Salah satu adab muslim yang harus dijunjung tinggi adalah senantiasa berhusnuzan (berbaik sangka) kepada Allah swt. Apapun bentuk takdir yang diberikan Allah swt untuk kita adalah yang terbaik menurut Allah swt. Tidak ada yang kebetulan di dunia ini. Semua yang terjadi adalah atas kehendak-Nya. sudah tertulis di kitab lauhul mahfuz yang terjaga kerahasiannya.
"Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah".(al Hadid:22)
Baik ataupun buruk (menurut pandangan manusia) takdir yang kita terima, sudah menjadi ketentuan-Nya dan pasti ada hikmah baik dibelakangnya. Hanya saja kita belum menemukan hikmah baik apa itu. Sebagaimana firman Allah swt: "...tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia." (ali 'Imran: 191).
Jadi Allah swt menakdirkan sesuatu terjadi itu selalu ada tujuannya. Tidak ada yang asal tanpa alasan. Tugas kitalah untuk menemukan hikmah dibalik setaip penciptaan (kejadian) dengan cara mentadaburinya. Untuk itu berhusnuzan kepada Allah swt adalah penting dikedepankan dalam menghadapi segala sesuatu.
Umumnya, jika takdir yang terjadi adalah sesuatu yang baik (menguntungkan) dalam pandangan manusia, mungkin mudah untuk berhusnuzan. Tapi bagaimana jika takdir yang diterima adlah sesuatu yang tidak mengenakkan? Seperti misalnya penderitaan dan kemelaratan dalam hidup? Dalam hal ini Allah swt telah berfirman sebagai gambaran hikmah ditimpakannya suatu penderitaan kepada suatu kaum: "Dan Kami tidak mengutus seorang nabi kepada suatu negeri, (lalu penduduknya mendustakan nabi itu), melainkan Kami timpakan kepada penduduknya kesempitan dan penderitaan agar mereka (tunduk dengan) merendah diri". (Q.S Al A'raf ayat 94)
Dalam tafsir jalalain dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan kesempitan pada ayat tersebut adalah kemiskinan yang sangat. Adapun penderitaan yang dimaksud adalah berupa penyakit. Sedangkan dalam tafsir Al Azhar penderitaan yang dimaksud dalam ayat tersebut dimaknai sebagai kesusahan dan kemelaratan.
Namun, apapun bentuk penderitaan yang ditimpakan kepada suatu kaum, pastilah ada tujuan baik yang dinginkan oleh Allah swt. Misalnya dalan surat al-A'raf ayat 94 diatas, maksud tujuan diturunkannya penderitaan adalah agar supaya mereka (yang mendapat penderitaan itu) mau tunduk dan patuh dengan merendahkan diri di hadapan Allah swt sebagai tanda keimanan mereka.
Prof. Hamka menjelaskan bahwa ayat tersebut menjadi peringatan khusus bagi umat yang telah percaya kepada Rasul Muhammad saw. Sebagaimana kita ketahui bahwa di masa-masa permulaan dakwah Rasulullah saw, para pengikut setia Muhammad saw mengalami berbagai macam penderitaan dalam memegang teguh keimanan mereka. Boleh dikatakan bahwa penderitaan umat Muslim masa itu tiada henti-hentinya selama tidak kurang dari tiga belas tahun, tiga tahun di Makkah dan sepuluh tahun di Madinah. Namun, dengan beraneka ragam penderitaan itulah umat ini menjadi kuat. Mereka menganggap penderitaan yang mereka alami itu adalah sat bentuk gemblengan dari Allah swt sehingga iman mereka bertambah kuat.
Di firman yang lain "Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar." (QS. Al-Baqarah: 155)
Maka dari itu, sebagai umat yang mengaku beriman kepada Allah swt dan Rasulullah Muhammad saw, mari kita jadikan segala musibah penderitaan yang menimpa kita selama ini sebagai gemblengan keimanan agar kita semakin tunduk dan patuh kepada-Nya. Bukan malah sebaliknya.
Dalam Firman yang lain Allah swt memberikan kabar bahwa dibalik setiap penderitaan pasti ada kebahagiaan. Dibalik setiap kesusahan pasti akan ada kemudahan. Percayalah!
Salah satu hikmah Ramadhan adalah menggembleng kita untuk menumbuhkan sikap husnuzan ini. Selama menja;ankan ibadah puasa kita hendaknya memiliki sikap husnuzan kepad siapapun agar puasa kita berkualitas. Agar puasa kita tidak sia-sia. Agar puasa kita tidak sekedar mendapat lapar dan dahaga semata. Rasulullah saw pernah memberi peringatan: "betapa banyak orang yang berpuasa namun dia tidak mendapatkan dari puasanya tersebut kecuali lapar dan dahaga" (HR Ath Thobroni)
Apa makna di balik peringatan Rasul tersebut? Mengapa banyak yang berpuasa hanya mendapat lapar dan dahaga saja? Padahal sudah bersusah payah menahan lapar dan dahaga itu dari terbit fajar sampai tenggelamnya matahari. Salah satunya dikarenakan orang tersebut tidak mampu menjaga hati dan pikirannya dari penyakit-penyakit ruhiyah seperti berprasangaka buruk kepada sesama apalagi kepada Allah swt.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H