Mohon tunggu...
Asep Saepul Adha
Asep Saepul Adha Mohon Tunggu... Guru - Guru SD

Senang membaca dan suka menulis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Penghormatan, Kepatuhan, dan Pembelajaran: Refleksi Hubungan Guru dan Siswa dari Masa ke Masa

14 November 2024   09:07 Diperbarui: 14 November 2024   15:19 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Penghormatan, Kepatuhan, dan Pembelajaran: Refleksi Hubungan Guru dan Siswa dari Masa ke Masa

Beberapa hari lagi, para insan pendidik di seluruh Indonesia akan memperingati Hari Guru. Momen ini menjadi waktu yang istimewa untuk mengenang jasa dan dedikasi para guru dalam membentuk generasi penerus bangsa. 

Berbagai kegiatan dan acara penghargaan akan digelar sebagai bentuk apresiasi atas peran penting mereka dalam dunia pendidikan. 

Ini adalah saat yang tepat untuk mengungkapkan rasa terima kasih dan penghormatan kepada mereka yang telah berjuang tanpa lelah untuk mencerdaskan kehidupan anak bangsa.

Guru sering digambarkan sebagai orang yang harus "digugu lan ditiru", yang berarti dihormati dan dijadikan contoh. 

Menurut interpretasi ini, apapun yang disampaikan atau dilakukan oleh seorang guru adalah benar dan harus diikuti. 

Apakah benar bahwa setiap tindakan atau perkataan guru selalu baik dan layak dijadikan contoh?

Dalam kenyataannya, meskipun mereka memainkan peran penting sebagai pendidik dan pembimbing, seorang guru tetaplah manusia. 

Oleh karena itu, penting bagi kita untuk menghindari menganggap semua tindakan guru sebagai tidak dapat dipertanyakan. 

Sebagai pembelajar, kita harus memiliki kemampuan kritis untuk menilai apa yang baik dan sesuai dengan nilai-nilai yang tepat.

Oleh karena itu, menghormati seorang guru tidak berarti menghilangkan penilaian yang objektif. 

Guru yang baik mengajarkan siswanya untuk berpikir kritis, memeriksa kebenaran, dan mencari pemahaman yang lebih mendalam tentang semua hal. 

Guru yang ideal juga menunjukkan sikap rendah hati dan keterbukaan terhadap kebenaran, bahkan ketika mereka mengakui bahwa mereka memiliki keterbatasan.

Berikut ini ada beberapa hal yang layak kita renungkan bersama mengenai bagaimana seharusnya kita bersikap kepada guru. 

1. Hukuman yang Memotivasi

Dulu, di masa-masa yang mungkin sekarang terasa jauh berbeda, hubungan antara guru dan siswa begitu dihiasi oleh rasa hormat yang mendalam. 

Guru dianggap sebagai sosok yang penuh wibawa dan dihormati tanpa syarat. Tidak ada seorang siswa pun yang berani membantah atau menyanggah apa yang diucapkan oleh guru, seberapa keras sekalipun perintah atau tegurannya.

Tidak ada yang menentang bahkan ketika siswa dipukul sebagai hukuman atas kesalahan mereka. Mereka mungkin sama kuat secara fisik, tetapi mereka sangat menghormati dan patuh kepada guru mereka hingga tidak terpikirkan untuk melawan atau menanggapi mereka. 

Ketundukan ini menunjukkan nilai yang sangat tinggi terhadap ilmu dan pendidikan, di mana guru dianggap sebagai figur penting yang harus dihormati secara penuh.

Rasa hormat ini tercermin tidak hanya dalam sikap diam saat diberi perintah, tapi juga dalam penerimaan terhadap hukuman sebagai bentuk pembelajaran. 

Orang-orang dulu percaya bahwa setiap tindakan guru, termasuk hukuman fisik, adalah untuk kebaikan dan pembentukan karakter yang lebih baik.

Ketika saya masih di Aliyah, tepatnya saat duduk di kelas 2, saya memiliki pengalaman yang masih melekat kuat dalam ingatan. 

Saat itu, guru Qur'an Hadits kami mewajibkan setiap siswa untuk menghafal empat hadits setiap minggu. Jika ada yang tidak berhasil menghafal, hukuman pun menanti.

Masih terbayang dalam ingatan ketika kawan saya ditarik jambangnya (rambut dekat kupingnya) ke atas. 

Karena terasa sakit ia menjinjitkan kakinya, namun tetap pak guru narik ke atas. Kawan saya nangis, baru dilepaskan.

Setelah peristiwa itu kawan saya berubah total, nggak pernah dihukum lagi, dia lebih rajin belajar dan menghafal, dan kalau ulangan dia tidak lagi mendapat nilai kurang. 

Peristiwa itu tidak membuatnya dendam, tapi tampaknya mempengaruhinya untuk menjadi lebih disiplin dalam belajar.

Anda bisa membayangkan , bagaimana kalau itu terjadi pada zaman sekarang. Mungkin guru itu sudah dibui atau didenda karena dianggap salah ketika mendisiplinkan siswa.

2. Hormat dan Takut Kualat

Masih terbayang dalam ingatan, ketika sekolah di MTs, dari rumah ke sekolah saat itu jalan kaki (-/+ 2 KM) pulang pergi setiap hari. 

Kadang-kadang, kami berangkat ke sekolah bersama-sama dengan para guru. Ada dua guru yang paling sering berangkat bareng dengan saya, Pak Juhdi (alm), guru Kesenian di MTsN Rongga, dan Pak Juki, guru Kesenian di SMPN Cihampelas. Setiap pagi, hampir setiap hari, kami berjalan kaki bersama menuju sekolah.

Suatu hari saya berangkat naik sepeda bersama teman, Kusnadi dan Nanang namanya. Ketika sampai di Kampung Selakopi, di depan ada pak Juhdi dan pak Juki berjalan kaki. 

Kami bertiga nggak berani melewati beliau berdua, kami pun turun menuntun sepeda.

Saat pak Juhdi menyadari ada anak murid di belakang yang menuntun sepeda, beliaupun berkata "naikilah sepedanya, sana duluan, nanti kesiangan". 

Seolah ada tombol perintah yang ditekan, kamipun serentak menaiki sepeda dan mulai mengayuh perlahan. 

Begitu besarnya rasa hormat kami kepada guru, bahkan ketika berada di jalan, kami tidak berani melewatinya. Meskipun kami bisa saja mengayuh lebih cepat, ada aturan tak tertulis yang kami patuhi dengan sepenuh hati: guru harus selalu di depan, dan kami mengikuti di belakang.

Rasa hormat itu begitu tertanam, bukan karena paksaan, tapi karena kesadaran akan posisi seorang guru sebagai sosok yang harus dihormati dan dihargai. 

Bahkan di luar kelas, dalam perjalanan yang sederhana sekalipun, etika ini tetap dijaga. Kami paham, menghormati guru tidak hanya soal mendengarkan di ruang kelas, tetapi juga dalam perilaku sehari-hari.

3. Senang Membantu Guru

Dulu, ketika berpapasan dengan guru, seorang murid nggak ada yang berani mengangkat kepala, kepala mesti merunduk. Bila sang guru memerintah, semua murid nggak ada yang membantah.

Bila guru minta tolong untuk melakukan sesuatu, maka siswanya berebut untuk menolong dengan sebaik-baiknya. 

Suatu hari, Pak Adang Rusmana, guru Pendidikan Moral Pancasila (PMP) di Aliyah, bertanya kepada kami, siswa kelas 2 IPA. 

Dengan nada yang tenang dan ramah, beliau bertanya, "Kalau ada di antara kalian yang punya daun handeuleum (atau daun kiwungu) di rumah, bapak mau minta."

Pertanyaan itu sederhana, namun terasa istimewa karena jarang sekali seorang guru meminta sesuatu dari siswanya. 

Kami langsung saling berpandangan, berpikir apakah di rumah masing-masing ada tanaman yang dimaksud. 

Permintaan beliau seolah memperlihatkan sisi yang lebih personal, membangun kedekatan antara guru dan murid yang melampaui sekadar urusan pelajaran di kelas.

Saya langsung menyanggupi permintaan Pak Adang tanpa ragu, karena di pagar batas tanah nenek ada pohon handeuleum tersebut. 

"Besok bawa ya, Sep!" kata Pak Adang sambil tersenyum. "Iya, Pak," jawabku spontan dengan penuh semangat. Rasanya senang bisa membantu guru, apalagi dengan sesuatu yang kebetulan ada di rumah. 

Tugas ini bukan hanya tentang membawa daun kiwungu, tapi juga terasa seperti bentuk kecil dari rasa hormat dan kepedulian yang bisa kuberikan kepada guruku.

4. Pendidikan Karakter dari Guru Aqidah Akhlak 

Guru Aqidah Akhlak berpesan, "jangan mencela perbuatan orang" katanya. Biarkan mereka melakukan sesuatu sesuai dengan keyakinannya , kita jangan mengomentari bila tidak diminta. Berkomentarlah pada waktu dan tempat yang tepat.

Beliau pernah menceritakan pengalaman menarik saat melaksanakan ibadah haji. Di tengah keramaian saat melakukan tawaf, ada salah satu anggota rombongan yang tiba-tiba "nyeletuk" dengan nada heran, "Kok mereka pakai tutup kepala ya, kan nggak boleh pakai tutup kepala?" 

Celetukan itu dilontarkan ketika melihat sekelompok jamaah haji dari negara lain yang mengenakan penutup kepala.

Tanpa diduga, salah satu jamaah dari kelompok tersebut ternyata mengerti bahasa Indonesia. Rupanya, ia pernah tinggal di Jakarta. 

Dengan cepat, ia menanggapi celotehan tersebut dengan santai namun tegas, "Elu elu, gua gua, jangan samakan gua dengan elu." 

Jawaban itu langsung membuat suasana menjadi sedikit canggung sekaligus lucu, memperlihatkan bahwa dalam beribadah, setiap orang memiliki tata cara dan kebiasaan yang bisa berbeda, tergantung dari mana mereka berasal.

Kesimpulan 

Penghormatan terhadap guru merupakan nilai penting dalam pendidikan, namun seiring perkembangan zaman, penghormatan ini harus disertai dengan sikap kritis dan objektif. 

Meskipun guru adalah sosok yang dihormati dan sering dijadikan panutan, mereka tetap manusia yang bisa memiliki kekurangan. 

Oleh karena itu, siswa perlu belajar untuk menghargai guru tanpa mengabaikan kemampuan berpikir kritis dan evaluatif.

Rasa hormat kepada guru di masa lalu sangat mendalam, bahkan terkadang diekspresikan dengan kepatuhan mutlak, seperti dalam penerimaan terhadap hukuman fisik. 

Namun, zaman sekarang mengharuskan pendekatan yang lebih seimbang, di mana siswa diajarkan untuk menghormati sambil tetap mempertimbangkan tindakan dan kata-kata guru secara bijaksana.

Pentingnya pendidikan karakter yang diajarkan guru, seperti menghargai perbedaan, baik dalam cara beribadah maupun dalam pandangan hidup, serta bagaimana guru dapat menjadi inspirasi untuk bersikap rendah hati dan terbuka terhadap berbagai pandangan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun