangan akademisi dan pergerakan, membuatnya agak berjarak dengan rakyat kebanyakan. Sebagian rakyat menilai dia sombong.

Rakyat Baperan

Sementara kita adalah masyarakat baperan yang mudah terharu, sensitif, sekaligus mudah marah, agak pendendam, dan memiliki solidaritas yang tinggi. Hobi kita adalah lagu-lagu cengeng, musik melow, sinetron absurd, dan drakor yang menguras air mata. Sisi positifnya kita adalah masyarakat yang senang bergotongroyong, bersedekah, dan saling membantu.

Masyarakat dengan karakter seperti ini rawan dengan strategi playing victim. Tokoh yang dikenal baik ahli dalam playing victim adalah SBY dan Megawati. SBY mencitrakan diri sebagai korban kezaliman Megawati. Dengan strategi ini, SBY berhasil menang Pilpres 2004 dan 2009. Sementara Megawati menjadi tokoh perlawanan terhadap Orde Baru. Megawati mencitrakan dirinya sebagai korban langsung dari "kekejaman" Orde Baru. Strategi ini rupanya sangat kuat pengaruhnya yang membuat Megawati kukuh sebagai "pemilik" PDIP sampai saat ini. Jika "kepemilikan" Gus Dur atas PKB dan Amien Rais atas PAN bisa tergusur, maka hal ini tidak terjadi pada Megawati.

Tingkat kebaperan semakin meningkat pada Pilpres 2024 ketika pemilih banyak diisi oleh perempuan dan generasi strawberry. Isu-isu yang menguras air mata, rasa terzalimi, dan membangkitkan solidaritas jadi gorengan sedap di medsos. 

Playing Victim Gibran

Strategi playing terus berlanjut karena ini dipercaya bisa menjadi motor untuk mendulang suara.

Di media sosial beredar sejumlah video perlakuan buruk Megawati terhadap Jokowi. Terkesan Jokowi sangat sabar dan santun menghadapinya. Jokowi adalah korban lain "kedzaliman" Megawati. Kemudian datang Gibran untuk mengembalikan marwah dan martabat Bapaknya itu, serta kemudian melanjutkan, menyelamatkan, dan menyempurnakan kebijakan Bapaknya itu.

Prabowo Ways

Akhirnya Prabowo mencalonkan diri sebagai capres untuk yang ketiga kalinya. Rakyat mengenal dia sebagai orang yang gigih, pantang menyerah, tulus, dan sekaligus tidak tahu diri. Persepsi dan penilaian ini muncul dari sepak terjang politik Prabowo setelah ikut dalam kontestasi Pilpres sebagai cawapres mendampingi Megawati pada Pilpres 2004 dan rela menjadi MenHan pada kepemimpinan Jokowi yang kedua, dan kini menjadi capres untuk kali yang ketiga. Rakyat dibuat kagum sekaligus kasihan kepadanya.

Sukses Pilpres 2024

Siapa yang sukses dalam Pilpres 2024 mendatang? Apakah Anis? Ganjar? Prabowo?

Terlepas dari aneka survey dan polling yang dilakukan, juga segala pilihan logis serta perhitungan politik, program pemerintahan, dan strategi kampanye yang ada, dalam masyarakat yang baperan dan melihat pola pemenang Pilpres yang ada pada tahun 2004, 2009, 2014, dan 2019, maka pemenang adalah dia yang paling pandai mencitrakan diri sebagai "korban", sederhana, merakyat, melayani, dan low profile.

Prabowo punya kans lebih besar untuk menang jika terus mengeksploitasi rasa kasihan rakyat. Rakyat pasti bilang begini di pasar-pasar ataupun di kedai-kedai kopi, "Kasian atuh udah tiga empat kali mencalonkan diri tapi gagal terus". Kasian banget emang. Percaya deh rakyat kita punya rasa belas kasihan yang sangat tinggi.

Menang Pilpres dari hasil rasa kasihan dan belas kasih rakyat tidak memalukan kok, sebab ada yang menang dari hasil playing victim dan juga ada yang menang karena ndeso aja tetap pede 2 periode.

Misi, visi, dan program kerja yang baik hanya dibutuhkan ketika nanti terpilih sebagai presiden, tapi tidak cukup "ngangkat" perolehan suara dalam masyarakat baperan.

King Maker dan Golkar

Tidak lupa untuk mempertimbangkan gerakan para king maker seperti Megawati, Luhut, dan Jusuf Kalla, serta juga Golkar untuk melakukan estimasi terhadap siapa pemenang pada Pilpres 2024.

King maker berkaitan dengan kekuatan mobilitas dana dan massa, serta dukungan profesional dan sistem. Rekayasa teknis dan rekayasa sosial juga berada dalam kapasitas mereka. Jangkauan kuasa mereka bahkan mencapai pps, saksi, dan petugas penghitungan suara.

Sementara Golkar walaupun bukan kekuatan politik yang besar kini, tapi tokoh-tokoh dan kader-kadernya masih mempunyai daya bergaining yang tinggi. Itu belum lagi dengan kebiasaan Golkar untuk selalu berada dalam pemerintahan, yang artinya Golkar mempunyai perhitungan dan firasat yang baik tentang siapa yang akan menguasai pemerintahan.

Tidak bisa diabaikan juga dalam mempengaruhi kemenangan seorang capres adalah peranan para cukong politik.

Cukong Politik

Biaya kampanye pilpres itu sangat besar. Para capres sering tidak punya cukup dana pribadi untuk itu. Cukong-cukong politik menjadi solusi jitu untuk masalah ini. Kontribusi para cukong politik ini bisa berbentuk hibah, hutang, ataupun konsesi tertentu.

Poin ini mungkin bisa menjadi jawaban atas pertanyaan kenapa ketika menjadi Wapres SBY, JK begitu bersinar sementara ketika menjadi Wapres Jokowi dia tenggelam. Kita menduga mungkin kontribusi finansial JK terhadap biaya kampanye SBY sangat besar, sedangkan untuk Jokowi kontribusi finansial terbesar sudah diisi cukong yang lain.

Serangan Fajar

Hal lain yang tidak bisa dipungkiri akan banyak berperan dalam menentukan kemenangan dalam Pemilu terutama dalam Pilpres adalah peran money politics. Serangan fajar bagaimana pun masih diharapkan dan dirindukan oleh sebagian masyarakat. Sedikit atau banyaknya jumlah mereka yang masih merindukan money politics ini, peran mereka akan sangat signifikan dan sangat menentukan siapa yang akan menang dalam pemilu dan pilpres.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun