Mohon tunggu...
Asep Imansyah
Asep Imansyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S1-Ilmu Sejarah Universitas Padjadjaran

Hobi membaca dan menulis tentang sejarah baik fiksi maupun non-fiksi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Sejarah Masuknya Islam di Majalengka: Peran Ulama dan Kerajaan Lokal dalam Islamisasi Masyarakat

23 September 2024   18:35 Diperbarui: 25 September 2024   07:06 265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sunan Gunung Jati, Penyebar Islam di Majalengka. Sumber: 5antriblogspot

Sejarah Masuknya Islam di Majalengka: Peran Ulama dan Kerajaan Lokal dalam Islamisasi Masyarakat

Islam berkembang setelah Nabi Muhammad SAW wafat. Berbagai kerajaan Islam pun mulai muncul, seperti kerajaan Ummayah, Abbasiyah, Turki Saljuk, dan Kekhalifahan Ottoman yang menjadi kerajaan besar di dunia. Islam tersebut tersebar sampai ke Samudera Atlantik dan Asia Tenggara, salah satunya Indonesia yang masih dipengaruhi Hindu-Buddha kala itu. Islam di Indonesia disebarkan secara damai melalui berbagai saluran, yaitu pernikahan, perdagangan, dan budaya (Hajar, 2022: 51). Ada beberapa teori yang masih diperdebatkan oleh berbagai ahli terkait dengan waktu masuknya Islam ke Indonesia. Teori Gujarat berpendapat bahwa Islam masuk melalui pedagang dari India pada abad 13 M. Teori ini mempunyai bukti yaitu batu nisan yang memiliki corak Gujarat. Sementara itu, teori Arab mengungkapkan bahwa penyebaran Islam dimulai pada abad 7 M melalui para pedagang yang berinteraksi dengan komunitas Islam di pesisir. Ada pula teori Persia yang menyebutkan bahwa Islam masuk oleh orang-orang Persia sekitar abad 13 M. Meskipun semua teori tersebut memiliki bukti dan pendukung, tapi masuknya Islam diyakini tersebar oleh para pedagang yang menikah dengan wanita pribumi (Hajar, 2022: 52-55).

Setelahnya Islam mulai menyebar dan berkembang, termasuk Majalengka yang tidak bisa dipisahkan dari peran penting wilayah Cirebon sebagai pusat penyebaran Islam di Jawa Barat. Sejak tahun 1513, Tome Pires mencatat bahwa pelabuhan Cirebon selalu disinggahi oleh kapal-kapal dari negara lain. Dari pelabuhan ini, berbagai komoditas diekspor dalam jumlah besar, seperti beras, makanan, dan kayu yang digunakan sebagai bahan pembuatan kapal. Menurut catatan sejarah lokal yang dicatat oleh Hageman (1866), masyarakat tatar Sunda mengenal ajaran Islam yang dibawa oleh Syekh Purwa di Cirebon dan Galuh pada tahun 1337 M. Haji Purwa, putra dari Kuda Lalean, memeluk Islam saat melakukan perjalanan dagang ke India, di mana ia bertemu dengan seorang saudagar Arab yang mengislamkannya. Setelah itu, Haji Purwa berupaya untuk mengislamkan adiknya yang berkuasa di kerajaan pedalaman tatar Sunda, namun usahanya tidak berhasil. Akhirnya, Haji Purwa meninggalkan Galuh dan menetap di Cirebon Girang. Diperkirakan, Haji Purwa ini identik dengan Syekh Maulana Saifuddin, orang Islam pertama yang tinggal di Cirebon. Selama tinggal di Cirebon Girang, ia aktif menyebarkan ajaran Islam. Pada masa itu, Cirebon Girang dipimpin oleh Ki Gedeng Kasmaya, yang masih memiliki hubungan saudara dengan penguasa di Galuh (Hajar, 2022: 58-59) (Herlina dkk, 2011:12-15).

Penyebaran agama Islam di wilayah Majalengka dilakukan oleh Syarif Hidayatullah sebagai salah satu tokoh Wali Songo yang berperan besar dalam Islamisasi di Jawa Barat. Syarif Hidayatullah, yang juga dikenal sebagai Sunan Gunung Jati, tidak hanya berfokus di Cirebon tetapi juga menjangkau wilayah-wilayah sekitarnya, termasuk Majalengka. Melalui dakwah dan ajarannya yang menggunakan pendekatan budaya dan nilai-nilai lokal, Syarif Hidayatullah berhasil mengajak masyarakat setempat untuk memeluk Islam. Pendekatan ini dapat membuat masyarakat tertarik untuk memeluk agama Islam. Masyarakat yang telah masuk Islam pun diajarkan hal-hal tentang keagamaan yang baik dan benar (Herlina dkk, 2011: 20-24). 

