Walaupun harus tertib dan logis secara astronomi, perhitungan waktu cuma soal konsensus aja kok. Segala perdebatan dan perbedaan pendapat harus mengarahkan kepada tercapainya konsensus. Tidak boleh perbedaan itu dibiarkan terus eksis tanpa solusi yang bermuara pada konsensus. Ketika sebuah konsensus telah ditetapkan, maka semua pintu debat dan beda pendapat ditutup, kecuali ada perubahan kondisi yang besar dan baru.
Umat Islam termasuk yang belum mencapai konsensus astronomi soal perhitungan waktu. Sudah hampir 1500 tahun berlalu tapi perdebatan tentang waktu ibadah dan hari raya terus berlangsung. Perdebatan terutama muncul setiap kali datang waktu berkenaan dengan ibadah puasa Ramadhan, hari raya Idul Fitri, dan ibadah Haji.
Perkembangan ilmu astronomi modern tidak bisa dilepaskan dari sumbangan peradaban Islam, tapi sayang soal perhitungan waktu Umat Islam belum juga mencapai konsensus. Sistem kalender Islam karenanya jadi terlihat paling kacau.
Kekacauan itu terlihat misalnya ketika Indonesia menetapkan tanggal x sebagai waktu awal Bulan Dzulhijjah, sementara Papua Nugini menetapkan tanggal x-1 sebagai awal Bulan Dzulhijjah dan India pun menetapkan tanggal x-1 sebagai awal Bulan tersebut. Ini kacau secara logika dan tertib ilmu astronomi.
Kekacauan semakin menjadi ketika alih-alih menetapkan sistem kalender secara internasional, Umat Islam memperkenankan satuan politik, satuan geografi, dan satuan organisasi untuk menetapkan sistem kalender masing-masing secara parsial.
Seperti halnya Barat telah menetapkan tahun kelahiran Yesus sebagai tahun kesatu dalam kalender Masehi, maka Umat Islam pun sudah sepakat untuk menjadikan peristiwa hijrah Muhammad sebagai tahun pertama kalender Hijriyah.
Ketika Barat sepakat jam 00.00 ditetapkan sebagai pada tepat tengah malam buta, maka Umat Islam sepakat bahwa awal hari dihitung pada waktu maghrib.
Waktu magrib dan untuk waktu shalat semuanya, Umat Islam sudah sepakat untuk mengadopsi sepenuhnya sistem GMT dan metode hisab, sehingga walaupun aturan tentang waktu shalat sepenuhnya mensyaratkan rukyat gerak semu Matahari, tapi prakteknya hanya mengacu kepada jam perhitungan hisab.
Tapi ketika Barat menyepakati kota Greenwich sebagai titik acuan perhitungan waktu dengan garis GMT, Umat Islam justru tidak melakukan hal yang sama. Di sinilah kekacauan perhitungan waktu dalam kalender Hijriyah berawal.
Tidak adanya kesepakatan yang serupa dengan konsep GMT membuat konversi waktu dari Sistem Kalender Hijriyah ke Sistem Kalender Masehi jadi kacau.
Padahal Umat Islam bisa saja menjadikan kota Mekkah sebagai titik awal hari yang mempunyai fungsi yang sama dengan konsep GMT.