Mohon tunggu...
Asep Nurjamin
Asep Nurjamin Mohon Tunggu... Dosen - suka menulis dan membaca puisi

Sedang berusaha untuk menjadi orang baik

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Resonansi, Hadiah Cahaya dari Malamnya Mim

3 Juli 2018   07:59 Diperbarui: 3 Juli 2018   08:44 392
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

"Do'a Mim dalam Hadiah Cahaya Dari Malam"

Inilah puisi Mim dengan dunianya yang khas. Mengusung pesan dengan caranya sendiri, unik dan baru.

Banyak sekali puisi yang menarik yang lahir dari tangan Mim. Salah satunya adalah puisi berjudul "Hadiah dari Cahaya Malam" (HDCM) yang merupakan postingan paling aktual yakni tanggal 2 Juli 2018.

Setidaknya, ada dua hal yang ingin saya bicarakan dari HDCM ini. Pertama, masalah kebulatan pokok pembicaraan. Semua larik dalam puisi ini telah secara efektif  hanya membicarakan satu topik yaitu mengenai "cahaya malam". Ini menunjukkan bahwa semua bait dan larik dalam puisi ini telah berada dalam satu kesatuan yang utuh. Inilah yang disebut "unity".

Kehadiran unity dalam sebuah tulisan termasuk di dalam puisi, bagi saya sendiri, adalah wajib. Pemenuhan syarat unity inilah kiranya yang membuat HCDM terasa telah mengarahkan pembaca untuk fokus pada satu persoalan, satu tema.

Sejauh yang dapat saya tangkap, tema dari HDCM ini adalah "orang-orang yang berhak menerima cahaya malam".

Dari enam bait yang membangun puisi ini, dengan mudah dapat diidentifikasi tiga bagian yang menjadi syarat sebuah tulisan, baik karya ilmiah maupun sastra, yaitu bagian pembuka, inti, dan penutup.

Pada bait pertama Mim mengemukakan tentang "apa itu cahaya malam". Menurutnya ada keajaiban kecil laksana bintang yang hadir pada malam yang ganjil. Keajaiban itu adalah cahaya yang akan diberikan kepada orang, yang menurut penilaian si pemberi "tak pernah dihampiri kebahagiaan".

Pikiran saya mengasosiasikan kata kunci "cahaya malam" itu sebagai cahaya yang diberikan Tuhan. Jika puisi ini lahir pada bulan Ramadhan serta merta saya akan menganggapnya sebagai "lailatul qodar" akan tetapi karena ini sudah Syawal saya menganggapnya sebagai rahmah, berkah, dan kasih sayang Tuhan. Jadi dalam pikiran saya, "cahaya malam" merupakan sesuatu yang diberikan Tuhan kepada manusia atau mahluknya.

Pada bait kedua sampai keempat, Mim secara eksplisit mengusulkan kepada sang pemberi cahaya itu untuk memberikannya kepada orang-orang yang menurut Mim layak mendapatkannya.

Menurut penyair yang harus diberi cahaya itu adalah mereka yang masih hidup sederhana dan bersahaja, "menanak nasi pada tungku" dan masih hidup rukun dan memeluhara harmoni dengan sesama manusia, bahkan dengan sawah dan sungai yang menjadi urat nadi kehidupan warga desa. Lebih dari itu, mereka yang hidup di desa itu masih rajin berzikir dan menyebut nama-nama Tuhan pada saat subuh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun