"Isi tulisan ini merupakan hasil dialog dengan beberapa orang guru sebagai tanda empati terhadap  suasana hati yang dirasakan guru honorer di Garut"
Siapa yang mau jadi guru honorer? Jangan pikir jadi guru honorer ini cita-cita saya. Saya lulus kuliah, lalu ada sekolah yang kekurangan guru. Saya melamar dan diterima. Saya tidak bertanya berapa saya akan digaji, sesuai UMR di bawah UMR ataukah di atas UMR? Saya pasrah dan menerima apa adanya.
Kami perlu ada sebab setiap tahun ribuan guru PNS pensiun. Kami dibutuhkan untuk mengisi ruang kelas yang kosong. Tapi kami tak menganggap ini main-main. Ini profesi.
Saya bekerja sepenuh hati. Bukan karena ingin dipuji atasan atau karena ingin diberi upah yang layak. Saya bekerja karena itu suatu kewajiban yang harus ditunaikan, bagian dari ibadah, sebagai bakti untuk negeri kami tercinta, untuk masa depan Indonesia yang hebat.
Tapi siapa yang peduli pada nasib kami. Kami dituntut bekerja sepenuh hati tapi kami tak diberi hak yang layak dan cukup. Padahal pemerintah dan DPR telah menetapkan UMR tapi tampaknya itu bukan untuk kami. Bukan untuk kami. Sebab kami selalu luput dari pembicaraan di pemerintah pusat bahkan pemerintah daerah kabupaten yang paling dekat pada kami.
Yang jadi perhatian mereka, gaji buruh di negeri tercinta ini tidak boleh di bawah UMR. Tapi itu untuk buruh. Ya itu peraturan yang hanya berlaku pada buruh pabrik yang menghasilkan sepatu, tas, dan semua barang yang diperlukan dalam kehidupan manusia.
Padahal, di pundak kami ada tanggung jawab yang jauh lebih besar daripada menghasilkan barang. Kami adalah guru yang oleh setiap orang tua diharapkan dapat mengantarkan semua anaknya untuk menjadi manusia berakhlaq mulia, berbudi luhur, mencapai cita-cita yang mulia, masa depan yang cerah dan gilang gemilang.
Tugas kami, tak beda dengan guru senior kami yang berstatus pegawai negeri. Kompetensi kami pun diuji seperti guru PNS. Mungkin agar kami memenuhi kualifikasi, agar tak meragukan dalam menyiapkan manusia Indonesia masa depan yang hebat yang berdaya saing internasional, jadi ekonom kelas dunia, penguasa teknologi masa depan, pemimpin yang hebat, bahkan jutaan pengharapan yang menjadi impian orang tua.
Bagaimana mungkin kami dapat memenuhi harapan orang tua dan cita-cita tinggi calon manusia masa depan yang luar biasa jika keadaan hidup kami berada dalam serba kekurangan? Kami dituntut maksimal tapi kami diberi minimal.
Kami dituntut banyak tapi kami tak diberi apa-apa. Kami ini ibarat tentara yang harus menang berperang di medan laga tapi kami tak diberi senjata. Bagaimana mungkin kami bisa memenuhi semua harapan yang luar biasa itu jika hidup kami sendiri tidak tenang. Nasib kami tidak jelas.
Padahal, pada setiap kampanye pilkada, nasib kami selalu jadi komoditas yang menarik. "Jika terpilih nanti, saya akan memperhatikan nasib guru honorer. Kami akan mengangkat sekian ratus guru dari kategori anu". Ini diucapkan pada setiap janji kampanye. Hampir tak ada janji kampanye pilkada yang tak mengangkat isue ini. Ini tak lebih dari iming-iming janji yang jauh dari dipenuhi bahkan diingat pun tidak.