[caption caption="Guntingan berita koran Rakyat Merdeka, Selasa (15/9) tentang kesiapan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) membantu Polri ungkap kasus dugaan pencucian uang Pelindo II"][/caption]
Meski dibungkus dengan istilah khas tour of duty, pencopotan Komjen Pol Budi Waseso dari posisinya sebagai Kabareskrim menjadi Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) tetap tidak bisa menutupi kecurigaan publik tentang alasan sesungguhnya di balik pencopotan tersebut. Publik tahu, sepekan sebelumnya, Jumat (28/8), Komjen Pol Budi Waseso memimpin langsung penggeledahan ruang kerja Dirut Pelindo II, RJ Lino untuk kepentingan pengembangan penyelidikan kasus dugaan korupsi pengadaan alat. Dan persis sepekan, Jumat (4/9), Kapolri mengumumkan pencopotan Komjen Pol Budi Waseso sebagai Kabareskrim.
Aroma tak sedap tentang alasan pencopotan Kabareskrim pun merebak.  Dugaan intervensi penguasa pun mencuat. Seolah membenarkan isu yang beredar: istana tidak suka Komjen Pol Budi Waseso membuat kegaduhan  di pelabuhan. Sebelumnya, Wapres JK mengaku menelepon Kabareskrim saat penggeledahan berlangsung untuk mengingatkan agar polisi berhati-hati dalam menangani dugaan kasus korupsi pengadaan alat di Pelindo II.
Komisi III DPR bereaksi. Mengecam pencopotan Kabareskrim Budi Waseso. Begitu juga Komisi VI yang meminta Menteri BUMN Rini Soemarno mencopot RJ Lino dari jabatannya sebagai Dirut Pelindo II. Komisi IX menyoroti persoalan ketenagakerjaan di Pelindo II mengacu pada laporan Serikat Pekerja tentang pemecatan sepihak yang dilakukan RJ Lino. Komisi III sepakat mengajak komisi V, VI dan IX DPR untuk membentuk Pansus Pelindo II.
Silang Sengkarut Pelindo II
Sejak Mei 2009, Menteri BUMN Sofyan Djalil menunjuk RJ Lino sebagai Dirut Pelindo II. Kehadiran RJ Lino seperti menorehkan harapan percepatan revitalisasi dan modernisasi pelabuhan di seluruh cabang Pelindo II. Apalagi di awal kehadirannya, RJ Lino banyak melontarkan gagasan besar tentang pelabuhan. Pekerja Pelindo II kagum dan terpukau.
Pada saat RJ Lino menjadi Dirut, posisi kas perusahaan Rp 1,7 Triliun. Kemudian ada tambahan kas masuk dari salah satu perusahaan mitra untuk sewa lahan Pelindo II selama 30 tahun sebesar Rp 1,3 Triliun. Diperkirakan sampai akhir tahun 2010 Pelindo II memiliki cadangan kas sekira Rp 5 Triliun.
Dengan alasan modernisasi pelabuhan, RJ Lino langsung tancap gas melakukan investasi secara besar-besaran.  Saat itu, untuk investasi alat saja diperkirakan mencapai Rp 2,7 Triliun. Pembelian alat-alat ini pun diduga tanpa kajian yang memadai. Tidak hanya itu, Lino pun meng-hire konsultan asing yang juga diduga menghabiskan biaya ratusan milyar rupiah. Dengan alasan mendongkrak kemampuan, investasi SDM dilakukan dengan biaya besar dan sempat disorot Serikat Pekerja Pelindo II tanpa roadmap yang jelas.
Bersamaan dengan investasi yang terkesan jor-joran, ketika itu mencuat isu tentang RJ Lino yang melakukan pembelian saham PT Bukaka Teknik Utama. Belakangan diketahui keluarga RJ Lino memiliki saham 46,6% di perusahaan tersebut melalui perusahaan Armadues Aqcuisitions yang dikendalikan menantunya. Pernyataan Wapres Jusuf Kalla tentang tidak ada saham keluarga RJ Lino di PT Bukaka Teknik Utama terbantahkan.
Tahun 2012 Pelindo II memulai pembangunan proyek Kalibaru melalui Perpres No 36/2012 dalam kondisi kas perusahaan mulai habis. Di sisi lain, upaya penarikan pinjaman jangka panjang belum berhasil. Hingga  akhirnya Pelindo II peroleh pinjaman talangan (bridging loan) dari Bank Mandiri dan BNI senilai Rp 1T dalam bentuk Kredit Modal Kerja (KMK) dengan jangka waktu setahun.
Di tahun 2012 pula wacana perpanjangan kontrak JICT sudah mulai digagas dengan inisiasi perpanjangan dari pihak Pelindo II. Â Sepertinya gagasan perpanjangan konsesi ini tidak terlepas dari ambisi besar Lino untuk melaksanakan proyek-proyek besarnya sehingga butuh back up dana yang juga besar.