Mohon tunggu...
Zulfa Salsabila Asep Kurnia
Zulfa Salsabila Asep Kurnia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Yakin aja

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kilas Balik Pemberontakan DI/TII Jawa Barat: Salahkah Kartosuwiryo?

23 Desember 2022   10:00 Diperbarui: 23 Desember 2022   10:09 416
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

60 Tahun sudah pengeksekusian salah satu tokoh yang pernah berjuang memerdekakan Indonesia, Dia adalah SM Kartosuwiryo. Pria berkelahiran 7 September 1905 tersebut harus dieksekusi akibat aksinya yang dinilai mengancam kedaulatan Republik Indonesia di masa silam, bahkan Ir. Sukarno sebagai sahabat satu gurunya meneteskan air mata pada saat menandatangani surat pengeksekusian Kartosuwiryo.
Pemberontakan itu dikenal dengan nama DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia). Kartosuwiryo mulai mempropagandakan pembentukan Negara Islam Indonesia pada 1948. Aksi ini dilakukan oleh Kartosuwiryo sebagai bentuk kekecewaan terhadap pemerintah Republik Indonesia yang harus menerima kenyataan pahit karena banyak wilayah Republik Indonesia yang harus berkurang karena perjanjian Renville yang dilakukan antara Pemerintah Republik Indonesia dan Belanda yang hanya mengakui Sumatera, Jawa Tengah, dan Yogyakarta sebagai wilayah Republik Indonesia, tak hanya itu, Tentara Indonesia saat itu yang berada di wilayah selain yang diakui Belanda harus menarik diri sehingga membuat kekosongan militer di Jawa Barat.  Sayangnya saat Republik Indonesia kembali menguasai seluruh wilayah di Indonesia (kecuali Irian Jaya) aksi pemberontakan Kartosuwiryo tersebut semakin meledak dan semakin mengancam kedaulatan Republik Indonesia. Seusai perjanjian tersebut, Kartosuwiryo mulai melancarkan pemberontakan serta menyiapkan berbagai keperluan untuk membentuk Negara Islam Indonesia. Awalnya gerakan ini hanya dilancarkan di Jawa Barat sebagai daerah domisili Kartosuwiryo. Sehingga pada akhirnya gerakan pemberontakan ini menyebar di beberapa wilayah Indonesia, daerah tersebut adalah Aceh yang dipimpin oleh Daud Beureuh, Jawa Tengah yang dipimpin oleh Amir Fatah, Kalimantan Selatan yang dipimpin oleh Ibnu Hadjar, dan Sulawesi Selatan yang dipimpin oleh Kahar Muzakar.

Jalannya Peristiwa Pemberontakan DI/TII di Jawa Barat

Menanggapi hasil perjanjian Renville tersebut pada tahun 1948, S.M. Kartosuwiryo dan Raden Oni Syahroni yang merupakan Laskar Sabilillah bertemu untuk membahas kekecewaan serta dampak bagi Rakyat Jawa Barat terhadap perjanjian Renville, sehingga menghasilkan keputusan bahwa anggota pasukan Sabilillah dan Hizbullah yang ikut pindah mengikuti jejak tentara Indonesia ke Yogyakarta akan dilucuti senjatanya baik secara kekerasan ataupun secara damai.  Melihat situasi yang demikian, Kartosuwiryo mengambil kesempatan di mana pada tanggal 10-11 Februari 1948 ia mengadakan sebuah Konferensi Pemimpin Umat Islam di seluruh wilayah Jawa Barat yang bertempat di Desa Pamedusan, Cisayong, Tasikmalaya, Jawa Barat. Konferensi tersebut kemudian memunculkan ide pembentukan Negara Islam Indonesia (NII). Hasil lain dari konferensi tersebut juga menghendaki terbentuknya Tentara Islam Indonesia (TII).
Kartosuwiryo sebagai tokoh utama DI/TII di Jawa Barat dan para pengikutnya amat sangat menginginkan terwujudnya pembentukan Negara Islam Indonesia. Oleh karenanya ia menyusun berbagai rencana. Pada tanggal 1-2 Maret 1948, Kartosuwiryo mengadakan konferensi lanjutan, yang mana dalam konferensi tersebut ia dan para pengikutnya mendesak pemerintah Indonesia untuk membatalkan seluruh perundingan dengan Belanda, jika tidak maka kelompok Islam tersebut akan membentuk suatu pemerintahan baru dengan dasar demokrasi Islam dan meminta pemerintah RI untuk bubar.
Pada akhir tahun 1948, bertepatan pada peristiwa diserangnya Ibu Kota Yogyakarta oleh Belanda menjadi peluang besar bagi Kartosuwiryo. Ia mengambil kesempatan itu untuk mempropagandakan apa yang diinginkannya serta memberikan pengumumpan komando perang suci total melawan Belanda. Di sinilah Tentara Islam Indonesia (TII) diperintahkan untuk berjuang agar terwujud sebuah Negara Islam Indonesia.  Mendapat kabar bahwa Ibu Kota Republik Indonesia di Yogyakarta dikuasai oleh Belanda, Kartosuwiryo berpikir dan beranggapan bahwa pemerintah Republik Indonesia telah hancur. Oleh karena itulah dalam rangka meneruskan perjuangan kemerdekaan Indonesia, Kartosuwiryo kemudian mengumumkan berdirinya Negara Islam Indonesia beserta perlengkapan di dalamnya.  
Seiring berjalannya waktu ketika Divisi Siliwangi melaksanakan Hijrah dari Jawa Tengah ke daerah asalnya, yakni Jawa Barat mengalami situasi yang berat. Mereka harus menghadapi kekecewaaan rakyat Jawa Barat sehingga menumbulkan beberapa permasalahan yang berakhir pada perang tiga pihak, yaitu TNI, TII, dan Belanda.  Yang mana dalam situasi ini, TNI harus bekerja ekstra sebab harus menghadapi dua musuhn yakni TII dan Belanda.
Situasi perang seperti ini terus berlanjut hingga pada pertengahan tahun 1949 ketika diadakannya perjanjian Roem Royen. Setelah hasil perjanjian Roem Royen dikeluarkan kemudian terjadi kekosongan kekuasaan di beberapa daerah. Di sinilah Kartosuwiryo memanfaatkan peluangnya, sehingga pada akhirnya ia memproklamasikan Negara Islam Indonesia pada 7 Agustus 1949.

Langkah Pemerintahan Indonesia sebagai aksi penumpasan terhadap gerakan pemberontakan DI/TII Jawa Barat

Pemberontakan ini pada awalnya sulit untuk dipadamkan dikarenakan beberapa faktor yaitu: adanya semangat jihad, wilayah yang mendukung untuk bergerilya, fokus tentara Indonesia terpecah untuk menghadapi Belanda, sebagian rakyat bersimpati terhadap perjuangan Kartosuwiryo.  
Pemerintah RIS berusaha menyelesaikan pemberontakan Kartosuwiryo ini dengan jalan damai. Sebuah panitia beranggotakan Zainul Arifin (Kementerian Agama), Makmun Sumadipraja (Kementerian Dalam Negeri), dan Kolonel Sadikin (Kementerian Pertahanan) ditugasi mengadakan kontak dengan Kartosuwiryo, namun usaha ini gagal. Begitu pula usaha Wali Alfatah pada masa Kabinet Natsir .  Kartosuwiryo hanya bersedia berunding apabila pemerintah mengakui eksistensi NII atau yang kemudian dikenal dengan DI.
Setelah usaha secara damai itu gagal, TNI melancarkan operasi militer, yakni Operasi Merdeka. Operasi ini bersifat insidentil, lokal, dan rutin tanpa rencana yang tegas dan sistematis. Serangan-serangan DI/TII yang bersifat geriliya itu belum dihadapi dengan taktik antigeriliya. Oleh karena itu, inisiatif lebih banyak dilakukan oleh DII/TII dalam melakukan penyerangan . Di samping itu, kekuatan TNI juga terpecah sebab sebagian pasukan terpaksa dikirim ke luar Jawa untuk menghadapi DI/TII di Sulawesi dan Aceh.
Barulah pada tahun 1957 TNI menyusun rencana operasi yang dikenal sebagai "Rencana Pokok 21", inti dari operasi ini adalah untuk emnahan DI/TII di daerah-daerah tertentu untuk selanjutnya dihancurkan. Operasi penghancuran dimulai di daerah Banten dan selanjutnya bergerak ke arah timur. Dalam melaksanakan operasi ini rakyat diikutsertakan, antara lain untuk mencegah masuknya anggota DI/TII ke desa-desa. Opeasi ini kemudian pada tahun 1960, berkembang menjadi Operasi Pagar Betis yang berhasil memukul mundur pasukan pemberontakan DI/TII Jawa Barat dan akhirnya Kartosuwiryo tertangkap dan dijatuhi hukuman mati. Tidak sedikit penderitaan yang ditanggung rakyat Jawa Barat karena gerombolah DI/TII, sebab pemberontakan yang mereka lakukan meneror rakyat. Dan untuk menyempurnakan kehidupannya, DI.TII sering merampok terutama masyarakat yang berada di pelosokan.

Analisis Kasus

Jika kita telaah lebih mendalam. Apa yang dilakukan Kartosuwiryo untuk melancarkan aksi pembentukan NII tidak salah, karena saat Kartosuwiryo mempropagandakan NII Kondisi Jawa Barat sedang Vacum of Power, dengan kata lain tidak ada Negara yang berkuasa. Namun saat Republik Indonesia berhasil menguasai kembali wilayah Jawa Barat dan daerah DI/TII lainnya posisi Kartosuwiryo yang tetap melancarkan aksi pemberontakan tersebut adalah suatu kesalahan dan langkah pemerintah Republik Indonesia untuk menumpas pemberontakan ini adalah suatu keharusan bagi suatu negara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun