Mohon tunggu...
Asep Imansyah
Asep Imansyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S1-Ilmu Sejarah Universitas Padjadjaran

Hobi membaca dan menulis tentang sejarah baik fiksi maupun non-fiksi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menggali Keunikan Anil Onol: Warisan Budaya Kuliner Khas Majalengka

6 Juli 2024   12:59 Diperbarui: 8 Juli 2024   09:25 285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anil (sumber: shutterstock) 

Menggali Keunikan Anil Onol: Warisan Budaya Kuliner Khas Majalengka

Majalengka adalah sebuah kabupaten di Jawa Barat yang terkenal akan keanekaragaman kuliner tradisionalnya yang khas. Salah satu makanan tradisional yang masih dapat dijumpai adalah Anil Onol. Hidangan ini berasal dari daerah pedesaan Majalengka, tepatnya di Desa Cigasong, di sana tradisi memasak dan resep turun-temurun masih terpelihara dengan baik. 

Masyarakat Cigasong, yang sebagian besar menjalani kehidupan sederhana, menganggap Anil Onol sebagai simbol budaya mereka. Meskipun pengaruh modernisasi semakin kuat, penduduk  desa ini tetap mempertahankan adat dan tradisi kuliner ini sebagai bagian dari identitas mereka. 

Anil Onol tidak hanya menjadi hidangan yang dinikmati di meja makan, tetapi juga merupakan manifestasi kearifan lokal dan kecintaan masyarakat terhadap warisan budaya leluhur mereka.

Anil Onol sebenarnya dikenal dengan nama Gurandil atau Cenil di banyak daerah lain. Hal itu sebenarnya untuk penamaan Anil saja yang kadangkala disebut Gurandil. Sedangkan Onol, di daerah lain lebih dikenal dengan nama Ongol-Ongol. Ongol-Ongol adalah kue tradisional yang juga terbuat dari bahan utama ketan atau tepung tapioka, dipadukan dengan gula merah dan kelapa parut. 

Meski bahan dasarnya sama, setiap daerah memiliki variasi tersendiri dalam hal penyebutan dan penyajiannya, yang mencerminkan keragaman kuliner Nusantara. 

Ongol-Ongol biasanya memiliki tekstur yang kenyal dan rasa manis yang khas dari gula merah, serta disajikan dengan taburan kelapa parut yang gurih. Nama "Ongol-Ongol" sendiri lebih dikenal di wilayah Jawa Barat, Jawa Tengah, dan beberapa daerah lainnya. Hal ini menunjukkan bagaimana warisan kuliner ini telah beradaptasi dengan bahasa dan kebiasaan lokal. Sementara di Cigasong, Majalengka, nama Anil Onol tetap dipertahankan (Wawancara Yati, 2024).

Gurandil dan Ongol-Ongol menjadi sebutan yang umum, menegaskan bahwa meskipun nama dan penyebutannya berbeda, esensi dan cita rasa hidangan ini tetap sama, yaitu lezat dan kaya akan tradisi. 

Namun, nama Anil Onol lebih umum digunakan di Desa Cigasong untuk menyebut hidangan yang berbahan dasar tepung tapioka dan terigu yang dipadukan dengan kelapa parut dan gula merah atau gula pasir, biasanya kedua makanan tradisional ini disatukan penyebutannya jika di daerah Cigasong, Majalengka. Anil biasa dicampur dengan kelapa parut yang telah diberi gula pasir untuk menambah cita rasa. Sedangkan, Onol dicampur dengan gula merah dan parutan kelapa. 

Masyarakat Cigasong sangat menjaga resep tradisional ini, menjadikannya bagian tidak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari dan acara-acara masyarakat (Wawancara Yati, 2024). 

Meski banyak variasi penyebutan dan penyajian di berbagai daerah, di Cigasong, nama Anil Onol tetap melekat erat sebagai identitas kuliner lokal yang diwariskan dari generasi ke generasi. Kelezatan dan kesederhanaannya mencerminkan kearifan lokal serta upaya masyarakat dalam melestarikan warisan kuliner yang penuh sejarah dan makna budaya.

Anil Onol, yang di daerah lain lebih dikenal dengan nama Gurandil atau Ongol-Ongol, memiliki sejarah yang kaya dan unik di Majalengka, khususnya di wilayah Cigasong. Penamaan "Anil Onol" sendiri diyakini berasal dari dialek lokal yang berkembang di kalangan masyarakat setempat. 

Penamaan ini sebenarnya perubahan dari nama Gurandil dan Ongol. Masyarakat Cigasong pun kurang tahu arti dari nama Gurandil dan Anil Onol ini. Istilah tersebut memang sudah ada sejak zaman dulu. 

Kata "Anil Onol" sepertinya merujuk pada arti kenyal karena tekstur makanan ini yang memang sangat kenyal dan manis. Hal ini pun sama dengan istilah Gurandil atau Ongol tersebut. Masyarakat Cigasong mengubah istilah kenyal menjadil Anil Onol yang penyebutannya berbeda dari daerah lain, padahal Anil Onol adalah Gurandil atau Ongol jika di Bandung. 

Orang yang memberikan nama Anil Onol ini masih anonim karena tidak diketahui masyarakat sampai sekarang. Seiring berjalannya waktu, penyebutan ini menjadi ciri khas dan membedakan makanan ini dari versi serupa di daerah lain. Tradisi pembuatan Anil Onol diwariskan secara turun-temurun, menjadikannya bagian penting dari kehidupan kuliner dan budaya Cigasong. Sejarah Anil Onol juga berkaitan erat dengan kehidupan agraris masyarakat Majalengka.

Dulu, tepung tapioka/kanji yang berasal dari singkong dan kelapa adalah bahan pangan yang mudah didapatkan dan sering diolah menjadi berbagai hidangan tradisional. Anil Onol awalnya dibuat sebagai makanan cemilan untuk masyarakat. Makanan ini tidak hanya mengenyangkan tetapi juga memberikan rasa manis dan gurih yang disukai banyak orang. 

Selain itu, Anil Onol sering disajikan dalam berbagai acara dan perayaan sebagai simbol kemakmuran dan rasa syukur. Hingga kini, meski banyak perubahan terjadi, masyarakat Cigasong tetap menjaga tradisi ini sebagai bentuk penghormatan terhadap warisan leluhur mereka. 

Anil Onol sering ada di setiap acara yang diadakan masyarakat seperti pernikahan, acara syukuran, acara khitanan, pengajian, dan lainnya. Bentuknya yang kenyal, kecil, dan manis sangat disukai masyarakat Cigasong. 

Anil Onol ini terdiri dari dua bentuk penyajian yang berbeda. Anil berwarna merah dengan bentuk kotak kecil yang biasanya ditaburi gula pasir dan parutan kelapa. 

Lalu, jika Onol berbentuk kotak sedang berwarna coklat cerah karena adonannya telah dicampur dengan gula merah, biasanya memakai parutan kelapa dalam penyajian. Rasanya juga berbeda karena Anil lebih kenyal daripada Onol (Wawancara Yati, 2024).

Menurut Yati ketika wawancara, pembuatan Anil Onol ini memerlukan beberapa langkah yang melibatkan persiapan bahan dan proses memasak yang teliti. Bahan harus dipersiapkan terlebih dahulu agar dapat membuat makanan tradisional ini, bahan-bahannya meliputi:

A. Bahan-Bahan

1. Tepung Tapioka/Kanji: 500 gram.

2. Tepung Terigu: 100 gram.

3. Kelapa Parut: 1 buah kelapa, diparut kasar.

4. Gula Merah: 200 gram, disisir halus.

5. Gula Pasir: sesuai selera untuk taburan.

6. Daun Pandan: 2 lembar, diikat simpul.

7. Pewarna Merah.

8. Garam: 1 sendok teh.

9. Air Mendidih dan Dingin: secukupnya, untuk adonan.

10. Air Rebusan: secukupnya, untuk dan merebus.

B. Alat-Alat

1. Nyiru: untuk memotong adonan setelah direbus.

2. Panci: untuk membuat larutan gula merah dan merebus adonan.

3. Wadah Besar: untuk mencampur bahan.

4. Sendok atau Centong: untuk mengaduk.

5. Saringan: untuk meniriskan.

6. Pisau dan Talenan: Untuk memotong adonan Anil Onol.

7. Kompor: untuk memasak.

8. Piring: untuk penyajian.

C. Cara Membuat

1. Mempersiapkan Kelapa: parut kasar lalu sisihkan ke wadah.

2. Membuat Larutan Gula Merah : rebus gula merah yang telah disisir dengan sedikit air hingga larut dan mengental. Tambahkan daun pandan untuk aroma, kemudian saring larutan gula merah untuk menghilangkan kotoran. Sisihkan.

3. Menggabungkan Semua Bahan: dalam wadah besar, campurkan tepung tapioka, garam dan tepung terigu. Buat lagi hal yang sama dalam wadah kedua untuk adonan Onol.  Lalu, tambahkan air mendidih dan pewarna merah untuk Anil, sedangkan Onol di wadah terpisah campur dengan larutan gula merah. Aduk hingga merata. Tambahkan air mendidih lagi jika adonan masih kasar.

4. Memotong Adonan: setelah merata dan kedua adonan tersebut dibentuk menjadi panjang dan taruh di nyiru. Lalu, potong Anil dengan pisau menjadi kecil dan Onol potong menjadi kotak sedang.

5. Merebus Adonan: siapkan air rebusan dan masukan ke dalam panci. Masukan adonan Anil terlebih dahulu dan tunggu sampai mengembang. Setelah mengembang tiriskan dan masukan ke air mendidih agar lebih kenyal. Lalu, masukan adonan Onol ke panci untuk direbus dan tunggu sampai berubah warna menjadi coklat. Setelah itu, tiriskan dan tidak perlu direndam air mendidih.

6. Penyajian: Masukan Anil dan Onol ke masing-masing piring. Kemudian, tambahkan kelapa parut tadi pada Anil dan Onol. Namun, untuk anil ditambahkan gula pasir agar lebih manis. Anil dan Onol pun sudah siap dimakan.

Penjualan Anil Onol menawarkan berbagai keuntungan yang signifikan, baik dari segi ekonomi, sosial, maupun budaya bagi masyarakat Majalengka, khususnya di wilayah Cigasong. 

Dari sisi ekonomi, bisnis Anil Onol dapat menjadi sumber pendapatan yang stabil bagi para pelaku usaha lokal. Dengan semakin meningkatnya minat terhadap kuliner tradisional, Anil Onol memiliki potensi pasar yang luas, tidak hanya di kalangan masyarakat setempat tetapi juga bagi wisatawan domestik dan mancanegara yang ingin mencicipi cita rasa autentik Indonesia. Penjualan Anil Onol juga dapat membuka peluang bagi para petani kelapa di sekitar Majalengka, karena meningkatnya permintaan akan bahan-bahan utama tersebut. 

Dengan demikian, roda ekonomi lokal berputar lebih cepat dan merata. Secara sosial, penjualan Anil Onol mampu memperkuat ikatan komunitas. Kegiatan produksi seringkali melibatkan kerja sama antar warga, baik dalam pengadaan bahan, proses pembuatan, hingga distribusi. Hal ini menciptakan rasa kebersamaan dan gotong royong yang kuat. 

Selain itu, Anil Onol juga dapat dijadikan sebagai media untuk memperkenalkan dan melestarikan budaya serta tradisi kuliner daerah kepada generasi muda. Dengan terlibat dalam proses produksi dan penjualan, generasi muda dapat belajar dan menghargai warisan kuliner leluhur mereka. 

Di sisi budaya, keberadaan Anil Onol sebagai produk kuliner khas mampu memperkuat identitas budaya Majalengka. Hidangan ini menjadi simbol kebanggaan lokal dan daya tarik tersendiri bagi daerah tersebut. 

Promosi dan penjualan Anil Onol, baik secara langsung maupun melalui platform digital, turut membantu dalam menjaga kelestarian warisan budaya ini di tengah gempuran modernisasi dan globalisasi. Dengan berbagai keuntungan tersebut, penjualan Anil Onol tidak hanya menguntungkan secara materiil, tetapi juga berkontribusi pada keberlanjutan sosial dan budaya  daerah Majalengka (Wawancara Yati, 2024).

Harga penjualan Anil Onol di Majalengka biasanya sangat terjangkau, mencerminkan kesederhanaan dan ketersediaan bahan-bahan lokal yang digunakan. Di pasar tradisional atau warung-warung kecil, Anil Onol dijual dengan harga sekitar dua ribu rupiah hingga lima ribu rupiah per wadah, tergantung pada ukuran dan bahan tambahan yang digunakan. Harga yang ekonomis ini membuat Anil Onol dapat dinikmati oleh berbagai kalangan masyarakat, dari anak-anak hingga orang dewasa. 

Selain itu, karena proses pembuatannya yang relatif sederhana dan bahan-bahan yang mudah didapatkan, banyak warga lokal yang juga memproduksi dan menjual Anil Onol secara mandiri, menambah keragaman pilihan dan ketersediaan di pasar. Variasi dari topping yang ditaburkan ke Anil Onol pun dapat menjadi makanan yang dapat diminati generasi muda sekarang. Variasinya bisa ditaburi coklat ataupun vanila agar makanan ini lebih beragam rasanya. 

Selain topping, variasi warna pun diperlukan agar menarik minat konsumen untuk membeli. Hal ini tidak hanya menjaga tradisi kuliner tetap hidup, tetapi juga memberikan sumber penghasilan tambahan bagi masyarakat setempat (Wawancara Yati, 2024).

Menurut wawancara Bu Yati, dia punya kenangan tersendiri terkait makanan tradisional ini. Dia masih ingat dengan jelas pertama kali mencicipi Anil Onol ketika jajan di kantin sekolahan SD. Aromanya yang manis dan gurih langsung menggugah selera begitu Bu Yati mendekati warung kecil yang menjualnya. 

Penjualnya, seorang ibu paruh baya dengan senyum ramah, menjelaskan bahwa Anil Onol dibuat dari tepung tapioka, kelapa parut, gula pasir, dan gula merah yang dimasak dengan penuh cinta dan kearifan lokal. Dia membeli beberapa biji, dan ketika menggigitnya, teksturnya yang kenyal berpadu sempurna dengan rasa manis gula pasir dan gurihnya kelapa. 

Setiap gigitan membawanya lebih dekat ke tradisi dan budaya lokal yang begitu kaya. Pengalaman itu tidak hanya memuaskan lidahnya, tetapi juga membuat dia merasa lebih terhubung dengan sejarah dan kehidupan masyarakat Majalengka. Sejak saat itu, Bu Yati pun menyukai makanan tradisional ini. Selain rasanya yang enak, dia juga suka dengan Anil yang terlihat lucu dengan warna merah menyala (Wawancara Yati, 2024).

Bu Yati, seorang penduduk asli Cigasong, Majalengka, memiliki kenangan lain yang begitu mendalam terkait dengan Anil Onol. Sejak kecil, Bu Yati pernah membantu ibunya di dapur saat membuat makanan tradisional ini. Ia masih ingat bagaimana ia dan saudara-saudaranya duduk melingkar di dapur, sambil melihat ibunya mengaduk adonan dan menyiapkan kelapa parut. Aroma harum kelapa yang sedang diparut selalu membuat perutnya keroncongan. Setiap kali gula merah dicairkan dan dituang ke dalam adonan, Bu Yati tak sabar mencicipi manisnya larutan gula yang kental tersebut. 

Lalu, ketika warna Anil dengan warna merah cerahnya menggoda Bu Yati untuk segera memakan makanan tradisional tersebut.  Saat Bu Yati tumbuh dewasa, Anil Onol tetap menjadi bagian penting dari hidupnya, terutama saat ada acara keluarga atau perayaan tradisional. Dia melanjutkan tradisi ibunya dengan membuat Anil Onol setiap kali ada perayaan besar seperti Hari Raya atau pesta pernikahan.

Baginya, membuat Anil Onol bukan hanya soal memasak, tetapi juga cara untuk menjaga hubungan keluarga tetap erat. Proses memasak bersama anak-anak menjadi momen yang penuh kehangatan dan cerita-cerita masa lalu. Anil Onol menjadi simbol kebersamaan dan keakraban dalam keluarganya. Melalui Anil Onol, Bu Yati merasa seperti menjadi penjaga tradisi dan budaya lokal yang terus hidup dan berkembang. 

Pengalaman lain yang tak terlupakan bagi Bu Yati adalah saat ia diundang untuk mengajarkan cara membuat Anil Onol di sebuah acara masyarakat Cigasong. Melihat banyak orang, terutama generasi muda, antusias untuk belajar membuat makanan tradisional ini, membuat hatinya bahagia. Ia merasa memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan bahwa tradisi ini tidak akan hilang ditelan zaman. Bu Yati berharap, dengan membagikan pengetahuan dan pengalamannya, Anil Onol akan terus dinikmati dan dicintai oleh generasi mendatang, menjaga kekayaan kuliner dan budaya Majalengka tetap hidup (Wawancara Yati, 2024).

Anil Onol adalah salah satu kuliner tradisional yang memperkaya warisan budaya kuliner Majalengka, khususnya di wilayah Cigasong. Dengan bahan dasar sederhana seperti tepung tapioka, gula pasir, kelapa parut, dan gula merah, Anil Onol tidak hanya menawarkan rasa yang lezat tetapi juga mengandung nilai sejarah dan budaya yang mendalam. 

Anil Onol, dengan segala keunikan dan kelezatannya, menjadi simbol penting dari kekayaan budaya kuliner khas Majalengka, khususnya di daerah Cigasong. Hidangan yang dikenal di daerah lain sebagai Gurandil atau Ongol ini, memiliki ciri khas tersendiri yang tercermin dari nama dan cara pembuatannya. 

Bahan-bahan sederhana yang diolah dengan penuh kearifan lokal, menghasilkan rasa yang autentik dan kenyal. Penamaan "Anil Onol" sendiri berasal dari dialek lokal yang menambah nuansa tradisional dan kebanggaan masyarakat setempat terhadap warisan kuliner mereka. Tradisi ini terus dilestarikan dan diwariskan dari generasi ke generasi, menunjukkan betapa kuatnya nilai-nilai budaya yang melekat pada makanan ini. 

Keberadaan Anil Onol tidak hanya sebatas sebagai makanan lezat, tetapi juga sebagai cerminan kehidupan dan identitas masyarakat Majalengka. Harga yang terjangkau membuatnya dapat dinikmati oleh semua lapisan masyarakat, menjadikannya camilan yang populer dan mudah diakses. Setiap gigitan Anil Onol mengingatkan kita akan kesederhanaan dan kehangatan kehidupan di Majalengka, serta rasa syukur dan kemakmuran yang dirayakan melalui makanan. 

Dengan melestarikan tradisi pembuatan dan penikmatan Anil Onol, masyarakat Majalengka tidak hanya menjaga warisan leluhur tetap hidup, tetapi juga memperkuat ikatan sosial dan budaya di tengah arus modernisasi yang kian maju. Anil Onol adalah bukti nyata bahwa di balik setiap hidangan tradisional, tersimpan sejarah dan nilai-nilai yang patut dihargai dan dilestarikan.

DAFTAR PUSTAKA

Azizah, Nuril. (2023). Resep Gurandil Antialot untuk Menu Takjil Buka Puasa. Diakses tanggal 22 Juni pukul 19.50 WIB dari https://www.kompas.com/food/read/2023/03/18/220300475/resep-gurandil-antialot-untuk-menu-takjil-buka-puasa.

Hakim, Esty Ridho. (2024). Cenil /Cethil /Gurandil. Diakses tanggal 22 Juni 2024 pukul 19.56 dari https://cookpad.com/id/resep/17239060-cenil-cethil-gurandil?ref=search&search_term=gurandil.

Rayhan Ramadhan, M. (2022). Eksperimen Pembuatan Ongol-ongol Dengan Menambah Buah Durian Sebagai Bahan Perasa (Doctoral dissertation, Politeknik Negeri Media Kreatif).

Reizava. (2022). Cara Membuat Gurandil/Cenil Jajanan Pasar Sederhana Mudah Simpel. Video diakses pada tanggal 22 Juni 2024 pukul 19.47 WIB dari https://www.youtube.com/watch?v=DyiJQlKda2I&list=LL&index=5.

Runtiko, A. G. (2020). Makna Komunikasi di Balik Makanan Tradisional. Jurnal Ilmu Komunikasi Acta Diurna, 16(1).

Wawancara Yati 10 Juni 2024 pada pukul 19.57 WIB

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun