[caption caption="Aksi Unjuk Rasa Pekerja JICT Menolak Perpanjangan Konsesi di Depan Istana Negara "][/caption]
Â
Di berbagai media, Direktur Utama Pelindo II RJ Lino menghina dan melancarkan berbagai tuduhan kepada Serikat Pekerja PT Jakarta International Container Terminal (JICT) yang menolak langkah sepihak Lino memperpanjang konsesi JICT ke perusahaan Hongkong, Hutchison Port Holding (HPH) sampai 2039 dengan harga murah.
Dalam pernyataannya, Kamis, 6 Agustus 2015 kemarin, Lino menuduh Serikat Pekerja JICT sebagai ‘bandit’, ‘melakukan sabotase’ dan ‘tidak nasionalis’.
Menanggapi tuduhan tersebut, Ketua Umum Serikat Pekerja JICT, Nova Sofyan Hakim menyampaikan bantahan terhadap pernyataan RJ Lino.
Pertama, pernyataan Lino sangat memalukan sebagai seorang Dirut BUMN. Ia terkesan ingin mengalihkan masalah dengan menyebarkan kebohongan melalui media massa kepada masyarakat luas.
Kedua, SP JICT tidak pernah melakukan sabotase sebagaimana yang dituduhkan Lino. Yang terjadi pada 28 Juli 2015 adalah aksi solidaritas para pekerja di JICT sebagai respons atas pemecatan secara sewenang-wenang dua anggota SP malam sebelumnya.
Pemecatan itu dilakukan tanpa alasan dan tanpa melalui prosedur peraturan perundangan yang benar. Adalah pihak Kapolda Metro Jaya yang harus turun tangan untuk meminta Lino patuh para peraturan perundangan. Begitu Lino bersedia patuh pada peraturan perundangan, anggota SP kembali bekerja.
Ketiga, yang diperjuangkan SP JICT adalah mencegah jangan sampai Lino dengan sewenang-wenang sebagai seorang Dirut menjual begitu saja JICT kepada pihak asing tanpa mengikuti ketentuan UU Pelayaran 2008 yang menyatakan pemberian konsesi seharusnya memperoleh persetujuan Menteri Perhubungan.
Dalam pandangan SP, JICT adalah sebuah aset negara yang memiliki manfaat ekonomi yang sangat besar bagi bangsa Indonesia. Kalaupun ada gagasan untuk melibatkan pihak asing dalam hal pemilikan dan pengelolaan, itu harus dilakukan dengan cara berhati-hati, membawa manfaat terbesar bagi bangsa Indonesia dan tunduk pada hukum yang berlaku di Indonesia. Yang membuat SP JICT heran adalah mengapa Lino mengabaikan begitu saja persyaratan dalam hukum Indonesia? Mengapa Lino begitu berkeras menjual JICT kepada Hutchison secara terburu-buru tanpa persetujuan Menteri Perhubungan? Apakah Lino memperoleh keuntungan dari penjualan itu?
Keempat, SP JICT menganggap justru Lino yang tidak nasionalis dengan menjual aset negara tanpa mengikuti hukum yang berlaku dengan harga tidak pantas pada pihak asing. Sungguh menggelikan bila Lino justru menuduh SP sebagai ‘tidak nasionalis’.
Kelima, SP JICT berharap agar masalah JICT tidak berlarut-larut, pemerintah segera menangani masalah penjualan aset bangsa ini dengan menempatkan kepentingan bangsa di atas segala-galanya. SP menghimbau Menko Kemaritiman, Menteri Perhubungan dan Menteri BUMN mengambil langkah tegas dan bijaksana. SP JICT menghimbau proses penjualan JICT ke HPH dihentikan dan ditinjau kembali sehingga ditemukan solusi yang membawa manfaat sebasar-besarnya bagi masyarakat luas.