Pimpinan Ponpes Al Zaytun Indramayu
Syeikh Abdul Salam Panji Gumilang, pria berperawakan tinggi besar dan berkulit agak gelap, adalah putra daerah kelahiran desa Sembung Anyar, Kecamatan Dukun, Kabupaten Gresik, Jawa Timur. Ia lahir tanggal 27 Juli 1946. Tamat Sekolah Rakyat di Gresik tahun 1959, masuk Pondok Modern Gontor tahun 1961 dan memperoleh gelar sarjana dari fakultas Adab IAIN Ciputat, Jakarta tahun 1969.
Lantas sempat menjadi guru Aliyah di Perguruan Mathla'ul Anwar, Menes, Pandeglang (Propinsi Banten), selama 8 tahun dan berhenti di tahun 1978.
AS Panji Gumilang terlahir bernama Abdus Salam bin Rasyidi. Namanya diganti menjadi Prawoto setelah menyatakan bai'at dan bergabung dengan gerakan NII Wilayah IX pimpinan Seno alias Basyar (alm) di tahun 1978. Ketika itu ia diangkat menjadi pejabat mas'ul jajaran Imarah untuk daerah Banten. Pernah di tahan di POMDAM Bandung selama 8 bulan dalam kasus GPI (Gerakan Pemuda Islam dalam peristiwa SU-MPR th 1978).
Di dalam tahanan, Abdus Salam satu sel dengan Shaleh As'ad dan Mursalin Dahlan. Sejak itulah Prawoto menjadi "fundamentalis" NII. Setelah menjalani masa tahanannya, ia bersentuhan secara intensif dengan para elite NII seperti Adah Djaelani, Aceng Kurnia, Tachmid Rahmat Basuki Kartosuwiryo, Toha Machfudz dan lain-lain yang kala itu dalam status buron setelah tertangkapnya HISPRAN (Haji Ismail Pranoto, awal Januari 1977) dan 23 tokoh komandemen gerakan NII di Jawa Timur. Kasus Hispran ini dikenal dengan nama Koji atau Komji (Komando Jihad).
Ketika para tokoh elite NII Adah Djaelani cs maupun elite NII Wilayah IX tertangkap, juga Seno dan H. Abdul Karim Hasan cs secara bersamaan tertangkap pada Agustus tahun 1981 di Jakarta, Prawoto kabur dan buron ke negeri Sabah Malaysia dengan membawa dana jama'ah, yang menurut sahabatnya berjumlah 2 miliar rupiah. Di Sabah Prawoto memperkenalkan dirinya sebagai pengusaha kayu dan besi tua (dari Indonesia) yang mengalami kebangkrutan.
Prawoto alias Abdus Salam Rasyidi dalam menjalani masa buron tersebut seringkali mondar mandir Banten-Jakarta-Sabah. Tempat Prowoto Abdus Salam Rasyidi singgah di Jakarta adalah di rumah kediaman Ustadz Rani Yunsih, Bidara Cina, Cawang. Sedangkan untuk ongkos tiket kembali ke Sabah seringkali dicukupi oleh HM Sanusi (yang waktu itu masih berdomisili di jalan Bangka, Mampang). Bantuan itu berhenti ketika HM Sanusi mendapat mushibah dijebloskan ke penjara oleh rezim ORBA (1985) dengan tuduhan terlibat kasus peledakan BCA (yang terjadi Oktober 1984).
Tahun 1987 Prawoto alias Abdus Salam kembali ke rumahnya di Menes, Pandeglang (kini provinsi Banten), dan bergabung kembali bersama H. Abd Karim Hasan, M.Ra'is Ahmad dan Nurdin Yahya dalam kelompok gerakan NII LK (Lembaga Kerasulan). Tahun 1990 Toto Salam --nama panggilan barunya-- dipercaya H Karim, Komandan I Wilayah IX untuk menjadi Ka Staf I Wil IX.
Tahun 1992 melakukan kudeta internal di Wil IX lantas menobatkan diri menjadi Komandan Tertinggi NII (Mudabir bin yabah) dan menetapkan wilayah IX sebagai Ummul Qura (Ibukota) NII. Nama baru pun dibuat, diantaranya adalah Syamsul Alam, Nur Alamsyah, Syamsul Ma'arif, Abu Toto, Toto Salam dan Abu Ma'ariq (nama yang terakhir ini digunakan untuk membuka account pada Bank CIC, tempat kelompok ini menyimpan dana jama'ah).
Tahun 1993 Abu Toto Ma'ariq diadili melalui Musyawarah karena perilakunya yang buruk dan berkhianat terhadap kawan sendiri. Antara lain mengakibatkan H Muhammad Ra'is Ahmad ditangkap dan ditahan dalam waktu yang cukup lama. Selain itu, Abu Toto Ma'ariq dinilai tidak pantas memimpin KW IX. Musyawarah pimpinan KW IX akhirnya memutuskan Abu Toto dipecat dari jabatan Mudabir bin yabah (komandan sementara) hasil kudeta tahun 1992 tersebut. Tetapi Abu Ma'ariq membandel, ia tetap berjalan dengan orang-orangnya dan justru akhirnya mampu membangun KW IX membesar.