Masuknya Islam ke Majalengka juga tidak dapat terlepas dari peran Kerajaan Talaga Manggung pada masa pemerintahan Sunan Parung di abad 14 dan 15 M. Pada masa itu, pengaruh Islam mulai membawa perubahan signifikan terhadap tatanan kehidupan dan pemerintahan kerajaan. Sebelumnya, kekuasaan di Kerajaan Talaga diwariskan secara turun-temurun, tapi dengan masuknya Islam, sistem pemerintahan mulai mengacu pada Cirebon sebagai pusat kekuasaan Islam. Sekitar abad 14 M, ketika masa pemerintahan Ratu Simbarkencana, agama Islam mulai menyebar ke daerah-daerah kekuasaannya yang dibawa oleh para Santri Cirebon. Kala itu, pemerintahan pindah ke sebelah utara Talaga bernama Walangsuji dekat kampung Buniasih. Setelah wafat digantikan putranya yang bernama Sunan Parung, penguasa kerajaan saat itu yang memiliki seorang putri bernama Sunyalarang atau Ratu Parung, lalu menikah dengan Ranggamantri, keturunan Prabu Siliwangi dari Kerajaan Pajajaran. Setelah Sunan Parung wafat, Ratu Parung Sunyalarang melanjutkan takhta kerajaan dengan dukungan suaminya, Raden Ranggamantri. Di bawah pemerintahan mereka, Islamisasi di wilayah Talaga semakin kuat setelah mereka secara resmi memeluk Islam di bawah bimbingan Sunan Gunung Jati dari Cirebon. Sunan Gunung Jati memberikan gelar Pucuk Umum kepada Raden Ranggamantri atas kegigihannya dalam menyebarkan Islam di Kerajaan Talaga, yang membawa perubahan besar dalam pemerintahan dan budaya di wilayah Majalengka. Prabu Pucuk Umum adalah penguasa Talaga yang pertama kali masuk Islam. Agama Islam ini telah berkembang ke daerah kekuasaannya antara lain, Maja, Rajagaluh, dan Majalengka. Tetapi, menurut sumber lain, raja yang memeluk Islam pertama kali adalah Aria Wangsa Goparana yang seorang putra dari Sunan Ciburang, cucu Sunan Wanaperih, cicit Sunan Parung Gangsa (Kosoh, 1994: 129 dalam Kartika, 2007: 6-8). Setelahnya pada abad 15 M, Majalengka telah didominasi oleh agama Islam. 

Daerah-daerah yang masuk dalam wilayah Kesultanan Cirebon dan telah memeluk agama Islam mencakup Talaga, Maja, dan Majalengka. Penyebaran Islam di Majalengka dimulai dengan para bupati dan tokoh pemerintahan yang terlebih dahulu masuk Islam, yang kemudian memainkan peran penting dalam pengislaman masyarakat setempat. Penyebaran ini diperkuat oleh sejumlah tokoh penting, seperti Dalem Sukahurang atau Syech Abdul Jalil dan Dalem Panungtung yang aktif menyebarkan Islam di wilayah Maja. Di Talaga, Pangeran Suwarga turut berperan dalam proses Islamisasi, bersama tokoh lainnya seperti Pangeran Muhammad, Siti Armilah, Nyai Mas Lintangsari, dan banyak ulama serta pemuka masyarakat lainnya. Menurut Asikin Widjajakusuma, pengislaman daerah-daerah sekitarnya, termasuk Kuningan, Talaga, dan Galuh terjadi sekitar tahun 1530 M.  Namun, berdasarkan sumber lain seperti Carita Caruban Nagari, wilayah Rajagaluh di Majalengka telah diislamkan pada tahun 1528 M, sementara Talaga menyusul pada tahun 1530 M. Perubahan ini terjadi seiring dengan masuk Islamnya penguasa Talaga saat itu, yakni Ratu Parung dan Ranggamantri, yang memeluk Islam pada tahun 1525/1530 M. Tokoh-tokoh tersebut menjadi ujung tombak dalam penyebaran Islam di wilayah Majalengka dan sekitarnya, menjadikan Islam sebagai agama mayoritas di daerah-daerah tersebut (Hajaruddin, t.th: 7 dalam Kartika, 2007: 10-11). 

Lalu, pada tahun 1480 M, di kerajaan Sindangkasih, Majalengka, dikenal sosok Nyi Rambut Kasih yang masih memeluk agama Hindu dan tidak mau masuk Islam sampai akhir hayatnya, meskipun mayoritas penduduk dan kerajaan di sekitarnya telah menganut Islam (Kartika, 2007: 15). Keadaan ini berubah sekitar tahun 1485 M, ketika Dalem Panungtung, putra Raden Ranggamantri (Prabu Pucuk Umum), diangkat menjadi pemimpin di Majalengka. Islam semakin mendominasi, sehingga pemerintahan Nyi Rambut Kasih mulai tersisih oleh pengaruh agama baru tersebut. Penyebaran Islam di wilayah Majalengka sendiri didorong oleh peran Pangeran Muhammad dan istrinya, Siti Armilah, yang diutus oleh Syarif  Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) pada masa pemerintahannya di Cirebon antara tahun 1552-1570 M. Pangeran Muhammad dan Siti Armilah diutus untuk menyebarkan Islam sekaligus mencari pohon maja yang konon tumbuh di Sindangkasih untuk obat penyakit demam. Namun, ketika Pangeran Muhammad tiba, ia tidak dapat menemukan pohon maja, sehingga wilayah itu kemudian disebut "Madia Langka" yang berarti antara ada dan tidak ada. Pangeran Muhammad memutuskan untuk tidak kembali ke Cirebon dan akhirnya wafat di kaki gunung, di tempat yang sekarang dikenal sebagai Margatapa. Penyebaran Islam di wilayah tersebut dilanjutkan oleh Siti Armilah, yang berhasil menemui Nyi Rambut Kasih dan mengajak masuk Islam namun ditolak. Setelahnya, Nyi Rambut Kasih "ngahiang" (menghilang) (Kartika, 2007: 17-28). Hal ini menandai berakhirnya era Kerajaan Sindangkasih dan transisi penuh menuju dominasi Islam di Majalengka (Hajar, 2022: 62-65). Setelahnya, tokoh Islam yang terkenal adalah K.H. Abdul Halim yang mendirikan Persatuan Umat Islam. Dia juga mengajarkan pengajaran Islam di Majalengka sehingga masyarakat lebih mudah mengenal Islam.

Sunan Gunung Jati, Penyebar Islam di Majalengka. Sumber: 5antriblogspot
Sunan Gunung Jati, Penyebar Islam di Majalengka. Sumber: 5antriblogspot

Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa proses masuk dan berkembangnya Islam di Jawa Barat, khususnya di Majalengka, merupakan hasil dari interaksi yang panjang antara masyarakat lokal dengan para tokoh dan ulama Islam dari wilayah sekitarnya, terutama Cirebon. Wilayah tersebut dijadikan sebagai pusat penyebaran Islam yang dipimpin oleh tokoh penting seperti Sunan Gunung Jati, memiliki peran besar dalam mengislamkan daerah-daerah pedalaman Jawa Barat melalui pendekatan dakwah yang akomodatif dan menyatu dengan budaya lokal. Majalengka, yang awalnya dipimpin oleh tokoh Hindu seperti Nyi Rambut Kasih, perlahan-lahan mengalami pergeseran ke arah Islam, terutama berkat usaha Pangeran Muhammad dan istrinya, Siti Armilah. Meskipun awalnya terjadi resistensi, terutama dari kalangan kerajaan Sindangkasih, pengaruh Islam semakin kuat dan akhirnya mengakar di wilayah tersebut. Penyebaran Islam di Majalengka tidak hanya mencerminkan dinamika sosial dan politik saat itu, tetapi juga menunjukkan bagaimana ajaran Islam diterima dengan cara yang damai dan berkelanjutan. Dari interaksi perdagangan, dakwah, hingga pendekatan kultural yang dilakukan oleh para penyebar Islam, Majalengka dan wilayah sekitarnya berhasil diislamkan secara bertahap, menjadikan Islam sebagai agama mayoritas dan membentuk identitas religius masyarakat setempat hingga hari ini. Proses ini telah menunjukkan bahwa penyebaran Islam di Jawa Barat adalah fenomena yang kompleks, melibatkan banyak faktor baik politik, ekonomi, maupun budaya, dengan Cirebon sebagai pusat pengaruh yang sangat penting.

Daftar Sumber:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun