Mungkin menarik untuk diketahui bagaimana cara kampanye calon anggota parlemen Inggris. Ini hanya untuk membandingkan sekaligus refleksi perbedaan dan persamaan upaya calon anggota parlemen untuk duduk di kursi dewan perwakilan rakyat. Mereka berusaha mengkampanyekan partai dan dirinya agar terpilih menjadi wakil rakyat duduk parlemen pusat. Di Inggris kampanye ini dilakukan dengan beberapa cara. Caleg ini umumnya berkampanye melalui media massa dan tentu zaman sekarang melalui jaringan internet. Televisi, radio, media online dan tentu dengan media cetak menjadi ajang pertarungan mereka memperebutkan suara pemilih. Selain itu ditempuh cara konvensional yakni memasang poster wajah mereka dan partainya di jalan-jalan daerah pemilihannya.Â
Ada juga hal yang menarik, mereka mendatangi pemilih dari satu rumah ke rumah lain. Inilah yang fenomena menarik yang pernah saya lihat bagaimana seorang anggota parlemen ini berusaha mengenalkan diri dari rumah ke rumah. Seorang anggota parlemen Inggris mewakili daerah konstituennya yang terbagi dalam 650 daerah pemilihan, dan biasanya tingkat partisipasi pemilih juga rendah sekitar 60 % dari total pemilih sekitar 50 jutaan.Â
Saya pernah mengikuti calon anggota Houses of Parliament berkampanye setidaknya di dua kota, yakni Liverpool dan Bradford. Di Liverpool saya bertemu seorang calon anggota parlemen perempuan yang kakeknya bekerja di galangan kapal terkenal di kota ini. Saya bertemu di rumahnya di sebuah kawasan di kota Liverpool dan menyaksikan langsung bagaimana wanita karir yang ternyata masuk koran Times ini berjuang keras merebut suara dari Partai Buruh. Dia sendiri - saya lupa namanya - berasal dari Partai Konservatif untuk daerah pemilihan Liverpool. Alasannya, daerah ini katanya merupakan wilayah yang diperebutkan Konservatif, Buruh dan Liberal Demokrat.Â
Jadi, kalau daerah yang fanatik Konservatif dia tidak prioritaskan untuk didatangi karena yakin mereka akan memilihnya. Sedangkan daerah lawannya atau yang masuk kedalam "swinging voters" dia datangi. Sesudah kami sampai sebuah wilayah, dia memarkir mobil dan langsung turun seraya membawa brosur di tangannya serta badge biru Partai Konservatif di dadanya. Dimulailah kampanye ala Inggris ini. Satu demi satu rumah yang jadi sasaran kampanye dia ketuk. Lalu kalau kebetulan yang punya rumah berada di dalamnya. Ucapan pertama yang dia katakan, "Hello, nama saya .... Saya calon dari Partai Konservatif. Saya mencalonkan diri untuk pemilu tahun ini. Saya ingin meminta pendapat Anda bagaimana dalam pemungutan suara nanti, apakah Anda bisa mendukung saya". Begitu kira-kira ucapannya. Sopan, simpatik dan berusaha membujuk calon pemilihnya.
