Di era digital yang serba canggih ini, media sosial telah menjadi wadah bagi berbagai kalangan untuk mengekspresikan diri. Banyak di antara mereka yang sukses memanfaatkan platform ini hingga meraih penghasilan sebagai konten kreator. Namun, tak sedikit pula yang akhirnya harus berurusan dengan hukum akibat konten yang mereka unggah, seperti yang berkaitan dengan pencemaran nama baik, isu SARA, atau pelanggaran hukum lainnya.
Belakangan ini, media sosial ramai membicarakan berbagai isu terkait dunia pendidikan. Salah satu yang viral adalah kasus seorang guru ASN yang memilih mengundurkan diri karena merasa lingkungannya tidak mendukung atau "toxic." Kasus ini memicu pro dan kontra di kalangan netizen, memunculkan berbagai sudut pandang dan diskusi.
Selain itu, perhatian juga tertuju pada seorang guru yang mengungkapkan kekecewaannya terhadap tulisan siswa yang sulit dibaca, hingga melontarkan kritik kepada guru-guru di jenjang pendidikan dasar. Kedua peristiwa ini mencerminkan kompleksitas tantangan yang dihadapi para pendidik di era modern.
Mengekspresikan diri di media sosial ibarat memainkan peran di atas panggung virtual. Kita menjadi individu yang sering kali mencari perhatian dan validasi dari orang lain. Di ruang ini, kita dapat melihat beragam cara teman-teman kita (yang jumlahnya mungkin ratusan atau bahkan ribuan) menunjukkan diri mereka.
Ada yang berbagi tentang keseharian, menampilkan hobi, mencurahkan perasaan, hingga mengungkapkan masalah yang mereka hadapi. Setiap postingan mencerminkan cerita unik, menjadikan media sosial sebagai cerminan keragaman ekspresi manusia.
Sebelum kita mengungkapkan diri dan berpendapat di media sosial, penting bagi kita untuk memahami landasan hukum yang mengatur etika bermedia sosial. Dengan pengetahuan ini, kita dapat menjaga kebebasan berekspresi tanpa melanggar aturan atau merugikan orang lain.
Landasan Hukum tentang Etika Bermedia Sosial
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) mengandung sejumlah ketentuan yang secara khusus mengatur etika dalam bermedia sosial. Beberapa pasal yang relevan di antaranya mencakup:
- Pasal 27 ayat (3): Larangan menyebarkan informasi yang tidak benar dan menyesatkan.
- Pasal 28 ayat (2): Larangan menyebarkan ujaran kebencian.
- Pasal 32 ayat (1): Larangan mencemarkan nama baik orang lain.
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) memberikan perlindungan hukum bagi berbagai aktivitas yang memanfaatkan internet, termasuk transaksi digital, penggunaan informasi, dan ekspresi diri di media sosial. Oleh karena itu, kita perlu bersikap bijak dalam menggunakan media sosial dengan menerapkan langkah-langkah berikut:
1. Menggunakan media sosial sesuai dengan kebutuhan.
2. Menjaga sikap dan etika dalam berinteraksi dengan pengguna lain.
3. Menyaring informasi yang didapat.
4. Menghindari akun-akun provokatif, dan terakhir
5. Memaksimalkan manfaat penggunaan media sosial.
Pada dasarnya, ada lima prinsip utama yang perlu kita perhatikan sebelum berekspresi di media sosial. Prinsip ini dikenal dengan akronim "THINK," yang mengajukan lima pertanyaan penting: Apakah hal tersebut True (benar)? Apakah Helpful (bermanfaat)? Apakah Inspiring (menginspirasi)? Apakah Necessary (perlu)? Dan apakah Kind (penuh kebaikan)? Dengan menjadikan THINK sebagai pedoman, kita dapat memastikan setiap unggahan atau komentar yang kita bagikan membawa dampak positif dan bertanggung jawab.