KISAH KISRUH antara Serikat Pekerja Pelindo II (SPPI II) dan Dirut PT Pelabuhan Indonesia II (Pelindo II) RJ Lino sepertinya belum akan berakhir. Pekan lalu, Suku Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jakarta Utara mengirimkan surat kepada Pelindo II berisi saran agar mempekerjakan kembali puluhan mantan pejabat yang di PHK sepihak oleh Dirut Pelindo II RJ Lino. Dalam penilaian Sudinakertrans, dari mediasi yang dilakukan antara pihak pekerja dan perusahaan, PHK terhadap 23 mantan pejabat BUMN tersebut batal demi hukum. Selain itu, Sudinnakertrans juga minta Pelindo II membayar seluruh upah dan hak hak lainnya kepada 23 pekerja terhitung sejak Januari 2014 sampai ada penetapan dari Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang bersifat mengikat. Ketua Umum SPPI II Kirnoto mengatakan saran yang disampaikan Sudinnakertrans Jakut tersebut menunjukan bahwa pekerja tidak melakukan kesalahan seperti yang ditudingkan Dirut Pelindo II hingga berakhir dengan PHK. Sikap yang diambil pekerja semata-mata demi menyelamatkan perusahaan dari keterpurukan akibat salah kelola perusahaan. “Sikap kritis Serikat Pekerja tidak dalam konteks suka atau tidak suka terhadap direksi, tapi merupakan bentuk tanggung jawab sebagai mitra sejajar manajemen untuk bersama-sama memajukan perusahaan,” katanya. Karena itu, Kirnoto mengatakan pihaknya akan terus mengkritisi berbagai langkah dan kebijakan yang diambil perusahaan jika bertentangan dengan prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik. (good corporate governance/GCG tersebut). Salah satunya dalam hal pembangunan Terminal Kalibaru. Konsesi Selain menyoal pembangunan Terminal Kalibaru, Serikat Pekerja juga menyoroti pembahasan perpanjangan konsesi PT Jakarta International Container Terminal (JICT) yang kini sedang dilakukan Pelindo II. “Kami sudah mengirimkan surat kepada pemerintah mulai dari presiden hingga lembaga terkait lainnya perihal pembahasan perpanjangan konsesi JICT tersebut,” katanya. Dalam surat yang juga ditembuskan kepada dewan komisaris serta pihak otoritas pelabuhan itu, SPPI II menilai perpanjangan kerjasama pengoperasian JICT dan KSO TPK Koja terkesan dilaksanakan terburu-buru dan dipaksakan mengingat kerjasama pengoperasian dan KSO tersebut baru akan berakhir pada bulan Maret 2019 dan 2018. [caption id="" align="aligncenter" width="448" caption="Penandatanganan Mosi Tidak Percaya Terhadap Dirut Pelindo II"][/caption] Apalagi Komisi Pengawas Kalibaru (Oversight Comittee) yang dibentuk Pelindo II telah merekomendasikan tiga poin penting yakni: Pertama, pengelolaan PT JICT akan lebih baik jika dioperasikan oleh PT Pelabuhan Indonesia II (Persero) sendiri sehingga semua pendapatan akan dinikmati oleh Bangsa sendiri. Kedua, jika tetap diperpanjang maka seharusnya dilakukan dengan mekanisme lelang terbuka untuk mendapatkan optimalisasi harga penawaran terbaik (best value). Ketiga, proses perpanjangan sebaiknya dilaksanakan setelah Pemilihan Umum tahun 2014 sehingga dapat mengurangi hal-hal yang menjadi perhatian publik dan/atau hal lain yang tidak diinginkan. Selain itu, Serikat Pekerja juga mengkritisi pembicaraan konsesi yang akan diberikan Pelindo II kepada pengelola baru JICT. Karena menurut peraturan perundangan yakni UU 17/2008 tentang pelayaran, kewenangannya berada di lembaga Otoritas Pelabuhan (OP). Serikat Pekerja menilai perpanjangan kerjasama pengoperasian PT JICT secara sepihak oleh Pelindo II berpotensi menimbulkan persoalan hukum. “Kami berkesimpulan proses perpanjangan kerjasama pengoperasian PT JICT dengan cara menunjuk langsung mitra lama dapat berpotensi merugian negara karena tidak memberikan nilai terbaik (best value) dengan tidak adanya pembanding,” ungkapnya. Serikat Pekerja menduga dilakukannya perpanjangan kerjasama pengoperasian PT JICT adalah untuk mendapatkan fresh money dalam bentuk upfront payment untuk membiayai Proyek Pembangunan Pelabuhan Kalibaru. Padahal, dalam rencana awal pendanaan pembangunan Kalibaru, Pelindo II akan menggunakan dana dengan pola kemitraan dari mitra yang ditunjuk untuk kerjasama pengoperasian Kalibaru serta pinjaman perbankan yang dilakukan oleh anak perusahaan yang dibentuk dalam rangka pembangunan Terminal Kalibaru yaitu PT Pengembang Pelabuhan Indonesia. Dengan demikian, tidak mengganggu keuangan induk perusahaan. Ironisnya, sebagai mitra pertama yang dipilih untuk kerjasama pengoperasian Kalibaru, hingga saat ini Mitsui belum bersedia menandatangani kontrak sehingga dana yang diharapkan PT Pelindo II dari kemitraan baik berupa upfront fee maupun dana investasi suprastruktur belum dapat direalisasi. Tak hanya itu, belanganan ini sempat juga beredar kabar Mitsui memberikan signal batal dari kerjasama pengoperasian Kalibaru. Serikat Pekerja menduga signal pembatalan kerjasama tersebut karena Pelindo II belum dapat memberikan keyakinan kuat kepada investor tersebut terkait berbagai penyelesaian persoalan yang terjadi selama ini. Persoalan-persoalan tersebut antara lain penyelesaian jalan akses Kalibaru sebagai critical point project semakin tidak jelas dan complicated permasalahannya serta progres pembangunan Terminal Kalibaru yang terkesan berjalan lamban. “Akhir tahun 2013 lalu, Dirut Pelindo II menyebutkan progres pembangunan Kalibaru sudah mencapai 45%, sedangkan data yang kami peroleh dari konsultan pengawas pembangunan Terminal Kalibaru baru mencapai 13,9983%,” ungkapnya. Persoalan lainnya, pembangunan dermaga dan lapangan penumpukan yang menggunakan konstruksi deck on pile. Padahal, sebelumnya dirancang menggunakan konstruksi reklamasi. Perubahan ini berdampak pada pola pengoperasian yang bisa dilakukan menjadi kaku termasuk untuk pemilihan spek alat bongkar muatnya. Oleh sebab itu, demi kepentingan yang lebih luas sesuai dengan peran negara dalam kerangka mendorong perekonomian nasional yang lebih kompetitif di pasar global dan mengingat pentingnya peranan pelabuhan dalam instrumen tersebut, SPPI II menuntut dengan tegas agar rencana perpanjangan kerjasama pengoperasian JICTdan KSO TPK Koja tersebut dibatalkan. “Selanjutnya dilakukan audit secara menyeluruh atas carut marutnya pengelolaan Pelindo II untuk menghindari kondisi perusahaan yang semakin buruk sehingga berdampak pada biaya logistik nasional yang semakin tidak kompetitif,” pungkasnya.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H