Cakarku merenggang, punggungku penat
menanti tikus-tikus keluar persembunyian
yang tak kunjung mencicit juga
di rumah
juragan kaya
yang menjadi
pengisi daftar panama papers.
Cakarku bergeretak, mataku nyalang
menatap tikus-tikus mulai mengendap
menyeret karung-karung dengan tulisan $
tak penting bagiku,
aku hanya haus
darah-darah tikus
yang telah menghisap madu negeri ini.
Tatapanku tajam,
menyala di kegelapan
aku siap menerkam tikus-tikus
namun urung,
lihat tikus-tikus digiring juragan
untuk beristighfar ketika berkumandang adzan maghrib.
Tatapanku melemah,
tikus telah bersekongkol dengan tuan rumah
apa aku harus menerkan juragan?
Atau aku tunggu wajahnya berubah
menjadi tikus wirog?
Hingga kelak perutku kenyang
mencincangmu?
Ngeooong!
Duk!
Aku kaget, ketika sepatu menendang pantatku
aku geram
cakarku kembali mengembang
mataku garang,
aku tatap dia.
sialan!
Itu atasan tuan rumah tadi!
Rengasdengklok, 04-16
(Kutulis sambil menanti adzan maghrib)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H