Saat pak Juhdi menyadari ada anak murid di belakang yang menuntun sepeda, beliaupun berkata "naikilah sepedanya, sana duluan, nanti kesiangan".Â
Seolah ada tombol perintah yang ditekan, kamipun serentak menaiki sepeda dan mulai mengayuh perlahan.Â
Begitu besarnya rasa hormat kami kepada guru, bahkan ketika berada di jalan, kami tidak berani melewatinya. Meskipun kami bisa saja mengayuh lebih cepat, ada aturan tak tertulis yang kami patuhi dengan sepenuh hati: guru harus selalu di depan, dan kami mengikuti di belakang.
Rasa hormat itu begitu tertanam, bukan karena paksaan, tapi karena kesadaran akan posisi seorang guru sebagai sosok yang harus dihormati dan dihargai.Â
Bahkan di luar kelas, dalam perjalanan yang sederhana sekalipun, etika ini tetap dijaga. Kami paham, menghormati guru tidak hanya soal mendengarkan di ruang kelas, tetapi juga dalam perilaku sehari-hari.
3. Senang Membantu Guru
Dulu, ketika berpapasan dengan guru, seorang murid nggak ada yang berani mengangkat kepala, kepala mesti merunduk. Bila sang guru memerintah, semua murid nggak ada yang membantah.
Bila guru minta tolong untuk melakukan sesuatu, maka siswanya berebut untuk menolong dengan sebaik-baiknya.Â
Suatu hari, Pak Adang Rusmana, guru Pendidikan Moral Pancasila (PMP) di Aliyah, bertanya kepada kami, siswa kelas 2 IPA.Â
Dengan nada yang tenang dan ramah, beliau bertanya, "Kalau ada di antara kalian yang punya daun handeuleum (atau daun kiwungu) di rumah, bapak mau minta."
Pertanyaan itu sederhana, namun terasa istimewa karena jarang sekali seorang guru meminta sesuatu dari siswanya.Â