Mohon tunggu...
asep jamaludin
asep jamaludin Mohon Tunggu... -

menggeluti dunia filsafat dan pendidikan menjadi salah satu hobi saya ketika sedang berada disuatu tempat yang sendiri. sharing ide dan eksplorasi desain nalar merupakan makanan sehari-hari yang ga pernah jelas dan mengarah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Islam & Teroris

20 Januari 2011   10:26 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:21 231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Terdapat beberapa fenomena menarik mengusung berakhirnya abad ke-19, diantaranya dengan praktik kehebatan antar negara yang ditengarai oleh perang Dunia I dan II yang melenyapkan jutaan nyawa manusia sia-sia, pemerkosaan hak dalam keyakinan antar satu aliran dengan aliran lainnya—sebagaimana yang disebut-sebut oleh Samuel P Hutington dengan benturan antar peradaban, terorisme pada beberapa golongan dalam Islam, Afganistan diobrak-abrik, Irak diserbu oleh Amerika, Korea Utara dipaksa bertekuk lutut, rakyat Palestina terus-menerus dibantai oleh Israel, budaya kehidupan manusia yang bernuansa “cuek” dan lain sebagainya. Aneka panorama ini pada satu sisi mengaminkan pendapatnya Zeno pada 2500 tahun yang lalu bahwa seluruh benda—baik benda hidup maupun benda mati—di alam semesta ini bergerak kepada arah kehancuran. Namun pada sisi lain mensimbolkan bahwa neraca nilai dalam diri dan kehidupan manusia sudah tidak lagi seimbang. Sehingga menggelitik fikiran untuk bertanya, ada apa dengan kita (manusia)?.

Mencermati aneka panorama tersebut Dedi Supriadi mensinyalir bahwa semua itu adalah buah atau akibat yang berangkat dari konflik antara nilai-nilai yang diyakini oleh manusia dalam kancah multi peradaban ini. Memang sekilas nilai bukanlah hal yang luar biasa dalam kehidupan manusia, namun pada tataran pemaknaannya, form nilai sungguh telah memberikan dampak yang luar biasa dalam konstelasi kehidupan manusia dalam berbangsa, berbudaya dan beragama. Oleh karenanya eksistensi nilai yang terpancar dari dalam diri manusia menjadi sebuah noktah merah kehidupan yang menghendaki akan kebijaksanaan-kebijaksanaan dalam setiap pertimbangan moral (moral decision).

Manusia hidup dalam pelbagai lingkungan ekologi atau dalam pandangan sosiolog, mereka (manusia) hidup dalam berbagai lingkungan sosial yang berbeda-beda antara satu dengan lainnya (pranata sosial). Perbedaan lingkungan sosial ini berpengaruh kepada sistem nilai yang dibangun berdasarkan pada sistem kebudayaan atau pranata sosial yang meliputi adat-istiadat, norma-norma. Contohnya saja dalam tradisi bertamu, bagi kebudayaan kita, ketika memasuki rumah maka alas kaki kita harus dilepas tetapi topi tidak dipermasalahkan berbeda dengan tradisi di Barat, yang lebih berkonsentrasi pada topi yang harus dilepas ketika memasuki sebuah ruangan/rumah sedangkan alas kaki tidak perlu dilepas.

Sementara itu, di ’ars konstelasi pemikiran dalam skala dunia relatifitas nilai semakin bervariasi dengan mengkristalnya paradigma Newtonian yang mekanistik-eksploitatif dan paradigma Cartesian yang dualistik pada berbagai fondasi kehidupan manusia yang diantaranya meliputi bidang sains, teknologi, ekonomi, kedokteran hingga pada bidang psikologi modern. Jikalah demikian kenyataannya maka benarlah reflikasi Capra yang mengindikasikan bahwa terdapat bahaya besar yang akan datang menjemput manusia dimasa depan.

