[caption caption="Konferensi Pers Serikat Pekerja JICT Menolak Perpanjangan Konsesi (foto: beritasatucom)"][/caption]
Tak sedikit yang gagal paham menyikapi perpanjangan konsesi JICT. Komite Pengawas (Oversight Committee) yang diusulkan pemerintah untuk mengawasi perpanjangan konsesi JICT pun diduga termasuk yang gagal paham. Karena seharusnya OC berpikir obyektif dan mempelajari rekam jejak Pelindo II sejak pergantian direksi tahun 2009.
Meski bernama 'Komite Pengawas Perpanjangan Konsesi JICT' tentu tidak keliru jika OC juga menyajikan opsi: pasca privatisasi kepemilikan 100% saham JICT oleh Pelindo II. Ini kalau berbicara masalah kepentingan bangsa dan negara. Waktu 20 tahun privatisasi cukup untuk proses belajar mengelola terminal petikemas.
Selama ini kita menduga ada semacam sesat logika OC perihal perpanjangan konsesi JICT. OC beralasan perpanjangan konsesi JICT demi menjamin kepastian investasi asing. Di sini OC lupa bahwa keputusan untuk tidak memperpanjang konsesi bukan karena pemerintah melakukan 'buy back' tapi karena konsesi privatisasi memang sudah berakhir.
Lain ceritanya jika pemerintah melakukan 'buy back' sblm konsesi privatisasi berakhir, investor asing wajar menanyakan kepastian investasi. Meski sah dilakukan, 'buy back' jelas bukan opsi menyenangkan bagi investor.
Bahwa ada opsi perpanjangan konsesi tentu bukan demi kepastian investasi, tapi aspek kondisional, semisal putra-putri bangsa belum mampu mengelola terminal petikemas sendiri. Jika tidak diperpanjang, produktivitas terminal petikemas akan menurun. Sudah jelas, Serikat Pekerja JICT berani menantang debat untuk hitung-hitungan potensi kerugian negara yang akan muncul jika konsesi diperpanjang. Ini seharusnya sudah dipikirkan OC lebih dulu.
Kita menduga, jawaban-jawaban OC yang terkesan pembenaran terhadap langkah Pelindo II dalam perpanjangan konsesi JICT karena komite tersebut berpikir parsial, tidak komprehensif A to Z mempelajari rekam jejak Pelindo II sampai kemudian munculnya gagasan perpanjangan konsesi tersebut.
Itu dari satu sisi. Sisi lainnya, aturan main tentang konsesi yang tidak dipatuhi Pelindo II harusnya juga menjadi pertimbangan lain bahwa perpanjangan konsesi JICT memang bermasalah dari aspek regulasi. Jangan berpikir debatable tentang sebuah aturan. Taati dan patuhi saja. Sami'na wa atho'na.
Pemikiran untuk memperdebatkan aturan hukum yang sudah jelas mengaturnya bisa dibaca sebagai sikap ketidakpatuhan terhadap hukum. Apalagi sampai muncul pemikiran untuk mendesak pemerintah menerbitkan Perpu pengganti UU Pelayaran.
Pertanyaan kita, aturan mana yang digunakan Pelindo II melakukan pembangunan Pelabuhan Sorong yang jelas2 berada di dalam area Pelindo IV? Jika dasarnya adalah UU Pelayaran dan PP Kepelabuhanan maka dalam perpanjangan konsesi JICT juga harus mengacu pada UU Pelayaran. Jangan parsial, tapi harus total patuh pada regulasi tersebut.
Rasanya tak perlu minta fatwa Jamdatun, tak perlu melakukan judicial review, tak perlu repot-repot desak pemerintah terbitkan Perpu yang salah satu syaratnya kondisi dlm keadaan genting. Segenting apakah kondisi Pelindo II jika konsesi JICT tidak diperpanjang?