GALAU. Tuntutan membuat PTK terasa menyiksa. Guru tugasnya mengajar bukan meneliti, mengapa pula diwajibkan untuk melakukan penelitian?
Saya setuju guru didorong untuk melakukan penelitian (PTK) tetapi bukan diwajibkan. Berapa banyak rekan-rekan guru yang terhambat kenaikan kepangkatannya gara-gara masalah PTK. Dan berapa banyak guru yang terjebak praktik tidak bertanggung jawab “menjual dan atau membeli PTK” demi kenaikan pangkat?
Hingga akhirnya seorang teman memberi ilustrasi seperti ini:
“Tolong bedakan antara pembelajaran dengan penetapan kualifikasi capaian atau target/tujuan, dan aturan.
Dalam pembelajaran kita sedapat mungkin tidak melakukan pemaksaan, apalagi dengan kekerasan. Caranya tentu dengan melakukan pendekatan, metode dan strategi yang kreatif dan menarik. Guru wajib kreatif. Jika siswa malas belajar jangan mudah mengambil kesimpulan siswa itu malas, tetapi cobalah mengaji diri boleh jadi permasalahan justru ada pada kita sebagai guru. Permasalahan boleh jadi karena cara mengajar dan boleh jadi karena kita kurang memahami karakter siswa kita sehingga pembelajaran yang kita sajikan menjadi kurang tepat.
Tetapi dalam target capai, seharusnya tidak ada ampun. Jika prasyarat kelulusan/ketuntasan adalah A, ya harus A, jika B ya harus B. Dan untuk itulah remedial diadakan.
Terkait dengan PTK. Pemerintah menetapkan bahwa guru yang telah menduduki jabatan Guru/golongan pangkat tertentu harus memiliki kemampuan menyusun PTK. Ini adalah ketetapan kualifikasi. Maka sifatnya pasti memaksa, karena ini target capai bukan proses. Bagaimana proses mencapai kualifikasi itu? Tentu harus bertahap tidak serta merta menjadi ketetapan. Dari golongan pangkat terbawah guru sudah didorong untuk melakukan PTK dan itu dihargai, hingga akhirnya guru pada tahap tertentu harus sudah memiliki kemampuan menyusun PTK. Pendidikan, latihan, seminar baik yang diselenggarakan oleh pemerintah dengan dana dari pemerintah hingga yang diselenggrakan oleh lembaga, instasi atau mandiri dengan dana sendiripun perlu dan harus banyak dilakukan. Semua proses ini telah, sedang dan terus akan berlangsung. Jadi benarkah guru dipaksa harus menyusun PTK?
Jika masih penasaran mengapa guru harus memiliki kompetensi menyusun PTK. Marilah kita simak kembali pernyataan di atas. “Guru jangan memaksa siswa untuk belajar tetapi gunakan cara-cara arif agar siswa mau dan bersemangat untuk belajar.”
Nah melalui PTK inilah guru akan bisa mengidentifikasi permasalah dan mencari serta menemukan solusinya. Melalui publikasi PTK kita bisa sharing dengan sesama teman sejawat mengenai apa yang ditemukan di lapangan. Akhirnya pembelajaran kita akan lebih bermakna dan berkualitas. Pada akhirnya melaksanakan PTK bukan lagi menjadi sebuah kewajiban tetapi sudah menjadi sebuah kebutuhan. Maka, adakah yang salah dengan kewajiban menyusun PTK ini?
Satu lagi. Jangan biarkan pendidikan ini hanya menjadi bahan kajian para profesor di perguruan tinggi. Yang lebih tahu tentang anak adalah kita yang sehari-hari berhadapan dengan mereka. Dan kita tahu, anak itu unik. Permasalahan tiap anak, tiap kelas, tiap sekolah, tiap daerah itu berbeda. Dan kitalah yang seharusnya lebih tahu. Melalui PTK inilah kita bisa benar-benar tahu, bukan sekedar tahu.”
Terima kasih teman. Setidaknya wawasan saya sedikit terbuka, walau hingga kini saya belum tahu harus bagaimana dan darimana harus memulainya.