Mohon tunggu...
asep irman
asep irman Mohon Tunggu... pegawai BUMN kelistrikan -

orang biasa yang ingin luar biasa

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Jangan Sampai Terulang Masalah 10.000 MW di 35.000 MW

20 April 2016   15:41 Diperbarui: 20 April 2016   15:50 328
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Presiden Jokowi melakukan peresmian Program 35.000 MW (Sumber www.bumn.go.id)"][/caption]Dulu ada jargon yang sangat lekat dengan birokrasi negeri ini: Kalau bisa dipersulit, kenapa harus dipermudah? Itulah guyonan yang mungkin buat sebagian orang pada waktu lalu bukan sekedar guyonan, karena mereka merasakannya sendiri.

Karena kondisi itulah negara kita gagal bersaing dengan negara-negara lain termasuk dengan negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, Thailand, dan Brunai. Yang paling mengejutkan adalah fakta bahwa Vietnam sudah menyalip Indonesia. Padahal ketika kita sudah masuk tahap pembangunan dan sudah merdeka beberapa dekade, Vietnam masih berkutat dengan perang di tahun 1970-an.

Salah satu faktor yang menyebabkan Indonesia kalah bersaing adalah tingkat kemudahan investasi terutama yang berkaitan dengan pengurusan izin. Untuk mengurus izin usaha saja banyak yang harus dilalui dan banyak institusi yang harus dihadapi. Selain prosedur yang berbelit, juga ada unsur-unsur nonteknis yang ikut memperburuk kondisi seperti suap. Untuk hal ini kita bisa lihat fakta di media massa tentang banyaknya pejabat yang terjaring operasi tangkap tangan (OTT) dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena menerima suap dari pengusaha.

Anehnya tidak hanya pihak swasta yang merasakan sulitnya menghadapi birokrasi di negeri ini, tapi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pun merasakan hal yang sama. Padahal segala yang dilakukan oleh BUMN adalah untuk kepentingan umum dan atas nama pemerintah.

Listrik sudah menjadi kebutuhan yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari dan kebutuhannya meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini tentu saja membutuhkan penambahan pembangkit-pembangkit baru berikut dengan jaringan transmisinya PLN sebagai salah satu BUMN yang bergerak di industri kelistrikan mendapatkan penugasan untuk menambah kemampuan pasokan listrik dengan pembangunan pembangkit-pembangkit baru beserta jaringannya.

Tahun 2006 pernah dicanangkan percepatan pembangunan pembangkit 10.000 megawatt (MW) melalui Peraturan Presiden (PP) 71/2010. Namun sampai saat ini belum berhasil semuanya. Dan kalaupun berhasil pasti akan terlambat dari jadwal yang telah ditentukan. Sehingga risiko kekurangan pasokan listrik masih menghantui pada saat penugasan 10.000 MW PLN dibiarkan berjalan sendiri dan menghadapi seluruh permasalah pembangunan proyek layaknya sebuah perusahaan swasta.

Banyak hal yang disebabkan faktor nonteknis menjadi penghambat dalam pembangunan proyek pembangkit. Permasalahan perizinan, pengadaan tanah serta dukungan berbagai pihak terkait yang dirasa masih minim, membuat beban PLN bertambah besar dalam mensukseskan program 10.000 MW ini. Belum lagi risiko permasalahan hukum yang mungkin saja akan menimpa PLN dalam kaitannya dengan tugas yang diembannya. Hasilnya adalah proyek-proyek 10.000 MW masih ada yang belum selesai.

Setelah 10.000 MW, muncul lagi program 35.000 MW, yang kalau dilihat dari angkanya jauh lebih besar. Tentu saja tantangan PLN akan semakin berat. Memang porsi PLN dalam program 35.000 MW ini hanya sekitar 10.000 MW dan swasta sekitar 25.000 MW. Namun bukan berarti beban PLN lebih ringan. Hal ini dikarenakan semua pengembang swasta tetap terkait dengan sistem yang ada di PLN dan harus sesuai dengan rencana pengembangan listrik PLN dan Kementerian ESDM. Selain itu PLN juga harus menandatangani perjanjian jual beli tenaga listrik dengan pengembang listrik swasta.

Kita semua pasti sepakat bahwa kendala dan permasalahan di program 10.000 MW jangan sampai terjadi di program 35.000 MW. Untuk itu program 35.000 MW harus terus dikawal oleh semua pihak, tidak hanya oleh PLN. Sehingga permasalahan yang ada bisa diselesaikan dengan membuat aturan yang bisa mengakomodir permasalahan.

Permasalahan terkait aturan-aturan yang saling mengunci seharusnya segera diurai, bahkan kalau perlu dibuat perubahan-peraturan di atasnya agar peraturan di level bawahnya bisa menyesuaikan dan tidak terjadi benturan yang saling mengunci. Kita sangat berterima kasih kepada pemerintah saat ini yang sudah berani melakukan perubahan peraturan yang sekian lama dianggap tabu. Sebagai salah satu contoh adalah terbitnya PP 104/2016 dan PP 105/2016 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan, yang menyelesaikan beberapa masalah atau kesulitan yang diakibatkan peraturan di bawahnya.

Dalam PP tersebut begitu banyak kemudahan yang akan didapat oleh pelaksana proyek infrastruktur yang akan menggunakan kawasan hutan. Yang paling dirasakan oleh proyek pembangunan pembangkit adalah untuk genangan atau waduk. Peraturan lama mengharuskan proyek itu dilakukan melalui mekanisme tukar-menukar kawasan hutan yang proses dan syaratnya sangat banyak. Sementara dalam PP yang baru ini dialihkan menjadi mekanisme pinjam pakai kawasan hutan yang persyaratannya relatif lebih sederhana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun