Pada bait ketiga penyairnya menyarankan agar cahaya itu diberikan kepada manusia yang hidup dalam balutan kemiskinan di kota. Mereka adalah pejuang yang setiap hari harus kerja keras tetapi mereka masih menyebut nama Tuhan.
Pada bait keempat, penyair menyebutkan bahwa yang berhak mendapatkan caya itu adalah "pemimpin negeri yang menulis kata kelaparan dan kemiskinan di buku agendanya" dan mewujudkannya dalam tindakan bukan sekadar "janji manis dari ludah yang berlelehan". Mereka pantas mendapatkannya karena mampu menahan godaan untuk mengingkari janjinya.
Pada bait kelima, penyair menobatkan para "tukang". Mereka layak memperoleh anugerah cahaya agar mereka menjadi orang yang diharapkan kembali ke jalan yang diridoi.
Penyair menutup puisinya ini dengan sebuah konklusi untuk menguatkan do'anya itu dengan dua kalimat yang tajam dan kuat memberi kesan. "Biarkan mereka semua bahagia. Â Dan cahayamu turun tepat pada sumbunya".
Tulisan saya ini hanya sebuah interpretasi subjektif, ditulis seketika, tidak berdasarkan kajian yang ilmiah dan intensif.Â
Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H