Saya perhatikan dia tidak gentar dengan upayanya berkampanye sendirian. Dengan senjata brosur, dia menyapa satu demi satu rumah dari ujung jalan satu ke jalan lain. Bagaimana sambutan pemilik rumah? Beraneka ragam. Ada yang mengatakan, wah saya sudah menentukan memilih Partai Buruh jadi maaf ya. Atau maaf saya tidak akan memilih, semuanya sama saja tidak tepat janji. Bahkan saya dengar langsung ada seorang tua yang mengaku pendeta menasihati calon dari Partai Konservatif ini bahwa cara-cara kampanye dan pemilu seperti ini tidak akan memperbaiki situasi. Pak tua ini lalu bercerita tentang tidak baiknya politik, tentang kampanye yang hanya datang menjelang pemilu dan sesudah itu kepentingan masyarakat dilupakan. Tampaknya calon dari Partai Konservatif ini jengah sehingga dia ingin buru-buru menyampaikan permisi kepada si tuan rumah yang mengguruinya. Dengan cepat-cepat dia bilang "terima kasih atas pendapatnya" lalu melangkah ke rumah lainnya. Begitulah kampanye yang saya lihat langsung dari calon anggota parlemen pusat. Dia kalau tidak salah akan memperebutkan sekitar 70 ribu suara di satu wilayah pemilihan di kota Liverpool. Tidak ada hingar bingar, tidak ada rombongan bermotor yang mengiringinya atau tidak ada umbul-umbul di pinggir jalan yang menghiasai sekitar rumahnya. Semuanya seperti berjalan tenang tanpa keributan antar kandidat.
Berbeda dengan Liverpool, di Bradford ini saya "kebetulan" bertemu dengan sekorang dokter keturunan Tiongkok-Malaysia. Dia mengaku sudah menjadi warga negara Inggris dan ingin merebut hati suara masyarakat Bradford yang sekitar separuh penduduknya Muslim. Baik Liverpool maupun Bradford ini terletak di Inggris agak ke utara. Pak Dokter ini yang juga lupa namanya ditemui di kantor cabang Partai Konservatif di Bradford. Saat itu dia sedang mencetak selebaran yang akan dibagikan pada hari kampanye jadwalnya. Kami sempat mengobrol di dalam ruangan kantor partai yang sederhana ini seraya menunggu foto copy selesai. Yang terungkap antara lain dia sudah mengeluarkan dana lebih dari £20.000 atau sekitar Rp 277 juta sejauh ini dalam pencalonannya untuk kursi parlemen pusat. Terungkap pula bahwa dia bukan berasal dari Bradford namun dari Oxford. Ketika dia mencalonkan diri, Partai Konservatif mengalokasikannya di Bradford. Maka jadilah dia calon anggota legislatif di Bradford. Dia harus bolak-balik kadang dengan mobilnya selama musim kampanye ini. Dan yang menarik relawan kampanye yang ditemuinya di lapangan adalah orang Asia, tepatnya Muslim Bangladesh. Mereka adalah imigran yang datang tahun 1950-an ketika di sana terdapat industri tekstil. Mereka didatangkan dari Asia Selatan untuk menjadi buruh tekstil. Jumlahnya ribuan orang dan sekarang sudah mendominasi Bradford.Â
Caleg Konservatif ini menggandeng toko Muslim disana untuk membujuk para pemilih. Satu persatu rumah didatangi. Tidak seperti di Liverpool di Bradford suasana lebih cair, lebih santai karena tampaknya relawan sudah kenal dengan penghuni rumah. Mereka datang mengetuk pintu dan memperkenalkan sang calon agar nanti memilihnya di hari H pemilu. Hampir tidak ada perdebatan, hampir tidak ada ketegangan. Suasana terlihat rileks dan selebaran dengan cepat bisa dibagikan karena relawan lebih dari satu. Tampaknya daerah ini sudah diberi tanda sebagai pendukung Konservatif. Saat pemilu berlangsung tahun 2005 ini, Partai Buruh memiliki 410 kursi, Konservatif 164 kursi dan Liberal Demokrat memperoleh 54 kursi. Dan informasi yang saya peroleh kemudian, keduanya gagal untuk menduduki kursi di Houses of Parliament. Begitulah kira-kira kampanye pemilu di sebuah negeri yang sudah melangsungkan pemilu lebih dari seratus tahun. Saya tidak berpretensi Indonesia haruslah seperti ini. Satu hal yang bisa ditiru adalah kampanye tidak selalu harus bertabur uang dan makanan. Tidak harus sibuk dengan "serangan fajar" atau dengan intimidasi. Pemilu merupakan hak warga memilih anggota partai agar bisa memimpin negerinya ke arah yang lebih baik.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H