Dengan hadirnya fenomena ini, sedikitnya para ahli dari berbagai bidang mulai memikirkan dan mencari solusi yang tepat untuk menghindari bahaya besar yang akan datang tersebut. Mulai dari wacana etika hingga aplikasi moral dalam kehidupan pun diketengahkan dan menjadi topik yang hangat dalam kancah pemikiran kontemporer. Namun demikian, pembahasan ini penulis membatasinya hanya dalam bidang pendidikan, diantaranya melalui fenomena yang dihadirkan pendidikan emosional yang dipelopori oleh Daniel Goleman, pendidikan karakter oleh Dorothy hingga pendidikan Nilai.

Baik membicarakan masalah emosional, karakter, moral dan etika kesemuanya itu pada dasarnya bermuara pada suatu frame of thinking yang sama yaitu nilai. Ketika nilai yang dipahami hanya secara parsial, otomatis pemahaman individu maupun kelompok dalam melakukan keputusan moral (moral decision) akan bernuansa parsial pula sehingga berfrekwensi semi holistik. Hal ini karena, secara sederhana nilai itu adalah sebuah makna yang kemudian akan membentuk suatu sistem nilai dari nilai yang dipahaminya itu. Dengan demikian maka sangat penting memahami dan mengenal dengan jelas what is a value?.

Dari peliknya konstelasi kontemporer tersebut, Islam yang dikenal oleh dunia sebagai “teroris” dalam inti ajaran sebenarnya adalah agama yang senantiasa menanamkan nilai-nilai kebaikan dalam kehidupan ini, mulai dari yang bernuansa partikular hingga universal. Namun paradigma dualistik Cartesian dan mekanistik-ekspoitatif-nya Newtonian telah memberikan corak yang cukup signifikan dalam weltanschàün dunia umumnya dan parahnya kedua paradigma ini merasuk dalam pemikiran cendikia muslim, sehingga lahirlah sosok-sosok dengan kepribadian ganda yang terguncang penyakit split personality.

Dalam pada itu Antara Akhlak, moral dan etika senyatanya memiliki kesejajaran makna yakni segala sesuatu yang berhubungan dengan watak . Watak manusia secara sosiologis dibentuk oleh sistem nilai yang ada dalam suatu lingkungan ekologi. Oleh karenanya watak manusia antara satu dengan lainnya tidak sama—walaupun kembar secara pisik sekalipun. Namun demikian, fakta akan perbedaan tersebut telah dijelaskan pada 14 abad silam yang diabadikan dalam al-Qur’ân pada surat Hujurat ayat 13, yang Artinya: “sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”

Inilah bukti yang dapat dijadikan sebagai sandaran bagi siapa saja yang mengaku dirinya beriman kepada Allah dan bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan-Nya. Pada ayat termaktub, Tuhan menegaskan bahwa manusia tercipta dari tanah dan berjenis dua yakni laki-laki dan perempuan dan Dia pun menjadikan manusia berbangsa-bangsa dan berkelompok. Dari kelompok kehidupan inilah kita dikenalkan dengan istilah masyarakat.

Tuhan menjadikan manusia hidup dalam sebuah kelompok manusia dimaksudkan agar saling mengenal antara satu dengan lainnya, sehingga dengan perkenalan (introduce) tersebut dapat terbinalah hubungan interaksi yang harmonis. Oleh karena itulah manusia menurut Dr. Rohmat Mulyana disebutkan sebagai homo concors, yakni makhluk yang dituntut hidup secara harmonis dalam lingkungan masyarakatnya . Dalam kebergantungan tersebut tersirat sistem nilai yang berpretensi untuk membentuk karakter dan kepribadian seorang individu.
Dari penjelasan singkat tersebut, kiranya perlu ditelaah lebih dalam lagi simbol nilai tersebut dengan melacaknya melalui sistem nilai tersebut yang dibangun berdasarkan pada framework suatu lingkungan kelompok berfikir.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun